Inilah ceritaku dengan
Kesepuluh orang yang berhasil membuat aku ingin terus belajar; belajar dari
pengalaman, belajar dari perjalanan, belajar lebih dari arti kata berbagi.
Sekali Lagi
Sekali
lagi, aku ketagihan dengan kegiatan berbagi ala TnT Seribu Guru Surabaya. Travelling to Care, Teaching to Share.
Sesuai semboyannya, mereka sungguh membuktikannya. Dengan jumlah total sebelas
orang volunteer dan panitia. Kami
tetap berangkat apapun yang terjadi. Waktu keberangkatan jatuh di malam jum’at ciamik,
berhiaskan rembulan tepat diatas langit, menyapai kami, melambai-lambai,
menemani, menyinari, cantik tersenyum manja bak bidadari jatuh ke bumi.
Sesuai
jadwal kami akan bertemu di Meeting Point
(re: Depan Gedung Graha Pena Surabaya) pukul 18:00. Tapi jadwal dan kenyataan
belum tentu sama, sabar dulu, aku akan menceritakan kronologis terlogis pernah
ada seantero bumi ini –oke ini agak hiperbola-
mengenai alasan kenapa keberangkatan kali ini tidak tepat waktu.
—FlashBack—
SOSOK PERTAMA
MBAK WIRA
“Pertemuan Pertama”
Rumahku
ada di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo, dekat dengan Terminal Bungurasih,
Bandara Juanda, dekat dengan Supermarket Giant Waru, Stasiun Waru, dan juga SMA
Hang Tuah Dua Sidoarjo. Serba dekat lah intinya. Hehehe.
Karena
rumahku yang dekat dengan Bandara, Mas Andra (koordinator 1000guru surabaya)
meminta tolong kepadaku untuk nge-LO
in salah satu Volunteer yang
jauh-jauh datang dari jakarta. Mbak Wira namanya. Seorang Pegawai Negeri Sipil
(PNS) di salah satu instansi milik pemerintah dan berdomisili di Jakarta. Sebelumnya
Mas Andra sudah memberikan gambaran umum mengenai beliau.
“Anak
Kelas Inspirasi Jelajah Pulau”
“jam
terbangnya uda tinggi diaa haha”
“vols
terbanyak mengikuti tnt 1000guru regional di Indonesia”
Itu
pesan WhatsApp dari Mas Andra ketika aku
menanyakan soal profil singkat Mbak Wira. Sontak dalam hatiku mengatakan, “Wah,
pasti keren ini mbaknya,”. Seperti biasa aku selalu suka bertemu orang-orang
baru. Aku merasa akan mendapat sesuatu yang berarti buatku dari mengenal
mereka. Pasti ada cerita baru.
Pertemuan
pertama yang begitu berkesan. Aku tidak merasa ini merupakan pertemuan pertama
kita. Ini terasa seperti sebuah reuni kawan lama. Sungguh.
Aku
menyapanya, tersenyum manis dan penuh spirit positiv karena aku bertemu orang
hebat. Dan Mbak Wira pun juga begitu. Senyum merekahnya semerekah baju
bunga-bunga indah yang dikenakannya saat itu. Manis sekali. Mbak Wira yang baru
tiba langsung mengajakku untuk mampir sebentar ke atm dan mampir makan.
Sambil
menikmati makanan kita, disini Mbak Wira mulai menceritakan bagaimana
perjalanannya sampai datang ke Surabaya.
“Pesan WhatsApp”
Semua
dimulai sejak Mas Andra yang tiba-tiba mengiriminya pesan whatsapp pada hari rabu 11 Oktober 2017 (h-3 kegiatan volunteer) di
tengah malam menawarkan untuk menjadi volunteer di kegiatan 1000 guru surabaya
Reuni Vol.2 . Mbak Wira yang sudah banyak pengalaman dengan mudahnya memahami
betapa daruratnya dan krisisnya acara TnT kali ini. Sampai – sampai Koor
mengajaknya secara langsung di tengah malam pula.
Rencana
awal Mbak Wira yang akan beristirahat di akhir pekan minggu gagal. Karena
minggu sebelumnya Mbak wira sudah melancong ke luar kota dan minggu depannya
akan terbang lagi ke Kupang.
Namun
panggilan hati memang tidak bisa dipungkiri, Mbak Wira suka berbagi, dan
adik-adik juga pastinya sudah menanti.
Tapi
ternyata pesan Mas Andra bukan sekedar undangan. Tetapi juga permintaan
penambahan jumlah volunteer. Mbak Wira ini sebenarnya bingung berapa jumlah
anak yang harus diajaknya, karena Mas Andra tidak memberikan spesifikasi
jumlahnya. Setelah melakukan chat kesana kesini dalam waktu sesingkat itu,
tidak ada yang memberi respon positiv.
Akhirnya
mulai ada titik terang. Ia mengirimi pesan ke salah satu partnernya di TnT
Kalsel, Safira namanya. Mbak Wira menceritakan kalau ia mau ke surabaya dan
mengikuti tnt reuni nya 1000 guru surabaya. Dan dengan semangat safira yang
juga suka kegiatan tnt ditambah adanya mbak wira mengiyakan ajakannya.
Menyanggupi akan membuatkan 30 nametag untuk anak-anak, dan mulai menyiapkan
materinya berdua via online.
Akhirnya
mbak wira ada partner mengajar. Oiya tidak hanya dua, sesuai booklet yang
dibuatkan oleh si Cis salah satu alumni TnT 15 yang sekarang jadi panitia sie
Acara pun membubuhi satu nama cantik, Anissadi daftar pengajar kelas 3,4 SDN
Gajah 3 itu. Mbak Wira dan Mbak Anissa ini sudah saling mengenal juga
sebenarnya dari acara TnT Seribu Guru Malang, cuma Mbak Anissaini tidak ada
komunikasi lanjut dengan Mbak Wira. Akhirnya Mbak Wira Cuma berkoordinasi
dengan Safira aja.
Setelah
selesai masalah partner, sekarang saatnya pindah ke masalah perizinan kantor.
Seperti yang kalian ketahui, perizinan dikantor tidak dapat semudah itu di
lobby apalagi dalam waktu yang singkat. Namun lagi-lagi Allah memberikan
kemudahannya.
“Cinta 1000 Guru”
Jakarta
pasti identik dengan jalanan macetnya. Itu asli. Mbak Wira hampir saja
tertinggal pesawat menuju surabaya. Aslinya gate sudah ditutup, tapi dengan
kekuasaan Allah, lagi-lagi segalanya dimudahkan.
Dan
aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi kalau sampai Mbak Wira sungguhan
telat dan ketinggalan pesawat. Dengan jumlah volunteer yang sudah sangat
sedikit, beberapa pun masih belum pasti. Ini juga merupakan TnT terdadakan,
tertidak terduga dan terdrama yang pernah dialaminya.
Jujur
aku juga sempat agak syok ketika tahu jumlah volunteer pada beberapa hari
terakhir menuju keberangkatan. Mungkin kalau orang yang tidak sungguh-sungguh
cinta sama kegiatan volunteer tidak akan sampai bela-belain begini. Dalam waktu
sesingkat itu, menyiapkan segala keperluan materi, tiket, reward, dan tetek
bengeknya. Di saat tanggungan kerjaan juga sedang menggunung.
“kalau
orang ga bener-bener cinta sama TnT ga bakal bela-belain gini. Untung aku cinta
sama 1000 guru,” ungkapnya dengan semangat saat itu.
Makan
sore kami berakhir dengan cerita singkat perjalanan Mbak Wira menuju kemari. Dan
pengalaman-pengalaman lalu di TnT regional lain. Dilanjutkan lah dengan acara
bersih diri dirumahku. Sharing-sharing tipis dan Mbak Wira juga bercerita
mengenai pertemuannya dengan Mas Andra di TnT Celebes dulu. Beberapa hal masih
terjadi diluar perkiraan Mbak Wira ataupun aku.
Sungguh
aku merasa seperti menemukan sosok kakak dalam dia. Kakak yang sudah lama tidak
bertemu, manis. Aku bahkan sudah diberi oleh-oleh gantungan kunci sama Mbak
Wira karena ia baru dari Padang. Bisa seakrab ini dengan orang yang aku kenal
beberapa jam lalu adalah hal yang sangat luar biasa. Mungkin karena kesamaan
passion. Mbak Wira juga suka bertemu orang-orang baru, dan berbagi pengalaman
bersama mereka. Sama persis.
Ini
adalah salah satu hal yang membuatku cinta 1000 guru, kami memiliki kesamaan
passion. Di sini aku ditemukan oleh orang-orang hebat yang memiliki kepedulian
tinggi terhadap sesama. Disini aku bertemu dengan mereka yang setujuan. Disini
aku menjadi seutuhnya aku.
—Now—
Beberapa
drama kecil yang terjadi saat itu, didukung waktu yang terus melaju tanpa mau
tau, menjadi alasan kenapa aku dan Mbak Wira telat beberapa menit sampai di Meeting Point. Dan yahh....seperti biasa,
ternyata di lokasi pun baru hadir satu manusia, ditemani tumpukan barang-barang
yang tak tertata rapi dengan perlengkapan donasi, dan hal lain-lain yang waktu
itu kurang teramati dengan jeli dan teliti. Aku yang sewaktu itu kebagian
membawa donasi susu dari Frisian Flag, segera menurukan barang-barang dari uber. Enam dus kotak susu donasi, dua
tikar karpet dan tas yang tidak terlalu berisi aku letakkan sembarangan sembari
mataku melihati berkeliling, mencari dimanakah para tim dan volunteer ini. Aku masih
terpaku karena jumlah orang yang ada dilokasi saat itu. Sungguh disitu Cuma sepasang
sepatu sedang duduk-duduk temenung.
Biar
aku deskripsikan orang yang diam dan menepi itu. Ia berjenis kelamin laki-laki
bertubuh jangkung dan kurus, duduk manis didepan ATM Center Graha Pena, dengan telepon gengamnya, barang-barang
donasi didepannya dan tas di pundaknya. Mungkin mas ini kelewat positive thingking kalau kita akan tepat
waktu berangkat pukul 18:00 WIB dari Surabaya. Dia duduk ditemani galon tak terisi
dan dinginnya angin malam pinggir jalan Ahmad Yani. Ternyata mas satu ini
memang yang sejak awal paling berdedikasi, batinku dalam hati. Mengapa aku
membantin begitu? Jadi, Ini kisah awal mula pertemuanku dengan sosok yang
memiliki nama sama dengan Presiden Kedua RI ini. Habibi.
