SEANDAINYA
Aku pernah berpikir bagaimana seandainya Allah menciptakan manusia sama persis. Mulai dari strata sosialnya, tingkat pendidikannya, keturunannya, fisiknya sampai psikisnya. Pasti tidak ada yang menarik dari diri masing-masing orang, tidak ada yang spesial, tidak ada yang unik, yang terpenting kita tidak bisa saling memahami, mengenali, mengerti dan belajar satu sama lain. Betapa bersyukurnya aku, tinggal di negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi, kesenjangan sosial dimana-mana dan pendidikan yang masih belum merata dan dari situ aku bisa belajar banyak hal. Sama seperti ketika aku mempelajari hal-hal baru di tahun 2018 ini dari mereka; teman-teman 1000 Guru Surabaya, adik-adik di SDN 3 Rejoagung, warga Dusun Tol-Tol, sampai para penambang belerang di Kawah Ijen.
Aku pernah berpikir bagaimana seandainya Allah menciptakan manusia sama persis. Mulai dari strata sosialnya, tingkat pendidikannya, keturunannya, fisiknya sampai psikisnya. Pasti tidak ada yang menarik dari diri masing-masing orang, tidak ada yang spesial, tidak ada yang unik, yang terpenting kita tidak bisa saling memahami, mengenali, mengerti dan belajar satu sama lain. Betapa bersyukurnya aku, tinggal di negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi, kesenjangan sosial dimana-mana dan pendidikan yang masih belum merata dan dari situ aku bisa belajar banyak hal. Sama seperti ketika aku mempelajari hal-hal baru di tahun 2018 ini dari mereka; teman-teman 1000 Guru Surabaya, adik-adik di SDN 3 Rejoagung, warga Dusun Tol-Tol, sampai para penambang belerang di Kawah Ijen.
Januari
Bulan pertama di tahun
2018 yang penuh cerita, mulai dari cerita di kampus tercinta, kemudian
berpindah ke Jogja, kota sarat akan turis dan beragam hal yang membuat banyak
orang ingin kembali menetap, sampai kisah di sebuah daerah yang disebut tapal
kuda di jawa timur.
Daerah Tapal Kuda
Aku belum pernah ke
tempat ini sebelumnya, kalau dihitung-hitungpun masih banyak wilayah di jawa
timur yang belum pernah aku hampiri, selain karena aku tidak memiliki saudara di
berbagai daerah di jawa timur, aku juga belum mendapat alasan mengapa harus
pergi ke daerah ini. Sebuah daerah tapal kuda, yang sejuk dan hangat disaat
yang bersamaan. Biar aku berikan deskripsi mengenai tempat ini terlebih dahulu,
daerah bersebelah di timur dengan Kabupaten Banyuwangi, bersebelahan utara
dengan Kabupaten Situbondo, bersebelahan selatan dengan Kabupaten Jember dan
bersebalahn barat dengan Kabupaten Probolinggo ini disebut daerah tapal kuda
karena lokasinya di peta mirip dengan bentuk tapal kuda, selain itu daerah ini
juga tidak memiliki wilayah yang bersinggungan dengan laut secara langsung
juga. Meskipun tidak memilki pantai, daerah ini memiliki berjuta kekayaan alam
mulai dari dataran tingginya yang penuh dengan kebuh kopi, sampai kawah dengan
belerang dan kawah yang penuh dengan sapi-sapi.
Sebuah
daerah yang mampu membuatku jatuh hati pada minuman kesukaan mayoritas manusia
di muka bumi, Kopi. Pastinya pecinta kopi tau daerah ini dari hint yang sudah aku ceritakan
sebelumnya.
Yap, aku sedang membicarakan Kabupaten
Bondowoso. Kalau dihitung dari surabaya jarak antara Kabupater ini ke surabaya
sekitar 192,5 km, memang lumayan jauh, tapi akan tidak terasa jauh kalau
perjalanan ini dinikmati, bukan?
Menuju ke Bondowoso dan melampauinya
Akhirnya, aku mendapat
alasan dan tujuan untuk bisa ke daerah ini. Lagi-lagi travelling berfaedahku di fasilitasi oleh komunitas yang baru-baru
ini mengajarkanku banyak hal, Seribu Guru Surabaya. Kali ini TIM Angkatan
ke-tiga Seribu Guru Surabaya mengadakan Travelling
and Teaching ke-18 SDN 3 REJOAGUNG, Sebuah Sekolah Dasar yang berada di
balik perkebunan kopi itu hanya berisikan 11 murid saja. Desa yang hanya
memiliki satu sekolah dasar dan satu PAUD (Pendidikan anak usia dini) ini
berisikan 60 Kepala Keluarga saja, tidak heran muridnya pun tidak banyak. Akses
menuju desa yang harus berjam-jam masuk kedalam hutan-hutan mungkin juga
menjadi alasan tak banyak warga yang berminat tinggal disini. Dengan dua puluh
dua anggota dari Tim dan tidak ada volunteer
dari luar karena TnT18 memang dikhususkan untuk anggota tim yang baru, kami
berangkat jam sebelas malam.
