"Beberapa orang memandangmu sepele, meremehkanmu, merendahkanmu, kurang menghargaimu, dan kurang-kurang lainnya. Tapi, Beberapa orang yang lain juga percaya kamu, mengakui kelebihanmu, mengerti hatimu, dan akan selalu mendukungmu. Percayalah Allah SWT sudah mengatur semuanya, beberapa orang dihadirkan untuk membangun kita menjadi lebih kuat, beberapa orang datang untuk membantu kita bangkit, dan beberapa orang menetap dalam kehidupan untuk menjadi bagian dari diri kita"
Bagaimana caranya agar aku selalu menyukai diriku sendiri sebanyak aku menyukai orang yang aku sukai?
Bagaimana caranya agar aku dapat menjadi sepenuhnya aku versi dewasa seperti yang aku bayangkan ketika masih anak-anak?Bagaimana caranya aku bisa bersyukur dapat terlahir sebagai aku?
Intimacy VS Isolated
Akhir-akhir ini, aku sedang memasuki tahap perkembangan dewasa awal, tahap dimana perasaan intimacy semakin dibutuhkan, namun perasaan terisolasi juga sering datang. Ternyata benar yang dikatakan Erik Erikson dalam teori Perkembangan Psikoseksual, bahwa di rentang usia 20-30 an, manusia cenderung ingin mendapatkan perasaan hangat yang lebih banyak dari biasanya, bukan hanya perasaan cinta dan kasih sayang dari internal keluarga, tapi juga cinta kasih dari ruang lingkup sosial yang lebih luas, perasaan cinta dari ruang lingkup persahabatan; yang "lebih akrab", "lebih nyaman", "lebih dekat", dan lebih-lebih lainnya. Namun, untuk mencapai hubungan tersebut, tentu tidak semudah ketika masa kecil, dimana letak geografis rumah yang berdekatan mampu menjadikan hubungan lebih akrab, atau pertemuan yang intens membuat kita otomatis merasakan kedekatan atau hal-hal lain yang dulunya sering kita anggap sebagai alasan terjalinnya sebuah persahabatan, lebih dari itu -setidaknya, aku berharap lebih dari itu- berharap hadirnya seorang teman yang bisa mengerti, mendengar, mengingatkan dan menghibur disaat kita sedang down, mengetahui perubahan-perubahan suasana hati bahkan saat aku sedang berusaha menyembunyikannya. Sempat juga datang masa dimana aku ingin pergi ke tempat yang tidak ada seorang pun mengenalku. Lalu, aku memulai semua yang baru disana. Entahlah, semakin dewasa, aku rasa menjalin kedekatan dengan seseorang semakin banyak standart operation procedurenya, sampai pada akhirnya, kalau bukan diri sendiri yang mampu mengatasi berbagai goncangan, terpaan, dan badai dalam diri ini. siapa lagi?
"Apa tujuan hidupmu?,"
Pertanyaan ini dilontarkan oleh Sintang, salah satu teman komunitasku beberapa hari lalu ketika kami sedang berkumpul. Aku menjawab sekenanya, bahwa aku ingin lebih bersyukur, dengan melihat, belajar dan mencoba menjadi bagian dari orang-orang kurang beruntung di pedalaman, aku merasa, aku bisa lebih banyak bersyukur dengan melakukan itu. Kecenderungan membanding-bandingkan diriku dengan orang lain -entah mengapa- semakin lama, semakin besar. Semakin luas lingkup sosialku justeru -di satu titik- menjadikanku lebih minder (kurang percaya diri). Lalu, tiba giliran salah seorang yang lain, menjawab pertanyaan tersebut. Perempuan berbadan semampai, berambut sebahu, dengan celana hitam dan baju bergaris horizontal mengatakan pendapatnya mengenai apa tujuan hidup terbesarnya, singkat, padat, jelas, "Belajar dan Bahagia,"
Belajar dan Bahagia
Perempuan yang dulunya ingin menjadi seorang polwan namun berakhir dengan duduk di bangku S1 Jurusan Psikologi UNAIR ini memang memiliki Self concept yang beda dan tentunya jauh lebih baik dari milikku sendiri. Sejauh ini, aku sering bertemu orang-orang yang sepaham denganku apalagi di usia yang masih dua puluhan . Jujur, aku juga sudah mengaguminya sejak kali pertama kami bertemu, Ia selalu mengusahakan datang ditengah kesibukannya, janjian sesuai jadwal yang ditentukan, dan ada banyak hal-hal lain yang sudah aku ambil pelajaran dari berteman dengan sosok dengan nama depan yang sama, -untung nama panggilan kami berbeda- Desy Putri Pertiwi, biasa panggilan Tiwi, Tiwi berkata hal yang lucu juga waktu itu, "apa cuma aku ya yang punya pikiran berbeda? aku nggak pernah si bandingin diriku sama orang lain, karena aku tau juga meskipun dia punya keahlian ini-itu, belum tentu dia memiliki keahlian yang aku atau kamu punya," kurang lebih begitu. Batinku cuma bilang, woah self awareness (kesadaran diri) nya udah mateng banget ya Tiwi ini, Keren.