—FlashBack—
SOSOK KEDUA
MAS HABIBI
Jumpa
Pertama
Pertemuan
pertamaku dengan Mas Habibi terjadi di Technichal
Meeting, tepatmya Hari Minggu Tanggal Delapan Bulan Oktober. Aku yang berpamitan
datang telat pada Mbak Hilda (Penanggung Jawab TnT Reuni) baru sampai lokasi
pukul 12:30 WIB – dengan wajah agak kucel
akibat perjalanan ditemani teriknya matahari dan debu manis Surabaya yang
makin hari makin bertambah polusinya- sedikit terkejut dengan jumlah orang yang
hadir di lantai dua Togamas Diponegoro kala itu. Cuma tiga orang. Mbak Hilda,
Mbak Nida dan satu orang volunteer,
Mas Habibi.
Oke
ini memang diluar ekspetasiku. Jujur aku sebagai panitia juga kurang banyak
tahu mengenai perkembangan TnT Reuni, aku tidak dapat mengikuti rapat minggu
lalu, dan di grup panitia sendiri juga B aja gitu, sepi.
Dan
Ada tiga hal diluar ekspetasiku.
Pertama
aku baru tahu ternyata jumlah murid SDN 3 Gajah, Desa Gajah, Kecamatan Sambit
Ponorogo ada 85 murid. Sebelumnya memang
destinasi sekolah ada di daerah lain, namun dikarenakan, kami tidak ada survey.
Keputusan diambil di sekolah yang sudah jelas medannya. Dan sekolah ini memang
dapat referensi dari guru kenalannya Mas Andra sewaktu di Pulau Bawean.
Kedua,
ternyata banyak volunteer yang tiba-tiba mengundurkan diri H-7 Kegiatan. Dan
dalam SOP sebenarnya mereka tetap harus membayar setengah biayanya. Jumlah
total volunteer yang pasti waktu itu 5 orang.
Ketiga
ternyata Mbak Hilda sendiri juga tidak bisa mendampingi kami dalam tiga hari. Dan
Semua itu aku tahu baru di hari itu.
Sungguh,
ini sangat mengherankan. Kalau dibandingkan dengan TnTku di SDN Tondomulo Desa
Bunten, Kec. Kedungadem, Kab. Bojonegoro. Dengan jumlah total siswa SD-SMPnya
sekitar 30anak. Dan jumlah total volunteer dan panitia 25 orang. Sangat
bertolak belakang bangetlah pokoknya. Dan Jumlah total volunteer dan tim yang
ikut Cuma 13 orang waktu itu. Waktu itu. Dan ini masih bisa berubah sewaktu-waktu.
Waktu
terus bergulir mengalir membuat percakapanku dengan batin tiba-tiba terhenti,
dan mulai fokus kepada seorang laki-laki yang sedari tadi tidak banyak
berbicara apalagi ketawa – ketiwi. Kak Hilda memperkenalkannya dengan sebutan
Kak Anang. Dan tampak tak ada perlawanan atas sebutan itu.
Aku
Habibi bukan Anang
Mas
Habibi, sebut saja dengan panggilan itu. Karena ia sepertinya juga sudah geli
sejak awal dipanggili Kak Anang olehku dan Kak Hilda. Akhirnya Suasana menjadi
cair, ketika hadir dua orang perempuan manis yang juga sudah kenal Mas Habibi.
Mbak Ajeng dan Mbak Disty. Mereka datang memanggili Mas Habibi yang sudah mulai
lesu dan berharap segera bisa balik ke atas selimut kamarnya, karena sebenarnya
ia baru saja kembali dari Jakarta pada pukul satu dini hari.
Aku
belum melihat banyak sisi lain dari Mas Habibi di pertemuan pertama ini. Dia
terlihat seperti manusia normal lainnya. Yang sopan, santun, kalem, dan seperti
para volunteer pada umumnya tapi
semua presepsiku berubah setelah melewati tiga hari di antara bukit-bukit desa
gajah itu. Untuk cerita lengkap mengenai sosok Habibi ini akan terus berkembang
seiring kalian membaca cerita ini. Oke saatnya kita kembali ke masa sekarang
ya.
—Now—
Tidak
terlalu lama, datanglah sepasang bola mata milik gadis tinggi, cantik bak
seorang puteri dan bidadari yang nyasar ke bumi #eaa. Dengan senyuman ramah, ia menyapaku hangat. Tanpa pilkir
panjang, aku menghampiri dan duduk disampingnya. Sementara Mbak Wira masih
sibuk dan entah pergi kemana. Kami bersalaman dan menyebutkan nama masing –
masing, entahlah, langit sepertinya sedang berkonspirasi. Aku merasa terlalu
banyak kesamaan yang ada padaku dan perempuan yang juga sama-sama semester lima
ini. Dalam waktu sepersekian detik, aku merasa klik dan bisa saling tertawa lepas membahas hal-hal yang mendasari
dan menjadi motivasi hadir saat ini dan di tempat ini.
SOSOK KETIGA
SAFIRA
Safira
namanya. Salah seorang yang diceritakan oleh Mbak Wira di awal pertemuanku
dengannya. Perempuan dengan semangatnya untuk segera mengiyakan ajakannya ketika
tau Mbak Wira datang ke Surabaya untuk mengikuti acara TnT di 1000 Guru
Surabaya. Tidak Cuma punya fisik yang cantik ala model-model hijabi masa kini,
Safira membuktikan bahwa nama adalah doa. Arti nama safira sendiri ialah
perhiasaan berwarna biru, hatinya sebiru
namanya. Biru melambangkan air, dimana air sendiri selalu bermanfaat untuk
manusia. Tanpa air tidak ada kehidupan. Seperti itulah sosoknya yang aku rekam
di beberapa menit pertama percakapan kami. Dengan nyamannya ia membicarakan
mengapa ia menyukai hal-hal semacam ini. Kegiatan TnT pertamanya dilakukan di
Kalimantan Selatan, dan ia berpasangan dengan Mbak Wira. Ia rela jauh-jauh
datang ke luar pulau untuk menjadi pengajar. Meluangkan waktu, tenaga, dan niat
tidak pernah sebercanda itu memang. Dan ia melakukannya.
Kali
kedua mengikuti kegiatan TnT, ia rela pergi jauh-jauh dengan kendaraan kereta api,
sendirian selama 10 jam. Dan itu merupakan pengalaman pertamanya sendirian
dalam perjalanan selama itu, “sampai orang depan sampingku itu udah ganti
berapa kali, aku masih tetep duduk aja sendiri,” katanya sambil tertawa
sumringah ketika bercerita kepadaku.
Karena
sudah mencoba di beberapa regional lain, safira ini juga penasaran ingin coba
di regional kota nya berdomisili saat ini. Sudah mencoba dua kali tapi selalu
gagal. Alhasil ia sempat trauma, dan tidak mau mencoba lagi.
Sampai
tiba di suatu malam datanglah ajakan dari Mbak Wira. Safira yang sebenarnya
juga ada tugas praktek kerja lapangan (PKL) ke luar kota saat itu, segera
mengondisikan segalanya, mencari penggatinya, mengosongkan jadwalnya yang sudah
tertatat rapi hanya untuk kegiatan tnt ini. Allah lagi-lagi selalu ikut
berkonspirasi yang akhirnya kini aku bisa bertemu sosoknya di depan jalanan
ahmad yani yang makin malam makin tidak sunyi.
Safira,
seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi semester lima Universitas Airlangga (UNAIR) yang
sedang ujian tengah semester kala itu, sekali lagi masih mau peduli meluangkan
waktu pribadi menyiapkan segala pernik untuk bahan materi.
Penantian yang mulai Berakhir
Setelah
berbincang dan sharing pengalaman dengan si Safira, tidak terasa waktu dengan
cepat berubah angka. Sekarang sudah pukul 19:00 itu yang aku ingat, satu
persatu manusia yang aku nantikan hadir mengisi kekosongan kursi pinggiran ini.
Cis, Mbak Distyk, Mbak Ajeng. Mereka adalah para pejuang dan salah tiga
kontributor besar dalam acara tnt reuni ini, yang pastinya juga masih ada dua
punggawa hebat lainnya (Mas Andra dan Mas Fajar) yang belum terlihat batang
hidungnya sedari tadi.
Mungkin
masih sibuk mengurusi beberapa hal yang belum beres. Seperti banner, background
bintang harapan, dan hal krusial lainnya seperti Kaos .
SOSOK KEEMPAT
CIS
Rizki
atau yang biasa dipanggil Cis oleh orang rumahnya ini adalah temanku saat di
TnT Bojonegoro kemarin. Dia juga mengajar adik-adik SMP, bedanya dia mengajar
SMP kelas 3 dengan jumlah tiga murid. Mungkin ia merasakan hal yang sama
denganku, perasaan nyaman berada di komunitas ini. Mungkin. Atau mungkin ada
beberapa alasan lain yang membuatnya ikut acara kepanitian tnt kali ini bersama
aku.
Cis
tergolong orang yang beruntung menurutku, betapa tidak. Di usia semesternya
yang masih menginjak semester tiga, ia sudah mendapatkan banyak pengalaman dari
kegiatan – kegiatan volunteer seperti ini. Dulu waktu aku saat masih semeseter
tiga masih galau dan ga jelas mau ikut komunitas luar kampus yang seperti apa. Meskipun
selama kepanitian kami Cuma bertemu sekali itupun di rapat terakhir, tapi kami
selalu reunian sendiri membahas tnt kami sendiri juga. Ya emang dasarnya kita
masih baper sih. Wkwkw.
Cis
Si Anak Acara
Cis
yang sie acara datang dengan membawa tas cangklongan
besar. Segera setelah melihatnya, aku bertanya. Apa saja yang dibawanya. Kenapa
banyak sekali
“ini
loh, aku bawa jajan buat reward nya adek-adek”
“nanti
biar tiap tingkatan kelas dapat, sudah aku itung juga jumlah jajannya”
Oiya
aku jadi teringat kegiatan pengobatan gratis kita gagal dilaksanakan, karena
kurangnya tenaga medis yang tersedia, juga yang dari jurusan farmasi tidak ada.
Akhirnya digantilah menjadi penyuluhan kesehatan, karena mungkin bisa
memungkinkan apabila ada sekitar dua tiga orang dokter yang bisa meng-handle
kegiatan penyuluhan.
Dan
lagi-lagi ada berita di hari ‘itu’ juga dari Mbak Distyk yang menghubungi para volunteer kesehatan -Mas Fadlan dan Mbak
Annisa- yang berhalangan hadir karena
padatnya kehidupan seorang dokter. Dan akhirnya, Cis akan menggantinya dengan
kegiatan bermain permainan tradisional. Semua serba mendadak memang. Tapi
dibalik semua itu, yang paling berkesan karena improvisasi ini.
Improvisasi
Jujur,
kepanitian kali ini mungkin menjadi kepanitian yang paling improvisasi
sepanjang hidupku. Beberapa jam sebelum keberangkatan ada yang cancel, beberapa jam sebelum
keberangkatan banner baru jadi,
beberapa jam sebelum keberangkatan background
bintang harapan baru di cetak, Kurang dari 48 Jam sebelum keberangkatan kaos
baru mulai disablon. Beberapa jam sebelum keberangkatan uang masih kurang.