***
Dihari itu, aku harus
berangkat beberapa jam sebelumnya menuju rumah Cory, salah satu partner mengajarku
di TnT kali ini, meskipun sempat merasa gundah gulana karena harus menunggu
Cory kurang lebih sejaman di Togamas Diponegoro untuk dijemput dan menuju
kerumahnya di daerah Banyuurip, akhirnya, penantianku selesai jua, setelah
melihat dia dengan motor maticnya
menghampiriku yang baru saja memelas meminta daya untuk charge handphone yang
sudah 0% itu. Kami sampai dirumahnya pukul tiga lewat beberapa menit, tapi kami
tidak langsung menggarapnya karena masih menanti Kak Estka, sang pencerah kami wkwk, iya kita nunggu karena emang Kak
Estka sudah mau sampai tapi masih belibet cari alamat. Setelah melewati badai
dan rintangan (apaan sih Si, wkwk)
akhirnya kami bertiga dipertemukan di depan gang rumah Cory, dengan barang
bawaan yang cukup banyak dari GoCar
Kak Estka.. Pengerjaan singkat tapi bermakna kami ditemani eskrim puter yang
dibelika Cory di depan rumahnya, suara orang jual tahu bulet dadakan, derap
langkah anak-anak yang berlarian membeli semacam sempol di depan rumah Cory,
sampai guyuran air hujan di senja kala itu, dibarengi dengan datangnya Si
Sintang, salah satu pengajar kelas 4-5 juga yang baru pulang dari KKNnya
beberapa hari lalu. Sebenarnya ada satu lagi partner pengajar kelas 4-5 dari
tulangan sidoarjo, biasa dipanggil dengan sebutan yang dipakai orang-orang
Indonesia sebelum berfoto “Cis”, tapi karena dia rumahnya jauh dan masih ada
kegiatan juga, kita harus LDRan. Sungguh persiapan mengajar yang tergenah, wkw, karena dulu sewaktu TnT pertamaku
di Bojonegoro, aku tidak ada kegiatan buat media bareng begini sih. hehehe. Benar-benar beberapa jam yang berfaedah dan
membahagiakan. Aku ndak kapok kok main kerumah kamu Cory, meskipun
"agak" jauh :") mehehe
***
Setelah media dan segala
printilannya telah dirampungkan, aku, Sintang, Cory, dan Kak Estka menuju meeting point di KFC A. Yani. Dan yah,
ternyata kami agak molor, bebarapa hal harus dituntaskan untuk kelancaran
kegiatan TnT 18 ini, salah satunya tas donasi yang barang satu masih tertinggal
di rumah kak fajar. Jam menunjukkan pukul sebelas malam, suara trruk dibunyikan
semakin terdengar, pertanda semua telah siap dan let's go to the jungle, coffee jungle lah ya at least. Hujan menemani kami selama
perjalanan, dan aku tidak mendapati sesuatu yang berkesan, tentunya karena
tidak ada yang bisa dilihat selain kain hijau jisang, dan lampu-lampu kota di
malam hari yang kian malam kian maram. Waktu sudah menunjukkan pukul empat
pagi, cahaya mentari masih belum menyinari, yang kudengar hanya adzan-adzan
yang saling bersautan bak burung kenari di tengan hutan, merdu dan menenangkan.
Katanya, katanya jam empat kami akan sampai dirumah Pak Kasun (Kepala Dusun),
tapi sekarang yang aku lihat adalah sebuah masjid dipinggiran jalan raya. Mana
perkebunan kopinya? Batinku yang masih setengah mengantuk. Daripada banyak
bertanya aku lebih memilih segera sholat agar segera sampai di tujuan juga
Kelokan jalan menuju
Dusun Tol-Tol, Kecamatan Sumberwirngin mulai terasa ketika kami melanjutkan
perjalanan setelah dari masjid. Angin sejuk merayap kulit perlahan, sinar
mentari juga mulai mengintipi kami supaya terus bersemangat menyonsong pagi
yang cerah. Berhentilah Jisang itu tepat ditengah-tengah sebuha hutan behiaskan
pohon-pohon kopi di kanan dan kiri, di depan juga sudah ada jalan ber-paving.
Aroma tanah sehabis hujan, jalan yang agak bergelombang ditambah langit subuh
memang selalu menjadi suasana favoritku dalam setiap kegiatan TnT. Akhirnya
kami turun dari jisang, mengambili barang-barang dan mulai berjalan beriringan
menuju rumah Pak Lus, nama Pak Kasun Tol-Tol itu.
1000 Langkah Menuju “Mereka”
Perjalanan dilanjutkan dengan melangkah
lebih jauh, mungkin tidak sampai 1000 atau mungkin juga lebih, sesungguhnya
angka seribu Cuma perumpaan, hehehe.
Beberapa dari kami ada yang berjalan, dan beberapa yang membawa barang logistik
naik motor tracking, motor bebek, dan
motor matic hasil modivikasi para
bapak-bapak asli sini, yang jelas bukan motor CB nya Dilan1990. Aku memutuskan untuk terus berjalan, menikmati
suasana dan tentunya berolahraga, selama kurang lebih 45 menit. Selama
perjalanan kali itu, aku lebih banyak konsentrasi dan mengurangi berbicara,
pertama karena sewaktu itu cahaya mentari sudah berada diatas kami, sehingga
memang agak kerasa berkeringatnya, meskipun begitu hawa sejuk masih menghampiri
dan lagi aroma yang aku juga belum pernah mengidentifikasinya -prediksiku sih
aroma kopi- membuat suasana hati makin baik. Jam tujuh kurang lima belas menit,
aku sudah bisa melihat rumah warga di pelupuk mata, kuburan di sebelah kiri
jalan, beberapa anjing yang bebas berkeliaran, anak-anak kecil dengan seragam
pramuka mereka didepan batu besar bertuliskan “SDN Rejoagung 3 Bondowoso”. Jam
tujuh lebih sepersekian menit, Aku dan teman-teman sudah sampai di rumah bercat
putih dengan pintu cokelat, disambut hangat dengan colokan handphone, aroma kopi
khas Bondowoso, senyuman merekah para warga dusun.
Sarapan Pagi
Kami sudah sepakat bahwa
tidak boleh ada yang mandi, dikarenakan waktu yang Cuma mengizinkan kami semua
membersihkan wajah dan berganti PDL -meskipun masih ada yang mandi sih yang
kloter sepeda motor, wkwk dasar curang- karena kami sudah telat ketika datang
ke rumah Pak Lus, maka Kak Mas'ud PJ TnT18 waktu itu sudah berkoordinasi pada
pihak berwajib -berasa polisi padahal
sama pihak sekolah maksudnya wkwk-
kalau proses mengajar adik-adik akan diundur sampai jam sembilan pagi. Pagi
yang harum, seharum aroma kopi khas di beranda rumah, parfum bunga lily
milikku, dan masakan prasmanan yang disediakan oleh penduduk sekitar menyambut
kami. Ah, sungguh, itu adalah sarapan paling enak yang pernah aku makan,
melebihi sarapan di hotel bintang lima yang aku datangi seminggu lalunya.