Beberapa jam sebelum keberangkatan masih banyak sekali drama yang terjadi
diantara para panitia.
Senernya
aku merasa semua serba ga enak dalam beberapa
jam sebelum keberangkatan kali ini. entah karena ga enak sama volunteernya
karena kita molor, entah gaenak karena karaena Pjnya sendiri Kak Hilda tidak
bisa terlalu berlama-lama di lokasi mepo, entah karena akunya sendiri aja yang
merasa aneh dengan jumlah yang Cuma beberapa ini dibanding pas tnt bojonegoroku
kemarin.
Dan
entah mengapa mungkin sudah terlewat profesional ya kakak – kakak dengan kadar
keyakinan berlebih, bondo nekat, pokoke yakin ini, seperti Mbak Distyk, Mbak
Ajeng, Mas Fajar, dan Mas Andra ini, aku juga merasa tntku kali ini akan jauh
lebih berkesan dari sekedar tnt bojonegoro kemarin.
—FlashBack—
SOSOK KELIMA
MBAK DISTYK
Si
Ceria pemberi energi positif
Saat
itu adalah kali kedua diadakannya rapat TnT dan kali pertama aku bertemu Mbak
Distyk, si ceria pemberi energi positif, perempuan yang juga ditunjuk sebagai
sekertaris acara TnT kali ini. Kesan pertama yang aku tangkap darinya adalah,
ramah. Dia datang dengan candaanya dengan Pak Koordinator -Mas Andra-. Mereka
berdua tampak akrab. Seperti saudara aja.
Aku menikmati perasaan nyaman yang ada diantara mereka. Selain itu Mbak Distyk
juga menyambutku seperti adiknya sendiri.
Tertangguh
Sama
seperti sub-judul itu. Menurutku sosok Mbak Distyk bisa dibilang perempuan
tangguh. Alumni volunteer TnT 4 ini
juga menceritakan banyak hal mengenai TnT sebelumnya yang pernah ia ikuti.
Menceritakan dinamika komunitas seribu gutu sejak tahun 2015. Ia sering
mengikuti kegiatan-kegiatan semacam ini. Ia juga salah satu volunteer Kelas Inspirasi
Surabaya. Dan Mbak Distyk juga dulu yang menjadi panitia kegiatan Reuni dan
Berbagi (RnB) 2017 Seribu Guru Surabaya. Mbak Distyk yang lulusan UNAIR Jurusan
Sumber Daya Perairan ini memang sepertinya ketagihan dengan kegiatan sosial
seperti ini. Aku salut dengan semangatnya.
Di
beberapa jam sebelum keberangkatan -tepatnya malam kamis sehari sebelum kami
berangkat keesokan harinya- banyak pekerjaan yang di handle sama Mbak Distyk ini. Mulai dari ke Pasar Grosir Surabaya (PGS)
buat ambil tas sampai urusin masalah sponsorship
ke togamas. Sungguh contoh adalah panitia yang teladan deh. Wkwkw. Semangatnya buat adik-adik di Desa Gajah itulo. Yang
bikin aku makin sayang dan respect. Kamu keren Mbak Distyk.
Pasangan Serasi
Sosok
selanjutnya merupakan pasangan serasi dari mbak distyk. Ia juga merupakan
alumni TnT 5 dan 6 yang aktif bantu-bantu komunitas seribu guru surabaya waktu
acara buka bersama anak panti asuhan dan TnT reuni kali ini. Sosok yang
imut-imut, awal aku kenal ia juga terlihat seperti perempuan pemalu dan kalem.
Namun setelah tiga hari bersama di antara bukit-bukit Desa Gajah. Mbak ini
ternyata tidak kalah semangat dan cerianya dengan Mbak Distyk.
SOSOK KEENAM
MBAK AJENG
“Mbak
Ajeng!!!” Begitu panggilku saat tau ternyata dia adalah teman sekelas kakak
perempuanku sewaktu SMA. Selain menjadi asisten bendaharanya Mbak Ajeng (yang
sepertinya aku juga tidak terlalu membantu karena Mbak Ajeng sudah sangat expert bahkan tanpa bantuan, eheheh) aku lagi-lagi merasa menjadi
seorang adik diantara mereka bertiga.
Pertemuan
pertama kita di Loop Station di rapat kedua, lalu pertemuan kedua ada di TM H-7 hari keberangkatan. Tidak terlalu
banyak kesan yang aku dapatkan dari Mbak Ajeng diawal. Karena mbak ajeng ini
begitu kalem, dengan kearifan sifatnya, dan kematang sosio-emosinya, dia Cuma
berkomntar sedikit ketika Mbak Distyk cerita panjang lebar soal keluh kesah
ketika pra-kegiata tnt ini. Tapi lagi lagi mereka berdua adalah salah satu
alasanku memilih tetap konsisten ikut kegiatan tnt reuni ini.
Grup
duit
Grup
ini terdiri dari aku, Mbak Distyk dan Mbak Ajeng. Kita bertiga. Hehehe. Jadi ceritanya, aku aslinya dari
sie konsumsi, tapi karena dalam sie konsumsi ini belum terlalu banyak hal yang
harusnya dikerjakan, maka Kak Hilda menunjukku menjadi asisten bendaharanya Mbak
Ajeng. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku merasa tidak terlalu banyak
peran disini, selain menghubungi dan mengingatkan para alumni via jalur pribadi
untuk membayar biaya donasi atau menjawab pertanyaan para alumni karena nomorku
sendiri yang memang dijadikan Contact Person.
Tenyata
tidak banyak yang menghubungiku meski sudah jadi CP. Heheh. Sedih sekali.
Cuma ada beberapa orang yang bertanya, dan syukurnya di jam-jam terakhir ada
alumni yang mengabari mau berdonasi alat tulis. Syukurnya.
Di
grup duit ini isinya mungkin sesuai namanya, kami membahas masalah duit.
Kekurangan. Pengambilan logistik dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Sosok
mbak ajeng ini akan lebih berkembang lagi keunikannya seiring berjalannya
waktu. Kalian harus baca sampai akhir ya!:)
SOSOK KETUJUH
MAS FAJAR
Wah.
Mas Fajar. Seperti namanya dia memang menjadi sosok yang menerangi kita. Eaaa. Mas fajar adalah Tim Seribu guru
yang menjadi penanggung jawab dari pihak tim acara TnT reuni ini. Dia anak
multimedia, bagian fotografi dan videografi biasanya. Dan di TnT kali ini
sebenernya dia pingin banget jadi pengajar, yah
sayangnya tidak terealisasi ya. Wkwkw.
Selain seorang mahasiswa, Mas Fajar juga seorang pegawai. Ya meskipun di
semeter akhir kehidupannya sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Bhayangkara dan juga aktivis di Lembaga Pers kampus dan anak Karang
Taruna –banyak banget ternyata kesibukan Kakak satu ini- yang super duper sibuk
sampai kadang suka miss communication
gitu sama kita-kita. Tapi dia masih bisa profesional bagi – bagi waktu menurutku.
Sebenarnya
tiga orang terbaru yang aku ceritakan ini (Mbak Distyk, Mbak Ajeng, dan Mas
Fajar) juga sempat ada sedikit konflik di pra-acara. Aduh panjang sekali
ceritanya deh kalau tau gimana curhatannya Mba Distyk tentang Mas Fajar wkwk. Dan bagaimana melas wajah Mas
Fajar ketika hadir di rapat terakhir kali pada malam kamis itu. Atau
omelan-omelan kecil Mbak Distyk waktu tahu masih banyak beberapa hal yang belum
fix di menit-menit terakhir. Atau alasan-alasan ketidak-bisaan Mas Fajar karena
terbatasanya waktu 24 jam dalam sehari karena masih banyak tanggung jawab lain
yang tidak bisa ditinggalkan atau wajah–wajahku dan Cis yang antara heran dan
takjub bagaimana bisa persiapan yang begitu mepet menghasilkan sebuah cerita
penuh rasa ini. Karena kami adalah yang paling newbie diantara orang-orang hebat tnt reuni kali ini.
Intinya,
jujur aslinya aku salut sama Mas Fajar, buat keyakinannya, semangatnya, tidak
mengeluhnya, dan tanggung jawabnya untuk acara ‘penuh kisah’ sebelas punggawa
berfaedah ini.
—Now—
Akhirnya
kita kembali ke kids jaman now. Eh salah. Kembali ke masa sekarang maksudnya,
setelah menggebara ke beberapa waktu lalu. beberapa waktu terdahulu untuk
menelisik mereka satu persatu.
Sekarang
di depan atm center Graha Pena ada
aku, Cis, Mas Habibi, Dan Mas Fajar. Mbak Distyk, Kak Hilda Dan Mbak Ajeng masih
di KFC A Yani masih mengguntingi Id Card
dan memasukkanya ke dalam keplek.
Tiba-tiba Kak Hilda sudah datang disana -eh
emang Kak Hilda datang lebih awal daripada aku sih, Cuma dia lagi ada di dalam KFC jadi ndak langsung ketemu- dengan tergesa-gesa dia memintaku membantunya
mengambil donasi alat tulis dari alumni yang aku ceritakan tadi. Ya memang Kak Hilda yang menyanggupi
bertemu dengan kakak alumni di KFC A Yani waktu siang itu, dan sebagai gantinya
Kak Hilda yang seharusnya ambil susu donasi dari frisian flag di dekat CK Waru -bawah
jembatan layang waru itu- digantikan olehku.
Setiap
orang mempunyai dramanya masing-masing memang di TnT kali ini. Dan ini adalah
drama pra-acara tnt versiku. Setelah dari tadi aku selalu menceritakan drama
teman-temanku, akhirnya datang juga giliranku wehehe
—FlashBack—
Jum’at
dramatis
Hari
Jum’at (13/10) kala itu mungkin bisa dibilang menjadi hari jum’at terproduktif-ku.
Pagi hari aku ke kampus untuk mengurus masalah tugas Psikologi Eksperimenku dan
sudah janjian dengan salah satu panti asuhan untuk bertemu dan membahas tugas
besar (tubes) matkul itu. Beberapa hal kadang kala memang harus diselesaikan
satu waktu. Aku yang biasanya perlu banyak waktu untuk mempersiapkan
keperluanku sebelum bepergian, kini bisa hanya dalam waktu 15 menit. Ini
merupakan peningkatan pesat. Aku dulunya sangat takut ada barang yang
tertinggal, aku buat list, ngelihatin lagi, dan memilih baju dalam waktu yang
agak lebih lama. Kali ini menurutku aku telah memecahkan rekor lama mikirku yey. Wkwkw
Ibuku
yang biasanya khawatir dengan segala persiapanku pun sampai tidak tahu aku
sudah selesai mempersiapkan semuanya. Malam kamis itu aku memang baru pulang
sekitar jam sebelas malam dan seperti biasa aku bisa mencuri-curi tidur saat
mengendarai Motor Mio unguku yang menemani perjalanan dan menjadi korbanku
selama 2 tahun terakhir. Aku sudah pernah jatuh dengannya lebih dari 3 kali di
jalan raya. Kasian sekali dia. Huhuh
Oke
kembali ke Hari Jumat, aku menyiapkan semua perlengkapan pada pukul 07.00-07.15
lalu bersiap ke kampus pada pukul 09:00, awalnya Mas Andra bilang kalau ambil
susu sekitar jam sembilan. Oke, aku akan ambil susu sebentar, lalu baru ke kampus.
Tapi ternyata ada beberapa hal yang membuat molor (re: susunya belum di perah, eh di masukan ke kardus maksudnya) dan
setelah menanti sampai jam sepuluh kok ga
ada kabar-kabar. Teman teman sekelompokku sudah pada kumpul lagi, makin bingung
bin resahlah aku. Akhirnya aku pamit ke
Mas Andra buat mengurus masalah masa depanku dulu (re: kuliah) dan setelah
semua urusan tuntas. Baru akan pergi ke tempat pengambilan susu Frisian Flag (FF) (wacana nya).
Banku,
kamu kenapa?
Aku
sungguh nggak merasakan apapun kemarin malam, Aku terlampau lelah sepertinya
malam itu, jadi gabisa mikir yang
lain selain pulang dan segeraa tidur.
Pagi
harinya ayahku bilang untuk mengisi angin banku yang belakang. Aku hanya
mengiyakan saja tanpa benar-benar peduli. Barulah ketika perjalanan menuju misi
besar, aku tersadar, ada yang berbeda dari dia. Dia menjadi sering gerak-gerak ga jelas, di rem juga terasa mengerikan.
Motor, kamu kenapa? Batinku dalam hati. Bernyali seribu doa Al Kahfi, aku
percaya Allah akan terus melindungi hambanya yang pergi di jalan yang
baik-baik.
Sampailah
aku di kos temanku dulu, untuk menjemputnya. Dan hal pertama yang dikatakanya
ketika naik motor mioku adalah. “Si, banmu ini bocor, kamu pakai sejak awal
dari rumah tadi?“ Dan iya, ternyata setelah tugas ke panti kami jalani telah hampir
mari. Wacana ke panti selanjutnya
terpaksa diganti lain hari. Aku harus mengurusi motorku dulu ini. Aku berjalan
dengan teman kosku yang tadi meniti menuju pak penambal ban yang dengan baiknya
masih mau buka di siang terik panas, waktunya jum’at an (lagi). Ternyata banku
ga ketusep paku atau apapun, tapi dia bolong. Lumayan besar. masyaAllah. Kasian
kamu ban pikirku saat itu. Daripada lama, kuminta bapak mengganti ban saja tak
perlu lah ditambal-tambal.
Susu
frisian flag, aku datang
Setelah
selesai tugasku sebagai mahasiswi, kini saatnya menuntaskan tugas sebagai sie
konsumsi. Meluncurlah aku dengan gesitnya menuju lokasi kantor susu frisian
flag. Dan drama baru terjadi. Aku yang baru sampai sekitar pukul 12:00 ternyata
tidak dapat langsung bertemu mbak Ifi (mbak yang mau kasih susu donasi). Ya tak
apa, memang ini jam makan siang. Ketika aku chat mbaknya via whatsapp, mbaknya
pun membalas dengan cepat. Yah mbak baru aja aku keluar, bentar ya mbak masih
makan siang.
Duh
! kan , udah kayak drama yang baru sampe satunya baru pergi. Aku dengan sopan
membalas, iya mbak gapapa memang sudah waktunya jam makan siang, maaf saya baru
mengabari, balasku singkat,
Baiklah
aku akan menunggu di lobby saja.
Aku
chat lagi dengan si mbaknya, eh ternyata ga ada sinyal oh three . . . three . . . memang benar kamu murah, tapi ya
gak gini juga. Berputar lah aku sebetar untuk mencari sinyal. Mencari secuil
harapan ditengah-tengah keputus asaan yang sedihnya lagi, soket handphone ku
rusak, menyebabkan hapeku gampang tak bisa di charge. Sekali nya bisa eh tidak
akan bertahan lama. Dan ini adalah salah satunya contoh itu, batrai hapeku yang
awalnya masih 10% tiba-tiba menjadi satu persen. Dan mau tidak mau, pesan
singkat whatsapp ini harus segera terkirim ke mbak ifi
“mbak
ifi, saya tunggu di lobby ya. Karena handphone saya lowbatt mohon maaf apabila
tidak bisa menjawab pesan mbak ifi selanjutnya.”
Dan
hapeku tertidurdengan tenang di dunianya.
Aku
duduk manis, termenung, sedikit cemas, banyak rindunya eh kok malah jadi nyanyi
ya. Heheh. Initinya aku yang memang gampang tertidur mulai merasa mata ini
turun wattnya. Kuusir segala kekantukanku sekuat mungkin. Aku baca-baca majalah
yang ada disana. Tiba-tiba tertegun beberapa saat, ketika hatiku seperti ada
yang memanggil.
Oh.
Nyatanya aku telah tertidur. Dan tidak lama kemudian seorang satpam
memanggilku, pertanda mbak ifi telah datang. Yey
Mbak
ifi telah tiba!
Hore
Alhamdulilah
semua tugas tugas telah terselesaikan dengan baik, aku bisa membawa enam dus
dengan bantuan tali rafia, Cuma yang lucu di akhir bahagia ini adalah
Pertama,
aku tertangkap basah tertidur di lobby. Entah kelewat gimana ya, sebenernya
malu, tapi ya mau gimana udah kelihatan juga di cctv. Pak satpam yang ada di
belakang lobby membantuku mengepaki dus-dus susu itu dengan polosnya bilang,
“mbak tadi tidur ya?”, aku yang tidak kalah polosnya menjawab dengan seger “iya
pak”. Batinku waktu itu adalah kalau aku bilang tidak kan juga bisa sebenarnya,
kenapa aku jujur sekali. Dan aku mau memastikan lagi bapak ini tau dari mana,
“kok tahu ya pak?”,”iya tadi kelihatan di cctv”. oh, batinku dalam hati, duh
bingung mau merespon gimana. Yang jelas aku memang tertidur, dan sudah tidak
punya tenaga buat malu juga. Karena sudah sering malu-maluin.
Hal
kedua yang selalu bisa membuatku merasa lucu dengan tingkah-tingkah orang di
Indonesia adalah, komentar-komentarnya. Mbak ifi yang dengan ramah memberikan
dus-dus tersebut yang kemudian mengomentari dengan santai kemandirianku yang
tak tertandingi.
“kok
tumben mbak sendiri?”
“iya
soalnya ga berdua mbak, heheh. Bisa kok sendiri jugaa, emang biasanya berdua ya
mbak?”
“iya
biasanya berdua mbak”
“iya
saya luar biasa berarti mbak, hehehe”
“anak
baru ya mbak?” waduh waktu pertanyaan ini keluar dari si Mbak, aku merasa
sepergi pegawai masa percobaan tiga bulanan gitu..
Akhirnya
pada pukul 14:00 aku sudah sampai rumah, dengan enam dus susu donasi, dua buah
tikar gulung dan satu tas sedang untuk kaos dan perlengkapan lainnya. Akhirnya
lengkap sudah semua persiapanku. Tinggal menjemput Mbak Wira. Sosok pertama
yang sudah aku ceritakan tadi. Dengan begitu berakhirlah drama-drama h-beberapa
jam sebelum tntku.
—Now—
The Bright
Setelah
Mas Fajar datang dengan segala keperluan yang masih tersisa seperti banner,
cover bintang harapan dan printilan-printilan-nya
-volunteer yang cuma tiga manusia (Mas
Habibi, Mbak Wira, Safira) dan kami para panitia- sudah tidak sabar menemui
mereka besok pagi. Mendadak mendapat sedikit pencerahan, mendapat cahaya ilahi
setelah dua kali melihat kecelakaan kecil tepat didepan tempat kami duduk duduk
menanti -Entah kenapa orang-orang ini
pada menabrak pembatas jalan berwarna orange
yang ditaruh polisi disitu-
Cahaya itu datang dari kabar seorang perempuan
-yang sedang menempuh pendidikan koasnya sebagai sarjana kedokteran- sepertinya
bisa menyusul. Dan akhirnya, kami menambah pasukan. Setidaknya satu.
SOSOK KEDELAPAN
MBAK ANISSA
Iya,
ini adalah Mbak Anissa yang sempat mau ikut diawal tadi, tapi mendadak bilang
tidak bisa karena pergantian jadwal ujiannya. Awalnya si Mbak Anissa ini
sungkan karena ditunggui banyak orang, yah
padahal ga banyak-banyak juga sih. Sambil menanti
jisang/garnisung/truk TNI atau apapun namanya itu, Mbak Anissa datang diantar seorang
laki-laki dengan membawa dua tas, satu di punggung dan satunya lagi di bawa
dengan tangan. Mbak Anissa yang awalnya memang tidak terencana bisa hadir ini
belum mempersiapkan materinya. Sungguh improvisator sekali. Bermodalkan bismillah
bu dokter cantik itu, kini bergabung dengan laskar harapanan menuju SDN 3 Gajah.
Let’s Get Start!
Sebelum
kita berangkat malam jumat kala itu, kami menanti sendu bapak sopir truk TNI warna
hijau itu. Setelah menunggu bu dokter habis ujian, sambil gunting-gunting
materi untuk adik-adikku. Kini giliran bapak yang masih ngopi dulu. Yah dan terjadilah drama tunggu
menunggu.
Tak
apalah hitung-hitung buat pedekate
lagi. Saling mencari chemsitry dengan
yang baru. Tepat pukul delapan malam Jum’at itu. Kami berangkat mengucap penuh
asa kata basmallah, tanda dimulainya perjalanan kami yang akan menjadi cerita
baru yang seru.
Pukul
delapan malam kala itu terlihat lebih cerah dari biasanya, hembusan angin di
sela-sela jendela juga tidak terlalu menusuk kulitku. Semua tampak pas.
Jisangnya, orang-orang didalamnya dan barang-barang yang menjadi saksi bisu
dimulainya petualangan kami.
Meski
di awal –jujur- aku merasa canggung karena banyaknya ruang kosong di jisang itu
dibandingkan sewaktu di TnT 15 Bojonegoro kemarin yang ada 25 orang dalam satu
jisangnya. Ya, tapi tak apa.