Bondowoso ini memang terkenal penduduknya asli Suku Madura, dan katanya memang
perempuan-perempuan asli Madura mampu mencipatakan sebuah mahakarya berupa
masakan yang enak. Lalu, untuk menu Sarapan pagi kedua terbaikku di hari itu
adalah nyanyian sambutan langsung dari kesebelasan murid kami di SDN Rejoagung
3 Bondowoso. It's really for the first time i heard that song. Adik-adik
ini dengan semangatnya menyanyikan sebuah lagu sambutan untuk kami, para
pengajar seribu guru surabaya, yang kandungan lagunya menyatakan selamat
datang, semoga senang bertemu dengan mereka. lucu sekali bukan, dengan
wajah-wajah menggemaskan dan polos bernyanyi lantang diriingi musik dari
tepukan tangan. Setelah sarapan pagi yang ditambah sedikit pembukaan dari
para stakeholder SDN Rejoagung 3 Bondowoso di ruang guru itu,
akhirnya pada pukul sepuluh lewat lima menit, kami bisa memasuki ruang kelas.
Kelas Empat dan Lima
Seperti yang aku
ceritakan di awal, aku mengajar di kelas empat dan lima SD, dan dikelas ini
jumlah total muridnya ada lima siswa, sama dengan jumlah pegajarnya. Berasa les
private, hehehe. Tiga berasal dari kelas empat dan dua lagi berasal dari kelas
lima. Dari kelas empat ada Fredi, Siva, Amel, lalu kelas limanya ada dua
perempuan bermata belo, satu berkulit langsat dan satu berkulit kulit sawo
matang, dan rambut panjang bernama Isa dan Ursila. Kelas kami dimulai dengan
tangan dilipat diatas meja oleh kelima murid itu, tetapi tidak seperti TnT
sebelum-sebelumnya yang selalu ice breaking dahulu dan
pembukaan mengenai materi setelah upacara di lapangan sekolah, hari itu kami
sangat telat dan akhirnya jadi begini, langsung masuk dan memberi materi di
kelas. Sempat agak canggung di awal, karena bingung memulai seperti bagaimana,
tetapi berakhir dengan sempurna, berjalan sesuai rencana. Dimulai dari materi
pertama mempelajari mengenai berbagai macam penyakit gizi dan penyebabnya,
sampai main ular tangga yang berisikan challenge,
review materi, dan candaan.
Sejujurnya, aku juga lebih menyukai kelas dengan sedikit murid, selain karena
aku merasa belum mampu menguasai kelas yang terlalu luas dan banyak, aku merasa
dengan sedikit murid, kita dapat lebih intens
dalam berinteraksi dengan mereka.
Isa salah satu siswi
dari kelas lima yang paling aktif, lalu dibarengi dengan Siva, Amel dan Ursila,
disini Fredi yang satu-satunya laki-laki masih sedikit pemalu, sejak awal ia
juga yang paling irit bertanya atau membaca, ketika membacapun, selalu dibantu
oleh temannya yang lain. Sepertinya Fredi masih belum lancar dalam membaca,
selain itu ketika diajak berkomunikasi dengan bahasa indonesia ia juga kurang
responsif, sepertinya ia juga tidak terbiasa berbahasa indonesia, karena setiap
berbicara dengan teman-temanya yang lain, ia selalu menggunakan Bahasa Madura, and it’s such
a happy day. Setelah sesi teaching
selesai, selanjutnya ada sesi heart
to heart. Sesi favorit kebanyak pengajar.
Kak Cis lagi ngajarin apa sih? (Dok. 1000gurusby) |
lagi belajar sama adik-adik (dok. 1000gurusby) |
Menjadi Seorang Polisi
Disini aku dipilih oleh
si Amel untuk cerita-cerita. Perempuan dengan senyum manis, kulit sawo matang,
rambut di kuncir kuda, dan badan yang tidak terlalu berisi itu bercerita bahwa
ia tinggal di sebuah rumah dengan kedua orangtua dan seorang adik. Ayahnya
seorang yang pekerja di kebun, dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Meski
tinggal dengan seorang adik, ternyata Amel juga memiliki seorang kakak yang
sedang tinggal di salah satu pondok di Bondowoso.
"Aku ingin menjadi
Polisi, Mbak," ucap Amel ketika aku bertanya apakah cita-citanya.
Lalu aku bertanya lagi
kepadanya Mengapa ia ia ingin menjadi Polisi, lalu ia menjawab, "Iya, aku
mau menangkap penjahat, Mbak,". Ketika aku bertanya lagi kepadanya, memang
ada penjahat ya di sekitar sini, atau penjahat yang mengambil hasil kebun ayah
kamu, atau pernah kemalingan, atau yang lainnya, tetapi Si Amel kebingungan
menjawab pertanyaanku, sepertinya aku masih belum bisa menjalin rapport dengannya,
atau dia kurang nyaman berbahasa Indonesia, aku juga kurang tau, mungkin ini
adalah PRku bagaimana cara mampu mendekati adik-adik dan menjadi hubungan yang
lebih terbuka, semoga Amel menjadi seorang Polisi yang bisa bermanfaat, dan
tentunya aku berharap dia bersungguh-sungguh dalam mewujudkan cita-citanya.
Semangat terus ya Amel dalam meraih cita-citamu, sekolah yang rajin dan bisa
menjadi anak yang membanggakan kedua orangtua dan berguna bagi bangsa. Aamiin.
Mbak disini cuma bisa membantumu memberikan gambaran sekilas mengenai kehidupan
di dunia yang lebih luas, membantu memberikan semangat yang sesungguhnya semangat
itu juga mbak dapat dari kamu dan rasa bersyukurmu itu. Semangat buat kita yah!
Agenda terakhir setelah
heart to heart, adalah penemepelan buah harapan dan pembagian donasi, lalu
dilanjut memberikan sembako untuk beberapa murid yang sudah ditentukan, dan aku
bersama Kak Estka, Sintang, dan Kak Fajar mengantarkan Fredi. Salah satu
muridku di kelas empat.
Kak Sintang sedang sesi Heart to Heart sama Isa (dok.1000gurusby) |
Ursila mau menempel buah di pohon harapan, semoga cita-citamu tercapai ya dek cantiks (dok.1000gurusby) |
Dengan langkah kecilnya,
kami pergi mengikuti kemana Fredi berjalan, lalu kami tiba-tiba sudah sampai di
sebuah rumah bercat putih itu dan disambut seorang nenek berusia sekitar 70-80
tahun. Setelah memberikan sembako dan berfoto bersama, kami bergegas pamit pada
si nenek, tapi nenek itu berkata dalam dialek madura yang tidak aku –atau yang
alinnya- mengerti seakan mempersilahkan untuk bertamu sebentar. Disini ada
adegan lucu, ketika Kak Estka bersikeras pamit dengan Bahasa Indonesianya,
tetapi si nenek juga tetap menjawab dengan bahasa madura. Jadi komunikasi yang
benar-benar unik. heheh- It's was Fun. Namun, lagi-lagi bahasa daerah
memang perlu dipelajar. Sepertinya ini bisa dijadikan masukan untuk pertanyaan
TnT selanjutnya, mengenai kefasihan berbahasa daerah sesuai dengan lokasi
Teaching nanti.
Secangkir Kopi
Saat itu jam sudah
menunjukkan pukul dua siang dan aku baru sadar, kalau sedari tadi belum sholat
Dhuhur hari itu, akhirnya kami ingin sholat berjamaah di masjid dekat rumah Pak
Kasun, tapi airnya mati. Beberapa rombongan cowok sudah meminta air ke rumah penduduk.
Dan bersamaan dengan itu aku melihat Isa sedang bermain-main, reflek aku
memanggilnya, dan ia dengan senang hati menghampiriku, "Eh, Isa, Mbak
boleh minta airnya, ta?," kataku kepadanya, ia mengganguk mantap dan
menyuruhku mengikuti menuju ke rumahnya. Setelah mengikuti Isa beberapa
langkah, akhirnya kami sampai juga. Saat memasuki kamar mandinya, bak mandi
yang ada didalamnya lumayan dalam, sekitar 150cm dengan panjang dan lebar yang
lebih besar daripada bak mandi rumahku. Meskipun air disini Cuma menyala di
jam-jam tertentu, syukurnya air yang ditampung masih banyak, jadi kami tidak
takut menghabiskan atau kehabisan.
Sesaat Setelah sholat,
aku sudah ingin pamit kepada Si Ibu, dan rencana kami gagal karena Si Ibu
memaksa kami untuk meminum kopi dahulu, karena sungkan dan menghargai juga
akhirnya kami mengalah dan menikmati secangkir kopi khas Bondowoso yang memang
enak itu. Meski, seujujurnya aku kurang menyukai kopi, tapi di tempat ini, aku
suka sekali kopinya. Selain karena rasanya yang sedikit kecut, agak pahit, dan manis-manis
gitu bersamaan, aroma wanginya sangat harum.
Study Tour Kebun Kopi
Hari sudah sore, tepat pukul 16:00 itu, Pak
Lus mengajak kami untuk melihat perkebunan kopi miliknya di dekat sini, tapi
kamu pasti tahu kan dekatnya warga lokal dengan orang-orang seperti kita itu
beda hehehe, namun dengan semangat
juang tiada tara dan rasa ingin tahuku tentang biji kopi yang terkenal itu
sedang onfire, akhirnya jalan kaki
selama setengah jam ku jabanin. Sepanjang jalanan menuju kebun kopi aku bertemu
pohon, bertemu daun, bertemu dahan, dan bertemu tanah, wkwkw. sebenarnya di sepanjang perjalanan kanan-kiripun sudah
banyak pohon kopi, tapi ndak tau
tanah siapa, sedang punya Pak Lus masih di sebelah sana-sana-sana-sananya lagi.
Akhirnya, aku sampai di
kebun kopi nya si bapak. Dengan riang aku langsung berlarian seperti orang yang
ga pernah lihat pohon –yang
sejujurnya, aku memang tidak pernah melihat biji kopi dengan mata kepalaku
sendiri– Sementara beberapa mbak-mbak sedang melaksanakan sesi foto untuk
instagram dan dokumentasi pribadi, aku sedang mengamati biji-biji berwarna
merah yang menggemaskan itu bersama Mbak Yasinta, lalu beralih ke Pak Lus dan
Kak Mas'ud yang sedang mengadakan seminar singkat mengenai kopi,
"Ya, saya punya
tujuh kebun di sini, dan ini salah satunya," kira-kira itu yang dikatakan
oleh Pak Lus ketika aku bertanya ada berapa kebun kopi yang dimilikinya saat
ini. Bahkan tidak tanggung tanggung, satu kebun kopinya bisa mencapai 1-1,5
Hektar yang sekali panen satu kebun bisa mencapai ratusan kilogram, untuk
masalah harga perkilonya variatif karena ada dua jenis kopi yang ditanam di
kebun ini, Arabika dan Robusta. Buat pecinta kopi pasti paham perbedaannya,
sedangkan aku Cuma bisa manggut-manggut ketika diberi informasi itu. Pangsa
pasar kopi Bondowoso ini juga luas, tapi Bandung selalu menjadi konsumen setia.
Setelah puas melihat-lihat dan berfoto-foto, akhirnya matahari mulai turun
pertanda kita juga harus segera kembali.
otw kebun kopi gaes |
ini biji kopi (pilihan) eh ko jadi promo wkwk |
Pak Lus dan Kak Mas'ud setelah seminar mengenai kopi (dok.1000gurusby) |
foto ala-ala Dilan dan Milea tuh yang di depan (dok. 1000gurusby) |
Maghrib dan Mengaji
Senja mulai menampakkan
eloknya, suara lantunan adzan maghrib dari muadzin juga menggema dengan merdu,
pertanda sudah menjelang malam. Saat itu kami berbondong-bondong pergi ke
masjid yang sama dengan masjid yang kami datangi siang tadi, bedanya kali ini
kami agak telat dan tidak bisa ikut berjamaah. Setelah menunaikan ibadah sholat
maghrib berjamaah sendiri, aku baru tersadar, ternyata adik-adik yang sudah
selesai sholat diawal tadi masih duduk didepan shaf kami, padahal bisa saja
mereka keluar lewat pintu sebelah, tetapi mengapa mereka malah menanti sampai
selesai?