Lagi-lagi Mbak Distyk dengan cerianya mengisi kekosongan itu.
Safira
yang memang sejak awal bukan alumni dari seribu guru Surabaya masih malu-malu
untuk bersuara. Mas Habibi juga belum memperlihatkan sosoknya, ia masih duduk
manis ditempatnya. Kalau Cis, waktu itu sepertinya sedang tidak sedang mode ramai. Mbak Anissa dan Mbak Ajeng
juga cuma sesekali tertawa ketika digudoi
sama Mas Andra.
Mas
Fajar duduk disamping bapak sopir, jadi aku tidak tahu apa yang dilakukannya.
Mbak Wira masih asik bercerita sama Mas Andra, sepertinya nostalgia atau
membahas masalah negara. Entah, aku
juga kurang paham.
Intinya
kita masih sibuk dengan kesendirian kita masing-masing.
Sampai
akhirnya lengkap sudahlah tim kesebelasan untuk tiga hari kedepan, karena
kehadiran fotografer perempuan yang dijemput langsung di bypass Krian.
SOSOK KESEMBILAN
MBAK IMEL
Tatak
Mbak
Imel adalah orang terakhir yang bergabung bersama kami di dalam truk hari ini.
Akhirnya tim kesebelasan kami full team.
Mbak imel ini satu angkatan dengan Mas Habibi -sama-sama alumni dari TnT 7- hal
yang pertama aku dapat dari mbak Imel adalah tata (red. Yakin).
Jadi
ceritanya, Mbak Imel ini juga dadakan banget
dapat ajakan TnT dari Mas Andra, bahkan dia ga juga cerita nggak nyangka
tiba-tiba sudah duduk diatas kursi jisang yang agak atos itu. Mbak imel yang baru pulang kerja, langsung mempersiapkan
kebutuhannya, drama tnt juga dilewati oleh Mbak Imel. Selain yang biasanya Mbak
Imel ini susah di-izinin-nya kalau pergi-pergi mendadak, hari itu dengan
mudahnya dapat izin. Dia juga sempat menunggu kurang lebih setengah jam-an karena
ternyata jisang kami kejauhan. Padahal sewaktu berangkat di tempat penjemputan
mbak imel sudah sangat tergopoh-gopoh sekali. Hehehe. But at least kita akhirnya bertemu.
Hal
yang mendekatkan kami
Perjalanan
kami memang masih panjang. Aku masih bisa melihat jelasnya cahaya bulan yang
menyelip masuk diantara jendela depan tempat dudukku, aku masih melihat banyak
kendaraan motor di jalanan, dan aku masih melihat tanda sinyal handphoneku
penuh, ini masih jauh pikirku dalam hati. Namun perlahan-lahan suasana berubah
menjadi lebih nyaman dan akrab, pelan tapi pasti akhirnya kami bisa berada
dalam satu forum.
Mas Andra adalah dalangnya.
Salah
satu ceritanya yang mampu membuat semua mata tertuju padanya, bukan sebuah
kisah nabi apalagi sebuah kisah tentang kisah kasih. Lagi-lagi ini adalah kisah
pengalaman pilu dia di jaman masih usia dini. Jaman masih newbie di suatu seminar, menjadi pembicara sebagai koordinator untuk
Seribu Guru Surabaya pertama kalinya didepan ribuan mata para mahasiswa dan
mahasiswi.
Tiba-tiba
kami semua yang mulanya duduk berjauhan, mulai duduk mendekat dengan seksama.
Mas andra memberi tanda bahwa cerita yang akan dibawakannya ini ‘lucu’ okeh,
aku mewanti-wantinya. Mas Andra memulai kisahnya dengan raut wajah yang
bergelora. Ia bilang kalau ini merupakan pengalaman pertamanya menjadi seorang
narasumber, semua sudah disiapkannya dengan teliti.
Karena
baru pertama, ia selalu mengontrol apa yang akan disampaikannya -saking takut
salah ngomongnya- dan Sampai ditengah-tengah terjadilah drama itu. Drama dimana
tiba-tiba slide yang ditampilkannya
mati karena masalah teknis.
Ketika
itu mas Andra merasa ini kesempatan bagus buat dia lebih merileks-kan diri, dengan improvisasi becandaan agar dapat chemistry-nya
antar narasumber dengan audience.
Dalam
benaknya ia sudah menyusun kata-kata yang akan diucapkannya,
“Nah Penasaran kan?”
Tapi
alih-alih kata itu yang keluar, justeru alam bawah sadarnya kini yang
memenangkan peperangan antara otak dan batin ini, yang keluar adalah apa yang
dirasakan Mas Andra sedari awal acara,
“Nah, tegang kan?”
Kriiiiikkkkkkkk...........
Tiba-tiba
suasana menjadi semakin krik-krik dan
canggung. Kami semua yang mendengar ceritanya sontak tertawa lepas bersama.
Mas
Andra masih mengingat jelas peristiwa itu. Dan cerita pengalaman itulah yang
menjadi hal yang mendekatkan kami. Menjadi sesuatu yang membuat kita merasakan chemistry satu sama lain. Dan
kisah-kisah konyol lainnya mulai mengudara dari masing-masing kita menyusuli
satu demi satu, berbagi canda tawa, kisah sedih, mengharukan, horor, konyol. Semua
saling berbagi bersama dibawah atap truk TNI ini, ditambah semiliran angin
malam yang tak henti-hentinya melambaikan hawa nyaman disekitar kami.
Terimakasih
Mas Andra menjadi pemecah batas diantara kami, dan ini juga merupakan kesanku
terhadap sosoknya. Sosok lain seorang koordinator Seribu Guru Surabaya.
—FlashBack—
SOSOK KESEPULUH
MAS ANDRA
Keputusan
terbaik
Seperti
yang sudah kuceritakan di bagian Mbak Distyk. Aku sudah bertemu dengan Mas
Andra pertama kali ketika rapat kedua TnT Reuni. Lalu pertemuan keduaku dengan
Mas Andra adalah ketika ada rapat dengan tim seribu guru.
Karena
sejak awal di TnT 15 Bojonegoro aku sudah nyaman dengan lingkungan komunitas seribu
guru surabaya, akhirnya ketika ada oprec
tim Divisi Rekruitmen, aku memutuskan untuk ikut bergabung.
Sabtu
h-8 keberangkatan TnT Reuni, ada pertemuan dengan tim untuk membahas acara amal
yang dibuat oleh seribu guru. Aku yang masih baru, tentu cenderung jadi pemalu,
ya meskipun ada beberapa orang yang
sudah familiar karena juga ikut di
TnT Bojonegoro kemarin. Tapi tetap saja aku malu-malu.
Seperti
judulnya, menjadi bagian dari seribu guru adalah keputusan terbaik yang pernah
aku ambil. Teori belajar sosial milik Akung Vgotsky yang mencetuskan bahwa
lingkungan sangat berpengaruh terhadap motivasi seseorang dalam belajar itu
benar, karena aku merasa dapat banyak energi positif dari sini. Sebenarnya ada
beberapa keputusan terbaik lainnya yang aku rasa berhasil ambil berkat Mas Andra,
seperti keputusannku ikut acara tnt reuni ini.
Sepertinya
orang-orang psikologi memang sudah seharusnya mudah membuat orang lain merasa
nyaman. Dan aku nyaman ada di antara teman-teman tim seribu guru jugas salah
satunya karena Mas Andra. Entah kenapa sosoknya seperti kakakku sendiri atau seperti
dosen favoritku di kampus atau seperti ayahku yang terkadang ketika dia dengan
bijaknya memberikan petuah-petuah –ala-ala pujangga gitu-.
Intinya
Mas Andra ini tersangar. Bagaimana
kepemimpinannya, bagaimana sifat ambivertnya, dan bagaimana kesederhanaannya yang
membuat tim kesebelasan kita makin kompak aja setiap detiknya. Dan satu lagi
orang memberi ide, ingin membukukan semua kisah kita ini adalah dia, Andra
Maulud, Damar Kurung, Narasi Kopi dan nama-nama beken doi lain yang aku mungkin
belum aku ketahui.
—Now—
Suasana
menjadi semakin cair gara-gara dongengan Mas Andra tadi. Kini yang aktif bercerita
jadi bertambah. Mas Habibi mulai menampakkan wujud aslinya, Safira mulai bisa
ikut mengomentari, kita semua satu rasa. Bahagia!
Cerita horor yang nggak horor
Semakin
malam, Cerita pengalaman lucu yang mendekatkan kita tiba-tiba berubah haluan menjadi
cerita horor, dan entah siapa yang memulai semua ini.
Tapi
itu juga menjadi alasan semakin merapatnya posisi duduk kita. Mulai dari Mbak
Imel dan Mbak Distyk yang menceritakan pengalaman mereka ketika bertemu sesosok
makhluk lain, dan sepertinya mereka memang bisa melihat hal-hal yang tidak kebanyakan
orang bisa lihat. Si Safira yang sejak awal sudah bilang bahwasannya dia sering
sekali tidak bisa tidur walaupun hanya mendengar cerita horor saja dan aku yang
selalu suka didongengin -apapun genrenya- mulai menikmati perjalanan ini.
Mas
Habibi kini mulai jadi seorang pendongen ulung.
Ini ceritanya.
Ada
lagi cerita dari Mas Habibi, cerita pengalamannya melihat penampakan hantu
ketika sedang bersepeda menuju suatu tempat, semakin ia lihat, hantunya semakin
mendekat, padahal dia sudah baca banyak doa untuk mengusir, sampai akhirnya si
hantu ada tepat didepannya, dan yang bisa Mas Habibi lakukan cuma menutup mata,
berdoa, mengayuh sekuat mungkin. Akhirnya ia tidak tercebur di kali sebelah
jalanan. Dan tetap berada di jalan yang benar sampai hantunya hilang.
Seluruh
ekspresi yang diperagakannya mulai dari mimiknya, gerakan tangan, kaki, dan
semua gesturenya selalu membuatku
yang berniat tidur menjadi tidak bisa tidur. Malam itu sungguh aku lelah
tertawa.
Setelah
semalaman didongengin Mbak Distyk dan Mas Habibi yang masih asik cerita
hantu-hantu akhirnya aku tidak kuat dan bubuk sejenak
The end.
Wajah
Mas Habibi ketika menceritakan kisah itu entah flat atau memang gitu ‘gaya pembawaannya’ membuat aku tidak jadi
merinding tetapi tertawa terpingkal-pingkal.
Konspirasi Alam yang cantik
Sekitar
pukul setengah empat pagi, aku merasa kita sudah berada di tempat yang berbeda.