Dengan lampu yang remang-remang,
perlahan mereka membuka tirai pemisah shaf laki-laki dan perempuan itu, membuka
meja lipat dan mengeluarkan Al-Qur’an mereka. Ternyata ada agneda mengaji
bersama setelah sholat maghrib berjamaah. Subhanallah.
kadang suka malu sendiri kalau lihat mereka yang masih muda-muda punya semangat
tinggi belajar agama, dengan fasilitas yang serba seadanya saja, mereka masih
bisa berterimakasih dan berbudi. Di malam yang panjang ini selain belajar
tentang arti berterimakasih dari adik-adik di Dusun Tol-Tol, Sumberwringin,
Bondowoso ini. Aku juga belajar psikologi. Eh ngapain ya kok Psikologi, jadi
silahkan dilanjut membacanya ya ehehe
Kuliah Malam di Tol-Tol
Agenda malam kegiatan
TnT Seribu Guru Surabaya adalah sharing
session, sebuah sesi untuk saling bertukar pendapat dan pengalaman selama
mengajar tadi yang tentunya selalu berhasil membuat kita menjadi lebih dekat. Aku
lupa bagaimana awalnya dimulai kuliah malam yang berlangsung setelah acara sharing session itu. Yang jelas, saat
itu kami memang sedang sharing mengenai masalah therapy dan Bang Jek salah satu mahasiswa psikologi semester akhir
itu bisa hypnosis dan ingin
mempraktekkannya. Diiringi dengan
beberapa mahasiswa dan alumnus psikologi lainnya, seperti Kak Opi, Tiwi, Cory,
Mas Audit, dan aku sendiri, malam itu jelas aku merasa sedang diskusi di kuliah
malam sama mereka.
***
Di malam yang syahdu itu, sekitar pukul sebelas malam Bang Jek secara sukarela ingin memberikan terapi (re: hypnosis) pada Kak Estka – sebenarnya – tapi karena ia ndak mau, akhirnya jadi Kak Upegh yang jadi korbannya wkwk ((dih jahat amat sih, korban)) Sewaktu Kak Upegh ini berada di antara alam sadar dan bawah sadarnya –gelombang otak teta- dan ketika diberik stimulus-stimulus, disitulah Mas Audit dan Bang Jek memberi kuliah malam -tengah malam lebih tepatnya- pada aku. Kak Upegh ini di hypnosis yang sebenarnya di tanyai mengenai hal-hal yang standart aja sih, tidak ada yang spesifik, mungkin yang spesifik ketika diberi intruksi Seribu Guru Surabaya, Kak Upegh diminta mengatakan Jaya. heheh. Tapi itupun tidak berlangsung lama karena Kak Upegh tertidur selang beberapa menit setelah tragedi Jaya. Kata Mas Audit, ter-hypnosis memang melelahkan, karena secara teori otak seperti setengah tidur setengah sadar tapi tetap harus beraktivitas seperti keadaan sadar. Akhirnya diskusi tengah malam, misi pemasangan masker peremajaan wajah ke muka Bang Jek plus bilasnya telah berhasil.
***
Di malam yang syahdu itu, sekitar pukul sebelas malam Bang Jek secara sukarela ingin memberikan terapi (re: hypnosis) pada Kak Estka – sebenarnya – tapi karena ia ndak mau, akhirnya jadi Kak Upegh yang jadi korbannya wkwk ((dih jahat amat sih, korban)) Sewaktu Kak Upegh ini berada di antara alam sadar dan bawah sadarnya –gelombang otak teta- dan ketika diberik stimulus-stimulus, disitulah Mas Audit dan Bang Jek memberi kuliah malam -tengah malam lebih tepatnya- pada aku. Kak Upegh ini di hypnosis yang sebenarnya di tanyai mengenai hal-hal yang standart aja sih, tidak ada yang spesifik, mungkin yang spesifik ketika diberi intruksi Seribu Guru Surabaya, Kak Upegh diminta mengatakan Jaya. heheh. Tapi itupun tidak berlangsung lama karena Kak Upegh tertidur selang beberapa menit setelah tragedi Jaya. Kata Mas Audit, ter-hypnosis memang melelahkan, karena secara teori otak seperti setengah tidur setengah sadar tapi tetap harus beraktivitas seperti keadaan sadar. Akhirnya diskusi tengah malam, misi pemasangan masker peremajaan wajah ke muka Bang Jek plus bilasnya telah berhasil.
***
3:00 AM
Rencana awal, seharusnya
malam itu kami berangkat ke Kawah Ijen –dan berakhir main hypnosis-hypnosis an
dan kuliah malam – sekitar pukul sepuluh malam, supaya dapat pemandangan Blue Fire, tapi langitnya sedang sedih,
ia menangis terus membuat rencana ditunda sampai jam tiga pagi. Saat jam
menunjukkan pukul tiga pagi, kami segera bersiap melanjutkan perjalanan travelling.
The Road to Kawah Ijen
Saat itu Pukul tiga dini hari, masih gelap gulita, hanya berhiaskan cahaya dari lampu senter di tangan maupun kepala tanpa bintang di atas langit, sepertinya memang cuaca sedang mendung-mendungnya, dibalut dinginnya udara sekitar menjadi suasana perjalanan kaki kami menuju Jisang. Sesekali lantunan lagu nasional, lagu anak-anak, sampai lagu pop tahun 90an mengudara menemani sepinya hutan kopi. Tapi, nilai positif dari Berjalan kaki di tengah hutan di saat gelap ini menurutku jauh lebih cepat sampai dibandingkan dalam keadaan terang, selain membuatku jauh lebih fokus ke tujuan -karena tidak terlihat suatu apapun
Dan ya, tiba-tiba aku melihat semburat cahaya dari lampu depan Jisang, pertanda kami sudah sampai. Cepat-cepat aku memilih duduk di dekat jendela agar bisa lihat pemandangan. Tak tahunya langit masih sedih, ia kembali menangis ketika jisang mulai berderu melaju
Langit mulai menampakkan mataharinya, mengganti warna kelabu menjadi jingga merah merona. Suara adzan juga bergema ketika kami melewati salah satu masjid di pinggir jalan raya. Ah, ternyata kami sudah hampir sampai di Kawah Ijen. Sesaaat kemudian, pukul delapan pagi, tanggal dua puluh delapan januari dua ribu delapan belas itu, aku menginjakkan kaki di bumi pendakian Kawah Ijen. Tak sabar merasakan pengalaman mendaki untuk pertama kalinya.foto full team dulu sama kentang kfc nya rekruitmen 2018 - 1000 guru sby (dari kiri; Sintang, Cis, Tiwi, Sisi, Kak Audit) |
foto dulu gais, sebelum mendaki, eheheh (dok.1000gurusby) |
Kak Opi semangat banget nih, waktu perjalana mendaki |
Good Sides about Hiking
Banyak orang yang bilang
mendaki itu pengalaman untuk lebih mengenal diri, teman seperjalanan, dan alam
sekitar. Dan, memang itu yang selalu ingin aku dapatkan dari proses perjalanan
mendaki. Meskipun kali ini aku tidak mendaki seperti pendaki pada umumnya
–lengkap dengan tas carrier besar yang berat itu– pengalaman pendakian ke Kawah
Ijen ini memberikanku banyak pelajaran.
***
Perjalanan mendaki Kawah Ijen dengan tingkat
kecuraman yang lumayan besar, meski jalanannya pun sudah bisa dibilang aman
karena sudah dikelola oleh pemerintah sehingga kita tidak perlu napak tilas ini memakan waktu
keberangkatan dua jam. Persis.
Karena rata-rata dan
mayoritas dalam pendakian ini adalah perempuan, maka kaum lelaki dibagi menjadi
dua garda, garda depan dan garda belakang. Mas Iqbal, Bang Jek, Sintang, dan
Kak Fajar menjadi garda depan, lalu Kak Estka, Kak Mas'ud dan Bang Je menjadi Guardian
di belakang. Diawal perjalanan, kami masih bisa berjalanan beriringan, tapi
entah mengapa semakin lama, semakin berpencar dan berpisah-pisah, aku pernah
ikut barisan depan sama Kak Al, Tiwi, Cis, dan lainnya, tapi di setengah
perjalanan aku lebih sering ikut sama Kak Opi, Kak Bela, Kak Estka dan lainnya
di belakang. Menurutku, mendaki itu sama seperti motivasi, ia harus semakin
tinggi ketika semakin mencapai tujuan. Kadang aku juga memotivasi diri dengan
sebentar lagi sampai setengah -karena katanya kalau sudah ada pohon kembar
aertinya sudah setengah perjalanan- dan aku sering sekali bercanda sama kakak
yang lain dan bilang, "wah itu pohon kembarnya," padahal itu cuma
pohon dipinggiran hutan.
Diperjalanan ada banyak
sekali hal yang bisa dilihat selain pohon dan kabut -oiya ini kabutnya sudah lumayan
banyak- ada banyak penambang belerang yang naik turun membawa hasil tambang
mereka. ada tukang juga yang sedang membuat bangunan -yang sepertinya rumah-
ada juga bapak-bapak go-cak alias go becak, disini ternyata menyediakan jasa
angkut orang sampai ke kawah juga, cuma 200rebu,
sekali berangkat, cuma. cuma. :)))
Mungkin menurut kita harga sekian itu
mahal, tapi kalau ada Papaku disini, ia pasti akan berkata,
"emang kamu mau
disuruh dorong orang seberat berkilo-kilo
gram, di jalan curam gini, sampai ke
kawah, dan dibayar cuma 200ribu?,"
Lalu aku berpikir, kalau sesungguhnya itu juga
hal yang sebanding. Dengan perlengkapan keselamatan seadanya, alat angkut
seadanya, dan kondisi yang juga ‘seadanya’ seadanya dingin, curam, kadang kala
hujan rintik, kabut, dan lain sebagainya, Aku pastinya nggak akan mau. Sedang ketika aku mendoakan si bapak Go-Cak supaya
dimudahkan jalan segala kesusahannya, akupun akhirnya bertemu dengan pohon
kembar keramat itu. Sebuah pohon yang menandakan bahwa kita telah berada
setengah perjalanan. Setelah dilihat-lihat pohon ini juga mirip dengan pohon
latar dari Korea-korea gitu, inginku berfoto ala-ala tapi apadaya, rasanya
sudah pingin sampai kawah aja sejak awal, foto-foto ya seadanya dan seperlunya.
Beberapa meter setelah
fenomena pohon ala-ala itu, didepanku sudah ada sebuah tiang bendera lengkap
dengan bendera Indonesia yang berkibar, beberapa tempat duduk dan tentunya
kedai kopi melengkapi panorama yang menajubkan saat itu.
Beberapa gambar berhasil
aku abadikan di handphone Lenovo A6000 yang RAM nya Cuma se-giga. Dan dari
semua momen yang paling bagus masuk frame kameraku adalah, momen salah seorang
warga asli Kawah Ijen. Beliau mungkin berusia sekitar 40 tahunan, dengan wajah
serius, menggunakan kaos oblong, topi, dan celan berwarna kelabu, si Bapak
seolah menatap jauh kedalam kabut-kabut yang semakin berkeliaran di pelupuk
pegunungan. Aku ingin berbicara sebentar dengan beliau, bertanya-tanya mungkin
sedikit kisah tentang kawah ini, atau tentang para pengunjung yang sering
kesini, ya sekedar ingin bertutur kata saja dengan warga asli, namun sayang.
Belum kesampaian. Waktu tidak memberiku ruang lebih, meminta untuk segera
melanjutkan perjalanan sebelum hari menjadi semakin gelap oleh kabut-kabut.