Rasa-rasanya seperti sudah ada di pedalaman terjauh di pulau jawa. Nyatanya masih
baru awal perjalanan menuju Desa Gajah. Lagi-lagi, akhirnya mataku jadi full watt. Tidak bisa berhenti menatap
keluar jendela. Langit dengan hamparan bintang selalu bisa membuatku jatuh
hati, ditambahi bau tanah yang wangi, dan tidak lupa sedikit goncangan memacu
adrenalin menjadi hal favoritku mengenai perjalanan menuju pedalaman.
Saat
itu goncangannya melebihi goncangan ketika ke Desa Bunten Bojonegoro, mungkin
karena muatannya yang tidak terlalu banyak, menyebabkan banyak barang-barang
yang berjatuhan -ih alay banget wkwkw- Bukan berjatuhan mungkin bisa dibilang
pindah posisi. Kesana kemari menari mengitari kami. Mbak distyk, Mbak Ajeng dan
aku yang duduk di tengah berusaha melawan goncangan yang ada. Rasanya seperti
di wahana kora-kora batinku dalam hati. Dalam berbagai situasi, lagi-lagi aku
tidak pernah sampai hati kalau tidak mencuri-curi pemandangan di depan mata
kaki sampai mata hati. Sekali lagi aku mencoba mengabadikan momen langka kerlap
kerlip lampu dari atas bukit tinggi, namun gagal.
Kamera
lenovo A6000 ku tidak cukup canggih untuk merekam semua itu. Akhirnya aku memutuskan
menikmati semua itu sambil terus berucap terimakasih dalam hati. Terimakasih
atas kesempatan bertemu orang-orang ini di tempat seindah ini dan terjadi saat
ini.
Tim semangat 45!
Kami
sampai di lokasi –perkiraanku- sekitar pukul 05:00 pagi. Kami singgah di rumah
Pak Robin salah seorang yang istrinya juga kebetulan mengajar di SDN 3 Gajah yang
juga temannya
Pak Wahid kami yang diperjalanan 8
jam akhirnya sampai juga di tempat singgah, tapi belum sampai di sekolah. Oiya
perjalanan 8 jam kami ini sebenernya masih kalah lama dengan pak robin yang
sudah menunggu kita di Alun-Alun Ponorogo sejak jam 10 pagi di hari jum’at
kemarin sampai mengawal kami tiba dirumahnya jam 5 pagi hari ini. Jadi begini ceritanya
—FlashBack—
Meeting
Point kedua
Pak
robin adalah orang yang harus aku hubungi untuk koordinasi masalah konsumsi
selama kegiatan. Aku lupa kapan aku mulai chat
dengan bapaknya, yang jelas selain membahas tentang konsumsi aku juga diamanahi
oleh Mas Andra untuk mengingatkan dan koordinasi masalah penjemputan kami di
alun-alun Ponorogo, tempat Meeting Point
kedua kita sebelum sampai lokasi.
Dengan
polosnya aku menganggap kalau pak robin tahu apa yang aku maksud ketika aku
bilang bahwa kami akan berangkat ‘pukul tujuh’. Udah, pukul tujuh aja, tanpa ada keterangan lain-lain. Dan memang
selama in aku tidak terbiasa menggunak format 24 jam. Jadi yang aku maksud itu
pukul tujuh malam. Berangkatlah beliau dengan semangatnya ke alun-alun jam
sepuluh, sholat jum’atan disana dan pada pukul satu siang beliau mengabari aku
via whatsapp, bertanya
“sampai
mana mbak?”
“kami
berangkat jam 7 pak,”
“laiya, mbak. Sekarang smp mana?”
Dan
aku baru ngeh, oalah iyaiya dikira
jam 7 pagi, bukan malam pasti ini. Aku akhirnya baru ngeh. Kalau ini salah paham
Sisi,
sisi kamu itu yaa..... batinku dalam hati menyesali, tapi malah jadi bahan buly Mbak dan Masku yang lain. Diejekinlah
aku yang mulai dari
“cie
yang chat an ama pak robin,”
“Sisi
khawatir sama pak robin rek, ojo ngunu,”
“Wah
ngunu ngawur sii, tinggal ae sisi nek wes disana,”
Tapi
justeru buli-bulian mereka yang membuatku
makin sayang dan sedikit ngga takut
salah. Karena salah itu hal yang wajar -Asal ga sering-sering ya wkwkwk-
—Now—
Oke,
kembali ke masa sekarang!
Sudah
tidak ada waktu untuk bersantai ria, sudah saatnya kita menyambut adek-adek di
SDN 3 Gajah. Sholat subuh, dilanjut menyiapkan materi -mulai dari name tag, reward,
dan perlengkapan lainnya- sambil menunggu antrian mandi. Aku masih sibuk menyapa
orang-orang di rumah Pak Robin, oiya
tidak lupa juga tadi sudah meminta maaf dengan beliau perihal drama yang aku
sebabkan. Hehehe
Rumah
yang hangat
Didalam
rumah yang cukup besar itu diisi beberapa orang yang pertema –pastinya- ada pak robin, istrinya, seorang bayi
perempuan yang cantik, ada juga anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh
tahunan dan seorang perempuan paruh baya. Rupanya ramai juga rumah ini dalam
hatiku. Mengingatkanku akan rumahku sendiri. Aku dengan nyamannya masuk ke
dapur -selain karena aku memang sie
konsumsi yang sudah seharusnya bantu-bantu gitu biar ada kontribusinya- aku
ingin belajar melawan rasa malu-maluku selama ini dengan orang dewasa baru,
dulu biasanya aku lebih suka memilih main-main sama temenku daripada aku
kenalan sama orang baru.
Saat
aku ke dapur, untuk menemui isterinya (yang ternyata masih muda dan cantik
sekali) panggil saja Mbak Wafi, dengan lincahnya jemari lentiknya menari-nari
diatas telenan kecoklatan itu.
Wajahnya yang ramah dan senyumnya yang menyenangkan membuatku seakan sedang
mudik ke rumah saudara sendiri. Dengan wajah bingung aku gaya gayaan bertanya
apakah ada yang bisa dibantu.
Akhirnya
aku Cuma bantu ngelap piring dan menyiapkan
alat makan yang ada di belakang untuk dibawa ke serambi depan rumah.
Di
dalam rumah yang hangat ini, ditemani secangkir teh hangat, dan suara gemericik
air hujan yang manis mulai membasahi tanah Desa Gajah, dengan segala macam kertas-kertas,
jajan dan properti mengajar yang berserakan di ruang tamu, menjadi pemandangan
yang sempurna untuk menyambut pagi hari sabtu-ku kala itu.
Mengarungi Bukit Gajah
Setelah
sarapan cantik, menunggu hujan menjadi gerimis rintik dan persiapan juga sudah
ciamik. Kesebelas punggawa berangkat ke lokasi SDN 3 Gajah. Perjalanan dari
rumah Pak Robin ke sekolah memang tidak memakan waktu lama, mungkin sekitar
duapuluh menit. Jalanan di bukit yang juga tidak kalah cantiknya lagi-lagi gagal aku abadikan dalam
bentuk foto, alhamdulilah-nya kali ini aku berhasil merekam ala-ala vlogger
amatiran dengan Si Ovo (red Lenovo) kesayangan. Jalannya yang Cuma muat satu
mobil ditambah naik turunnya bukit membuat perjalanan 20 menit ini tidak kalah
membahagiakannya dengan naik wahana di arena bermain kota-kota besar. Udara
yang masih sejuk, matahari yang masih mengintip malu-malu, hamparan sawah dan
terasering yang menjadi pemandangan sejauh mata memandang, sungguh membuat otak
terus menerus mengeluarkan hormon endorphinnya.
Ah
senangnya bisa jadi salah satu orang yang menikmati keindahan ini. Lagi dan lagi tak kurang aku mengucap MasyaAllah dalam hati. Tapi, tunggu
dulu. Ternyata globalisasi juga berdampak besar di desa ini. Anak-anak -seumuran
SMP atau SD tahun akhir- sudah lihai
menggunakan sepeda motor kesayangan mereka. Sendiri-an atau Berboncengan dua
sampai tiga bahkan, menggunakan seragam coklat-coklat pramuka,
berbondong-bondong berangkat ke sekolah. Dan kebetulan mereka tidak bisa menyalip jisang kami, karena memang jalanan
yang sempit. Aku hanya bisa memandangi mereka dari dalam jisang dengan tatapan antara
miris dan kritis.
Sebelum
sampai di SDN 3 Gajah, kami juga sempat melewati SDN 1 dan 2 Gajah. Ternyata
SDN 3 Gajah ini memang yang paling jauh lokasinya dari pemukiman warga. Waktu
aku tanya dimana letak SDnya dan bercanda ke mbak-mbak di jisang, kalau tempat
SDnya ternyata ada di balik-bukit, bukitnya , bukitnya lagi. Yang bukit paling
ujung dan tinggi pokoknya, eh
ternyata benar. SDN 3 Gajah ada di balik bukti yang paling tinggi disana.
Halo adek-adekku!
Kami
akhirnya sampai juga di sekolah itu, dengan wajah ceria, mereka mengikuti
jisang yang masih belum berhenti, melambai-lambai, tertawa dengan antusias. Wah
energi positif dari mereka langsung menyalur ke aku. Langsung. Acara formal
telah berlangsung. Mulai sambutan sampai foto formalitas pemberian donasi
kepada bapak kepala sekolah. Sekarang saatnya kita Ice breaking yey!
Mbak
Ajeng yang terlihat kalem itu ternyata berubah menjadi Mbak Ajeng yang ceria
dan bersemangat (membuat gaya ombak dengan tangan kanan). Aku terkejut ternyata
seseorang bisa menjadi sekeren itu dalam waktu singkat, eh ternyata mbak ajeng ini seorang trainer. Yaampun mbak aku yang kalem ini, gemesin banget waktu
memandu adek-adek di depan sekolah. Seluruh mata tertuju pada dia. Tidak hanya Mbak
Ajeng, Mas Habibi yang selalu mampu membawa cerita dengan kebahagiaan, ikut
memandu adek-adek bermain. Dan ternyata dia juga seorang trainer. Semakin bertambah kekerenan dia selain bisa stand up, bisa juga jadi motivator
adek-adek. wkwkw.
Mas
andra, MbaK Imel dan Mas Fajar sibuk mendokumentasikan kebahagiaan kami hari
itu. Sisanya..... sibuk berbahagia. hahahaha.
Sekitar
jam setengah sepuluh pagi, akhirnya mereka masuk ke kelas masing-masing. Dari
kelas 1-2 dipegang sama Mbak Distyk dan Mbak Ajeng. Karena tugas sekretaris dan
bendahara mereka telah rampung, jadi bisa jadi pengajar sekaligus panitia.
Sungguh, warbyasayah. Kelas 3-4
dipegang Mbak Wira dan Safira. Dan kelas 5-6 diakomodir oleh Mas Habibi dan
Mbak Anissa.