Bapak Go-Cak, semangat ya Pak! |
ini kondisi saat mendaki |
Keep Goin'
Terus berjalan adalah
satu-satunya hal yang harus dilakukan saat ini –meski ditengah lautan kabut, dengan
jarak pandang hanya lima meter, ditemani rintik hujan dan angin yang berhembus
cukup hujan–. Aku sengaja berjalan lebih cepat dibandingkan sebelumnya, selain ngeri jalan di tempat berkabut terlalu
lama, aku termotivasi oleh perkataan Mas Iqbal dan Sintang yang bilang kalau
tanjakannya kurang satu, lalu akan sampai tujuan, begitu seterusnya sampai
entah tanjakan keberapa. Meskipun dalam beberapa hal aku merasa sedang di permainkan
motivasi, tapi pemandangan kabut di bawah jurang itu memang benar-benar cantik,
rasanya aku sedang berjalan diatas awan. Sempat terlintas pikiran kalau kalau
dakinya sewaktu subuh - subuh, pasti pemandangannya lebih tidak terdeskripsi kan.
Beberapa langkah kedepan
tiba-tiba aku mulai heran. Jalanan sudah mulai ada yang berbeda, aku melihat
pagar-pagar bersimbol kawah, banyak muda mudi yang terdengar suaranya –meski
tidak terlihat orangnya- sudah tidak ada tanjakan, semakin banyak orang
disekitarku. Dan, alhamdulilah, aku sudah sampai di Kawah Ijen ternyata. Tetapi
ada satu hal yang masih belum berubah, kabut. Meskipun sudah sampai, aku tidak
bisa melihat suatu apapun, termasuk Kawah Ijen yang habis aku browsing beberapa hari sebelumnya. Agak
sedih sebenarnya, aku tidak bisa melihat Kawah Ijen sebagaimana yang terpotret
di google. Tapi, resiko mendaki di terlalu siang ya begini hehehe, at least
cita-citaku buat mendaki di usia 20 tahun terlaksana~
Pemandangan kawah
ala-ala Instagramers tidak bisa aku
dapat di Kawah Ijen kali ini, tapi aku justeru dapat yang lain, yang jauh lebih
berharga, seberharga Si Moci dan Ciko, atau si Arkan, dan hal-hal lain yang aku
sukai.
Jalanan berpasir itu aku
lewati dengan terus melihat kaki-kaki, selain melihat kedepan tidak ada suatu
apapun untuk dilihat, aku takut tersandung lalu terjatuh –seperti biasa-,
tetapi akhirnya aku mengurungkan niat awalku untuk fokus berjalan itu dan
menemukan sesuatu yang menarik lainnya.
Aku bisa melihat banyak
sekali gerobak dorong dengan isi benda besar berwarna kuning cerah, ada juga
yang dipingkul dengan dua bambu di sisi kanan kiri dengan kayu panjang ditengah
sebagai penghbung, ada juga yang mengangkatnya dengan tangan telanjang. Setelah
menyakinkan diri dan mengetahui kalau mereka adalah para pekerja tambang
beleran, sebuah pekerjaan yang dilakukan dengan cara mengambil belerang murni
di dekat kawah –turun mendekati kawah– setelah itu mengangkut mereka, membuat
berukuran lebih kecil, mungkin supaya lebih mudah dibawa, atau supaya muat
banyak dalam rotan yang dipunyai. Mereka, para penambang ini juga menggunakan
peralatan dan alat keselamatan seadanya. Kaos oblong, celana panjang, sepatu
–meskipun yang menggunakan sandal juga ada- dan yang paling penting lagi, tanpa
masker, ditengah-tengah bau belerang yang sangat tajam
Belerang Pak Suhartono
Warna-warna kuning cerah
yang sedari tadi menghiasi sepanjang menuju kawah ijen ini akhirnya bisa aku
sentuh. Perasaan pertama ketika menyentuhnya adalah, senang. pertama karena aku
sudah sangat penasaran sejak kali pertama melihatnya, tekstur yang keras
seperti batu pada umumnya namun ia sedikit berkerikil, ditambah bau belerang
yang selalu khas, membuat perasaanku yakin untuk melakukan sesi tanya jawab
langsung dari narasumber terpercaya. Kepada narasumber yang telah bekerja
sebagai penambang belerang selama tujuh tahun. kepada sosok yang memiliki jiwa
syukur tak henti-henti, dan kepada narasumber yang bisa selalu berterima kasih
dengan keadaan yang serba seadanya. Pak Suharthono.
Kaos berwana hijau bertuliskan "we love bumbu Bali" itu membalut
tubuh Pak Tono, dengan baju tambahan berwarna putih, topi gelap dan sepatu
boots hitam, meskipun kurus, beliau sanggup memikul hasil tambang belerang
sampai 20 kg pulang pergi dalam sehari. Saat aku berbincang dengan pria berusia
35 tahun tersebut, aku sempat tersentuh dengan semangatnya, bagaimana tidak, ia
sanggup menghidupi keluarga kecilnya dengan penghasilan dari menambang ini,
yang tiap harinya tidak menentu. Selain kesehatan, dan kekuatan fisik, cuaca
menjadi faktor lain, bisa tidaknya Pak Tono berangkat untuk bekerja. Dengan jadwal kerja yang tidak tentu, pasti
berdampak pada upah yang tidak menentu pula, ia tetap bersyukur atas pekerjaan
yang mampu memberinya kehidupan itu. Kehidupan yang menurutnya sudah cukup itu,
kehidupan yang selama ini sering dilihat orang lain dengan pengertian ‘susah
payah’.
"Ya, kalau sehari
gini dapatnya bisa sampai 200 ribu mbak," ucapnya sambil memukul belerang
yang baru diambil. Belerang yang mungkin berukuran 3x4 itu memang harus
dipukul-pukul sampai menjadi kecil, kata si bapak ini berguna untuk memudahkan
dibawa kebawah dengan dua bambu yang dibentuk menjadi sebuah tempat penyimpang
belerang, dengan kayu sebagai penyambungnya. Aku bertanya kembali, seperti anak
yang baru tahu dunia pertambangan, “Kira-kira ini sekali panggul dapat berapa
kilo, ya pak?”. Si Bapak berkata bahwa dalam tiga kali turun dan naik bisa
mencapai Rp.200.000,- kalau di kalkulasi sekitar 7-8 kilogram sekali panggul,
"saya kalau ambil tiga kali dari bawah, kira-kira dapat 200ribu, sehari,
mbak, dan ini harganya 1 kg sepuluh ribu,".