Sementara
aku sebagai panitia serabutan sekarang saatnya membantu Cis di sie acara. Bantu
nurunin donasi dari jisang, bantu guntingin bintang harapan, bantu nemepelin background buat bintang
harapan, bantu sapu kelas buat tempat kumpul pas pembacaan bintang harapan. Mas
fajar, mas andra dan mbak imel masih sibuk berkutat dengan kamera mereka, kini
mulai agak merapat dengan datangnya gorengan dan teh dari Mbak Wafi (istri pak
robin tadi) dan dua guru cantik yang baru saja aku berkenalan dengan mereka namanya
Bu Ida dan Bu Niken. Dari 85 murid di SDN 3 Gajah ini, Cuma –sekitar- 6 guru disana.
Saat
itu aku juga bertanya kepada Bu Ida, Bu Niken dan Mbak wafi sendiri, bagaiaman
bisa menghandle dengan jumlah guru
yang segitu. Mereka bercerita kalau anak-anak ini akan nurut kalau belum
seberapa deket dengan gurunya, dan untuk mensiasati itu, sekolahan ini selalu me-rolling guru setiap harinya.
“Jadi
tiap hari ganti yang mengisi kelas di kelas 1-6 ya mbak?,” tanyaku penasaran
“Iya
mbak , nek ga gitu anak-anak ini susah banget diaturnya,”
Wah,
sahutku sama cis yang lagi guntingin bintang harapan
Selain
itu, aku jadi tau bagaimana anak-anak kesehariannya yang kata ibu guru mereka
itu aktif banget mbk, saking aktifnya seetiap hari harus ganti pengajar biar
bisa diatur, aku jadi tahu ternyata mereka benar-benar menanti kehadiran kita,
berangkat jauh lebih pagi dari biasanya, meskipun kondisi cuaca pagi itu hujan
rintik rintik, dan rumah mereka yang jug kebanyaka tidak dekat dari rumah
membutuhkan sekitar 1,5 jam untuk jalan. Dan ada yang begitu. Berjalan selama
itu untuk kesekolah.
Ternyata
di tempat seperti itu, yang motor sudah masuk ke berbagai lini masyarakat masih
ada juga yang jalan kaki, yang kukira tempat ini tidak terlalu jauh dan susah
dengan kendaraan bermotor. Aku lupa kalau tidak semua orang memilki fasilitas
yang sama. Tidak semua orang juga punya semangat yang sama, ataupun tidak semua
orang yang punya rasa syukur yang sama.
Mungkin
menjadi panitia itu nilai plus-nya disini, yah
meskipun aku juga lebih suka menjadi pengajar, enak bisa langsung berinteraksi dengan adek-adek, tetapi enaknya
jadi panitia aku bisa langsung tanya-tanya ke guru-guru, ke warga sekitar, bisa
tau banyak juga tentang kenapa desa ini diberi nama gajah, yang ternyata karena
bentuk pegunungannya yang menyerupai gajah toh. Hehehe.
Modernitas di pedalaman
Waktu
mulai menunjukkan jam istirahat, akhirnya adek-adek bisa memakan bekal mereka.
Oiya mereka memang kebanyakan jauh rumahnya dan acara kami yang awalnya ini ada
pengobatan gratis atau sekedar penyuluhan gratis dirombak menjadi bermain
permainan tradisional bersama adek-adek. Yah,
lagi-lagi karena terhambat kurangnya tenaga dokter yang dibutuhkan untuk
membuat pengobatan gratis itu sendiri.
Karena
mereka juga tidak biasa pulang sesiang hari ini pada hari sabtu biasanya, sebelumnya
guru-guru pun juga sudah mengingatkan untuk membawa bekal.
Tapi
seperti biasa masih ada beberapa anak yang tidak membawa bekal, dan ada
beberapa hal lucu yang aku amati disini. Ketika adek-adek yang tidak membawa
bekal ini berkata “weh, marung yuk,”
Wah
bahasa nya unik juga yaa, ketika aku tau istilah itu artinya, njajan di warung. Kayak bahasa kita
kalau bilang ngopi gitu. Oiya setelah itu ternyata jajanan di warung
itu gaul-gaul juga, masa ada bon cabe.
Sewaktu
itu aku berkeliling melihat makanan apa yang dibawa adek-adek ini, dan
sepertinya disini mie instan juga menjadi menu favorit. Adek-adek ada yang bawa
ikan, ada yang bawa sosis, ada yang bawa sayur juga, ada yang bawa boncabe sendiri juga. Sudah lumayan
modern juga sebenernya daerah di desa ini, bahkan ada fasilitas Wi-Fi nya. Duh! Gawl
banget kan?
Prosesi Sakral
Prosesi
sakral itu akhirnya berlangsung. Mereka maju satu persatu dengan deru yang
saling bertabuh karena semua berebut maju di bahu paling dulu.
Akhirnya
segala cita-cita mulai dari tentara, dokter, guru, bahkan sopir truk juga sudah
dilantunkan oleh mereka dengan semangatnya.
Ternyata
serangkaian prosesi sudah hampir selesai. Penempelan bintang harapan, minum
susu, sampai pembagian donasi. Akhirnya detik-detik serangkaian kegiatan kami
menuju akhir. Kurang satu agenda lagi. Bermain tradisional bersama anak-anak.
Dan
agaknya siang menurut kami dan menurut para wali murid itu bebeda. “iya mbak
padahal sudah diumukan kalau pulangnya lebih siang dari biasanya,” kata mbak
wafi saat itu. Ternyata mereka biasanya juga sudah plg jam 10 an pada hari
sabtu. Dan acara kami baru selesai jam satuan. Yasudahlah gagal rencana
bermainku dengan mereka.
Memang
ada perasaan sedikit sedih tersendiri. Karena ternyata pengobatan itu memang
seperti menjadi acara yang ditunggu-tunggu juga oleh warga sekitar. Bahkan
pengalaman yang kemarin di TnT Bojonegoro juga sampai ada bapak-bapak yang
pura-pura batuk demi mendapatkan obat gratis. Ceritanya ketika ditanya batuk
dari kapan ya pak? Dan tiba-tiba si bapak spontan batuk-batuk. Saat itu juga.
Ternyata
obat merupakan hal yang susah didapat secara g r a t i s. Masih menjadi hal
yang harus dikumpulkan ketika ada acara beginia meskipun mereka sebenarnya
masih belum butuh. Dan kata dokter-dokter yang ikut program volunteering di TnT Bojonegoro kemarin
hal itu memang masih sering terjadi di pedalaman indonesia. Belum meratanya
pengobatan untuk segala kalangan di daerah-daerah.
Waktu
bergulir begitu cepatnya, siang sampai sore diisi dengan charge mulai dari hape, kamera, sampai badan. Hehehe. kami semua
tertidur lelap (kecuali aku sih). Akhirnya adzan maghrib mulai berganti dari
ashar, maghrib sampai isya. Dan setelah isya adalah acara sharing pengalaman, perasaan selama seharian bersama. Mulai dari
naik jisang sampai duduk berhadapan sekarang.
Pelangi di malam hari
Dari
semua serangkaian acara TnT yang paling aku sukai adalah bagian ini. Sharing
session, karena di sharing session ini setiap orang menceritakan perasaan,
pengalaman, dan kesan pesan selama serangkaian acara. Aku merasa mendapat
banyak hal di satu tempat yang sama. Seru!
Jadi karena di dalam rumah ini ada adek bayi,
dengan frekuensi ketawa kita yang tidak bisa dikondisikan, akhirnya kita
berangkat ke musholla terdekat sekalian sholat isya’ berjamaah. Setelah lengkap
mengambil peralatan untuk perang. Cielah.
Berangkatlah aku dengan mbak Imel dan Cis, memang kami bertiga kelewat
berbahagia sehingga ingin segera menuju mushalla waktu itu.
Aku
sempat menatap ke langit sejenak, duh! Cantik sekali kataku pada dua cewek
disamping kanan kiriku. Mbak Imel tiba-tiba bilang, loh tadi aku kayak lihat Mbak Disty sama Mbak Ajeng dah duluan deh. Aku sama cis
tatap-tatapan. Tiba-tiba perasaanku jadi gaenak, bulu kuduk merinding, dan langkah jadi tak setegap tadi.
Akhirnya
aku mencoba menepiskan perasaan mengganjal itu dengan menatap Cis dan bilang ”ah
enggak mbak, orang lain mungkin,” ternyata Mbak Imel ini nggak sadar kalau aku kode, supaya tidak usah dibahas terlalu dalam
lagi, aku sudah merasa ada yang ga
beres. Dan lagi-lagi Mbak Imel menanyakannya.....Hmm
Tidak
lama datanglah kesatriaku di malam itu, membawa dua karpet dan seonggok kunci
gitu. Menjadi juru kunci. Suasana di dalam juga sebenernya agak aneh. Mas Habibi
saja sampai memutuskan menutup korden di dekat pintu Imam. Jadi semua menjadi
celah sebisa mungkin tertutup agar tidak terganggu.
Setelah
memebahas hal-hal yang membuat bulu kudukku menderu, mari kita fokuskan lagi
cerita ini.
Gambaran
Pelangi di malam hari adalah proyeksi yang paling pas disaat itu –menurutku-.
Aku bertemu dengan sepuluh orang hebat dengan keunikannya masing-masing, dengan
kisahnya masing-masing, dalam pertemuan singkat kita -yang Cuma tiga hari-
namun begitu indah, seperti pelangi bukan?
Dongeng Sebelum Tidur
Sholat
isya’ pun dilaksanakan dengan khimat dan dengan sedikit rasa merinding. Tepat
pukul 19:30 kami sudah duduk melingkar dan memulai dongeng kita masing-masing. Dimulai
dari si Cis yang merasa sedang kebujuk ketika ia baru tahu, dari sie acara Cuma
dia seorang yang bisa ikut.
Kemudian
dilanjutkan ceritanya si safira yang perjuangan mencari pengganti survey PKL ke
luar kotanya dalam waktu h-3 acara, menyiapkan materi, uts yang menanti DL
senin besoknya. Oiya akhirnya si safira juga menceritakan cerita kegagalannya
dalam mengikuti TnT Seribu Guru Surabaya ini. Dia sudah mencoba daftar dua kali
tetapi selalu saja ditolak, sampai-sampai ia sempat tidak mau coba daftar lagi.
Hehehe, tapi jodoh emang ga kemana. Buktinya skrg dia ada
diantara kita.
Nah,
yang ketiga giliran Mbak Anissa. Soal drama yang ia alami di awal cerita
mungkin sudah sedikit aku ceritakan. Dan sharing kisah sedih kegagalan Mbak Anissa
ini karena dulu sempat mau ada suatu agenda yang sudah dinantikannya dan
orangtua tidak memberi izin, kok ya emang kalau nurut orangtua itu selalu
selamat benar karena disaat itu juga mbak anissa ternyata ada suatu ujian yang
kalau-kalau tidak diikuti akan membuat tidak lulus matkul tersebut~ ulala.
Ridho Allah, Ridho Orangtua emang.
Sekarang
giliran Mbak Distyk, mbak yang paling ceria sejak awal aku kenal. Terlalu banyak
drama yang ia lewati, sampai aku bingung harus mulai dari mana. Intinya, mbak
distyk ini bener-bener merasa tnt kali ini terdrama tapi juga paling berkesan.
Masalah cerita kegagalan yang dia alami ini menyangkut Event Organizer yang
saat itu iya sedang tekuni, sempat ada miss communication diantara keduanya,
dan mbak distyk dimarahin habis-habisan sama clientnya. Kalau kata mas andra, “yah dibuat pengalaman aja,
setidaknya sudah berkurang satu jatah salah kamu,”
Dan
sebelah Mbak Distyk tentu ada Mbak Ajeng dengan wajah kalemnya menceritakan
kalau sewaktu kecil dulu ia pernah belajar naik sepeda saking semangatnya, ia
mengayuh sepeda itu sekencang-kencangnya sampai akhirnya ia sadar, ia lupa
belajar cara ngerem sepeda miliknya. Alhasil jatuhlah diaa ke mana hayo
kira-kira.....hehehe.
Sekarang
kita beralih ke fotografer tercantik kita, ia dengan semangatnya walaupun
banyak pekerjaan membebani ketika akan berangkat ikut tnt ini berhasil
melupakan sejenak segala lika-liku dan hiruk pekerjaan di kanor .
Nah,
ini nih akhirnya datang giliran mas andra yang mulai dongengin kita. Jadi
cerita drama si mas ini yang paling vital adalah peristiwa ketika Hpnya
tercebur di laut saat tnt ini sedang hectic-hecticnya cari peserta, dan saat
mas andra sudah mulai kontak beberapa orang volunteer untuk diajak gabung. Mbak
wira salah satunya. Alhasil semua kontak dilakukan via ig dulu sama mas andra,
kok ya ada-ada aja. Wkwkw. Drama dimana mas andra juga merasa semua akan jadi
baik, apabila niat kita baik. Dan itu terbukti, nyatanya kami sekarang sedang
bercengkrama bersama bersebelas membagi kisah masing-masing~
Setelah
mas andra, akhirnya giliran mas habibi -yang selalu kayak standup- itu cerita. Lucu,
sedih, senang, semua emosi yang ia coba ekspresikan selalu berakhir dengan satu
ekspresi wajahnya. Datar. Dan itu yang selalu berhasil menghibur kami semua.
Mulai dari keaktifan nya sebagai volunteer dari awal dibukanya pendaftaran,
sampai akhir, ia selalu menjadi seseorang yang pokoke yakin. Mulai dari perasaannya yang heran ketika TM, kok Cuma
dia, sampai sempat ia menyiapkan semua materi sendirian, iya sendirian. Iya mas
habibi ini kehilangan dua partnernya -aslinya ia bertiga. Sempat juga ia bilang
gimana kalau aku capek ngomong ditengah-tengah, terus krik-krik gimana dong.
Akhirnya kegelisahan hatinya terjawab juga, Mbak Anissa menjadi partner nya di
detik-detik terakhir kepasrahannya. Allah selalu punya cara sendiri untuk memberi
kejutan makhluknya. Ah betapa senangnya mengingat semua kenangan indah kala
itu.
Dan
ini dia curahan hati seorang PJ TnT reuni, Mas Fajar.
Ia,
di malam kamis setelah kami kumpul untuk terakhir kalinya sebelum keberangkatan
TnT. Mengaku bahwa mengalami taraf kengantukan yang teramat sangat dalam.
Sampai ia berpikir bagaimana caranya mengusir kantuk ini, apakah ia harus
bernyanyi sekeras-kerasnya. Sepertinya itu ide yang bagus tapi sayangnya tidak
terlalu membuahkan hasil. Ia tetap ngantuk. Tiba-tiba bunyi sebuah nada di
handphone-nya. Diangkatlah itu, sebuah pengumuman sakral. Sesakral-sakralnya
karena ia diminta tolongi untuk membantu nyablon kalau ga gitu ga bakal bisa sesuai deadline.
Dan karena itu akhirnya ia sudah nggak ngantuk lagi dan segera ke tetangganya
yang punya sablon.
Oke
kurang dua cerita dari aku dan mbak wira. Mungkin cerita dari mbak wira sama
seperti ketika ia menceritakan mengenai dirinya di awal pertemuan kita.
Dan
ceritaku kegagalanku adalah ketika aku salah masukin deterjen cair kedalam
mesin cucian yang seharusnya waktunya masukin pewangi. Yah emang aku sering salah, sesering itu. Sampai karena takut
mengganggu ibuku yang sedang sibuk waktu itu, aku kerjakan aja tanpa pikir
panjang. Dan ternyata, malu bertanya sesat dijalan. Alhasil aku jadi dimarahin
sama si Ibu. Dari situ aku dapat kesimpulan kalau kerjaan dirumah aja sering ga
beres, gimana mau beres sama kerjaan diluar, menurutku rumah adalah lingkup
terkecil kita, yang mana harus dibenahi dulu. Dan komunikasi adalah solusinya.
Coba dari awal aku ngga males tanya, takut malah makin dimarahin karena ngga
bisa bedain deterjen cair sama pewangi dan sekarang emang iya, malah
dimarahinnya double deh. Dan memang
benar, komunikasi itu kuncinya. Sama seperti komunikasiku yang lancar dengan
orang-orang yang sedang melingkar ini.
Sama
seperti tujuan sharing session ini,
untuk saling bicara dari hati ke hati. Saling membangun kepercayaan, saling
berbagi, saling mendengarkan lewat komunikasi.
Minggu
kami
Akhirnya
hari terakhir kami hadir menanti. Meniti untuk dijalani dan tak sabar untuk disemangati.
Sebuah hari yang penuh senyum gigi putih meski antri mandi masih harus tertunda
karena urusan main kartu UNO ala anak masa kini. Semua terasa indah untuk
dinikmati. Segala urusan dengan pak robin maupun mbak wafi segera kami
selesaikan agar kami tidak terlalu larut pulang dari lokasi sesi traveling dan
fotografi.
Pukul
07.30 pagi kami sudah mengucap salam hati tanda kami ingin izin pergi. Sampai
bertemu dikesempatan yang lebih mendebarkan lagi kataku dalam hati sewaktu
menatap keluarga kecil mbak wafi.
Air
terjun dan segala isinya, akhirnya kami akan datang. Selama perjalanan aku
tidak berhenti tertawa disetiap kisah kisah mulai dari horor, romansa, drama
yang diceritakan masing-masing volunter tnt. Aku yang selalu suka perjalanan,
aku yang selalu suka menatap keluar, aku yang selalu suka warna warni kisah
orang lain, aku yang selalu suka hal-hal baru, dan aku yang selalu suka bersama
orang-orang yang mengayomi, merasa seutuhnya menjadi diriku. Merasa sebahagia –
bahagianya aku di usia 20 tahunku, dan merasa semesta sedang mengamini semua
doa-doaku semasa dulu-dulu.
Semesta
sedang berkonspirasi. Semesta sedang berkata kepadaku. Nikmat apa lagi yang kau
dustakan?
Sungguh
hari minggu yang sangat menyenangkan. Hari minggu yang katanya merupakan hari
berkumpulnya dengan keluarga. Dan itu yang aku rasakan, aku sedang berkumpul
dengan keluarga baruku.
Selama
perjalanan sempat aku melewati sawah terasering, jalanan yang sedang
diperbaiki, sampai pohon-pohon yang dibabat habis entah atas dasar apa
membuatku lagi dan lagi jatuh hati dengan semua hal yang terjadi selama tiga
hari ini.
Sampai
di air terjun, kami masih harus berjalan kaki sekitar 2km an. Yah, aku tidak
pernah membenci perjalanan seperti biasa, aku dengan semangatnya berlarian
dengan bahagiannya sampai lupa kalau selama ini jarang olahraga.
Mungkin
lokasi travelling kali ini sedikit tidak sesuai ekspetasi, karena airnya yang
terjun kok dikit sekali hehehe. tapi
lagi-lagi sebuah
perjalanan itu bukan masalah destinasinya tapi masalah sama siapanya, masalah teman
perjalanannya, atau pengalaman yang kita dapatkan dari perjalanannya. Mereka
jauh lebih diluar ekpetasi. Dan aku bersyukur sekali.
Foto-foto
yang kami ambil juga tidak ada yang mengecewakan. Saat makan siang tiba, kami
akhirnya memakan bekal tadi dengan mengunakan alas daun pisang yang sduah
terpelati akibat kami bawa riwa riwi. Tapi makan tetap dinikmati dan disyukuri.
Kami
kembali ke jisang dan segera berganti pakaian dan sholat. Semua akhirnya telah
usai dan saatnya kami memulai perjalanan pulang ini. Selama di jisang, seperti
hal-hal biasanya sharing dari mbak distyk yang bisa jadi wo akibat
keisengannya, mas fajar yang mau jalan – jalan ke rinjani tapi uangnya tidak
ada akibat untuk urusan itu ini yang akhirnya bisa kembali dapat uang dan berangkat
ke rinjani. Mbak wira yang memilih tidak istirahat minggu ini padahal minggu
depan harus luar pulau lagi, dan safira yang harus kejar deadline uts besok
pagi. Semua berjalan lancar, menyenangkan dan penuh makna.
Dari
mereka aku belajar banyak hal, dan hal yang paling menancap di otakku adalah
kalau niat kita baik, ada usaha, semua pasti akan dimudahkan. Slogan there is a will,
there is a way itu,
ternyata benar.
Terimakasih
buat semua wejangannya, semua kisahnya, semua pengalamamnya, semua yang membuat
aku menjadi anak yang lebih mengerti lagi.
Akhirnya
pukul 10 malam kami tiba juga di tempat yang sama dengan pertama kali aku
ceritakan. Dan kisah ini ditutup dengan perasaan bahagia sebelas manusia-manusia
pejuang arti kata berbagi. Selamat bertemu kembali orang-orang menginspirasi. Para
pelangi tiga hari terakhir ini.
Epilog
Dan
karena tnt lagi dan lagi aku sadar,aku masih kurang bersyukur selama ini.
Tinggal di kota, fasilitas serba ada, serba mudah, serba cepat kadang membuat lupa
diri. Sedikit menjauh dari hiruk pikuk aktivitas di kota, mengajari dan
menyadarkanku akan banyak hal. Persahabatan, kebersamaan dan kebahagiaan yang
sederhana, sampai belajar mengenal diri sendiri. Rezeki memang tidak melulu
soal materi. Mereka adalah representasi rezeki tak berwujud materi.