Salut sekali mendengar
jawaban Bapak, salute dengan rasa syukurnya, salute dengan semangatnya, salut
dengan kekuatannya, atau salute dengan perjuangan hidupnya. Bagaimana aku bisa
tidak mengagumi beliau. Bahkan dengan segala keterbatasan, ia masih bisa
mengucap kata "yah, alhamdulilah, cukup aja mbak untuk sehari-hari,".
Hal lain yang paling
membuatku antara salut dan kalut ialah para pekerja tambang ini sama sekali
tidak ada yang menggunakan masker. Padahal bau belerang begitu menyengat. Apa
karena mereka sudah terbiasa? Pikirku. Tapi tetap saja, itu merupakan hal yang
membahayakan dan termasuk tidak menggunakan alat keselamat kerja yang sesuai
standart.
“Pak, apa emang nggak
pakai masker ya?,”
“oiya, pakai kalau
dibawah nanti,”
“. . . .”
Apakah para pekerja
disini memang se ‘diabaikan’ itu keselematan kerjanya, ataukah memang sudah
semestinya begitu? Entahlah, toh akupun juga belum ada obrolan dengan pihak
pengumpul. Mengeani hak-hak; kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan, atau
sistem ketenagakerjaan di kawasan kaya Belerang ini. Belerang yang biasa
dijadikan campuran kosmetik yang aku pakai, belerang yang biasa dibuat tambahan
sabun untuk mengobati penyakit kulit, belerang yang menjadi sumber mata
pencaharian mayoritas penduduk lokal..
Air-air kembali
mengalir, kali ini lebih sering dan tentunya mengajak temannya sang angin untuk
menyelimuti Kawah Ijen. Kabut yang sudah nangkring disini tidak juga mau
pergi-pergi malah semakin menjadi-jadi, akhirnya kami harus segera
menyelesaikan misi penting di Kawah Ijen ini, Berfoto bersama Kawah kabut.
Setelah semuanya
berakhir, akhirnya misi selesai, kami segera bergegas turun sebelum didatangi
makhluk-makhluk menggemaskan lainnya. Awalnya aku mengira mendaki adalah bagian
tersulit dari perjalanan panjang travelling
Kawah Ijen kali ini, nyatanya menuruninya lebih menyeramkan, rasanya aku selalu
mau jatuh tapi ngga jatuh karena ditahan pakai kaki jari dan
kuku kaki –lebih tepatnya.
Saat perjalanan
pulangpun aku bertemu lagi dengan para penambang yang kali ini menggunakan
gerobak dorong, tapi tetap dengan kostum yang sama –kaos, celana kain, dan
sepatu ala kadarnya, tanpa masker dan alat keselamatan yang lain, mereka dua
orang dengan bawaanya masing-masing, sedang beristirahat dibawah pohon kembar Nami Island KorSel itu.
Saat aku bertanya berapa
kilogram junlah belerang yang mereka bawa, aku terkejut, duh lebay sih si wkwkw. tapi bener aku tercengang karena ternyata
kalau pakai gerobak ternyata bisa lebih banyak, sekali turun ini aja mereka
sudah dapat 30kg yang artinya dapat Rp.300.000,-. Setelah wawancara tipis-tipis
itu, akhirnya kami melanjutkan perjalanan dan sampai dibawah tepat pukul satu
siang.
sisi dan tiwi -selfie 2 |
Akhirnya foto di Kawah Kabut (Dok.1000gurusby) |
selfie 1 |
itu warna kuning dibelakang adalah belerangnya, foto ini diambil saat bertemu dengan pemilik gerobak belerang (dok.1000gurusby) |
Kesempatan foto ala-ala instagramers ternyata belum berakhir,
karena aku masih bisa foto di kawah yang kedua, Kawah Wurung. Sebuah kawah yang
lebih mirip padang rumput dengan biaya masuk cuma lima ribu rupiah –sudah
lengkap ada fasilitas mushola, kamar mandi, hamparan ladang luas, tempat berteduh,
taman bermain, dan sapi-sapi. Semua orang menikmati me-time mereka
–selfie tapi yang paling menyenangkan dari Kawah Wurung ini sebenarnya bukan di
foto-fotonya, tapi lebih di sapi-sapinya, pengalaman sapi yang mengejar Bang Je
saat mau naik ke atas bukit, sampai sapi yang lepas talinya ketika kami akan
turun menuju jisang.
Hewan yang aku anggap lucu ini ternyata bisa
ganas juga. meskipun ganas, aku berhasil mendapat foto sama dia loh (apa yang
harus kamu banggakan dari befoto dengan sapi si-_-) tapi aku seneng aja,
rasanya kaya foto berdua sama dia. eh. heheh.
Terlepas dari semua hal yang membahagiakan selama tiga hari itu, kentang
kfc full team adalah yang paling menyengkan. Belajar bersama,
berjalan berjam-jam bersama, sharing dan nggak tidur-tidur, berhasil menahan ‘perasaan
ingin’ muntah selama perjalanan ke Kawah Ijen bersama, tidur ga karuan di jisang bersama, makan
bersama, sholat bersama, tertawa bersama.
. Dan ini juga merupakan
kesempatan keduaku menjadi pengajar di TnT setelah #TnT15 Bojonegoro tahun
kemarin. Semoga kedepannya semakin banyak hal baik yang bisa kita lakukan
bersama. Selamat belajar dan berbagi bersama, teman-teman di Tim Angkatan 3
Seribu Guru Surabayaku. Salam lima jari :)
15/2/18
Waaaaa suka banget sama tulisannya!!
BalasHapusPerjuangan ijennya kudu dilanjutkan lain hari sampai tidak bertemu kabut sepertinya ya..
Itu foto sama sapinya juga keren :3
Pas aku yg mau foto sama doi sudah marah marah aja sapinya 😂
wkwkw iyaa dongg, harus ke kawah ijeen waktu ga berkabut^^
Hapus