Belajar dan Bahagia
Perempuan yang dulunya ingin menjadi seorang polwan namun berakhir dengan duduk di bangku S1 Jurusan Psikologi UNAIR ini memang memiliki Self concept yang beda dan tentunya jauh lebih baik dari milikku sendiri. Sejauh ini, aku sering bertemu orang-orang yang sepaham denganku apalagi di usia yang masih dua puluhan . Jujur, aku juga sudah mengaguminya sejak kali pertama kami bertemu, Ia selalu mengusahakan datang ditengah kesibukannya, janjian sesuai jadwal yang ditentukan, dan ada banyak hal-hal lain yang sudah aku ambil pelajaran dari berteman dengan sosok dengan nama depan yang sama, -untung nama panggilan kami berbeda- Desy Putri Pertiwi, biasa panggilan Tiwi, Tiwi berkata hal yang lucu juga waktu itu, "apa cuma aku ya yang punya pikiran berbeda? aku nggak pernah si bandingin diriku sama orang lain, karena aku tau juga meskipun dia punya keahlian ini-itu, belum tentu dia memiliki keahlian yang aku atau kamu punya," kurang lebih begitu. Batinku cuma bilang, woah self awareness (kesadaran diri) nya udah mateng banget ya Tiwi ini, Keren.
Conscious mind VS Unconscious mind
Istilah diatas sering kali dibahas dalam kelas "apapun" di jurusan Psikologi. Conscious mind adalah alam sadar yang kita miliki, seperti kemampuan membaca, kemampuan menghitung, dan kemampuan-kemampuan lain yang bisa kita pelajari selama kita mau belajar. dan Unconscious mind adalah kebalikannya, disini tempat tersimpannya memori -biasanya- sedih akan masuk ke alam ini, karena ya namanya juga sedih, kita pasti berusaha tidak mengingatnya, dan meskipun kita tidak ingin mengingatnya, ia masih tersimpan rapih dalam otak kita. Iya, "mereka" bersembunyi disini, hehe.
Teori-teori yang aku pelajari semua masuk ke Conscious mindku, lalu caraku mengambil keputusan, caraku berpikir dan hal-hal refleks lainnya datang dari unconscious mind. Maka jangan heran ya kalau ada anak Psikologi yang kurang "psikologi" (me as example) atau banyak anak yang tidak mempelajari psikologi justeru lebih baik problem solving atau emotional intellegence nya. Semua ini bisa dipelajari tanpa harus mengenyam pendidikan S1 Psikologi kok, dan bahkan secara tidak sadar kita semua telah mempelajarinya sejak dari hari pertama lahir dimuka bumi.
Ini juga sudah tercantum di surat Ar-Rahman dan diulang berkali-kali "saking pentingnya"
Tapi lagi-lagi, teori sekedar teori, bacaan sekedar dibaca, inilah representasi sadar tapi tidak menyadari, dan ketika sedang dilanda kalut, otak sudah tidak mau diajak kompromi atau berpikir lagi, maunya cuma terhanyut sendiri dalam kesedihan tak berujung dan anehnya kita sendiri juga yang menjadi penyebab kesedihan itu.
Aneh tapi nyata.
Manusia.
Sepertinya mempelajari ilmu tentang perilaku manusia (Psikologi) dalam kurung waktu 4 tahun di bangku universitas-pun tidak akan cukup untuk memahami manusia, orang kadang aku aja masih gatau tentang diri sendiri, boro-boro mau memahami tentang manusia lain.
Istilah diatas sering kali dibahas dalam kelas "apapun" di jurusan Psikologi. Conscious mind adalah alam sadar yang kita miliki, seperti kemampuan membaca, kemampuan menghitung, dan kemampuan-kemampuan lain yang bisa kita pelajari selama kita mau belajar. dan Unconscious mind adalah kebalikannya, disini tempat tersimpannya memori -biasanya- sedih akan masuk ke alam ini, karena ya namanya juga sedih, kita pasti berusaha tidak mengingatnya, dan meskipun kita tidak ingin mengingatnya, ia masih tersimpan rapih dalam otak kita. Iya, "mereka" bersembunyi disini, hehe.
Teori-teori yang aku pelajari semua masuk ke Conscious mindku, lalu caraku mengambil keputusan, caraku berpikir dan hal-hal refleks lainnya datang dari unconscious mind. Maka jangan heran ya kalau ada anak Psikologi yang kurang "psikologi" (me as example) atau banyak anak yang tidak mempelajari psikologi justeru lebih baik problem solving atau emotional intellegence nya. Semua ini bisa dipelajari tanpa harus mengenyam pendidikan S1 Psikologi kok, dan bahkan secara tidak sadar kita semua telah mempelajarinya sejak dari hari pertama lahir dimuka bumi.
Ini juga sudah tercantum di surat Ar-Rahman dan diulang berkali-kali "saking pentingnya"
"Maka, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kau dustakan?"Bahwa mindset membandingkan diri sendiri dengan orang lain adalah hal yang salah, dan tidak baik. Bahwa setiap orang memiliki ceritanya sendiri, memiliki perjalanannya sendiri, dan semua akan manis pada waktunya, selama kita berhenti "membandingkan". Allah sudah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya makhluk (dilengkapi otak buat berpikir, mata untuk melihat, dan hati untuk merasakan)
Tapi lagi-lagi, teori sekedar teori, bacaan sekedar dibaca, inilah representasi sadar tapi tidak menyadari, dan ketika sedang dilanda kalut, otak sudah tidak mau diajak kompromi atau berpikir lagi, maunya cuma terhanyut sendiri dalam kesedihan tak berujung dan anehnya kita sendiri juga yang menjadi penyebab kesedihan itu.
Aneh tapi nyata.
Manusia.
Sepertinya mempelajari ilmu tentang perilaku manusia (Psikologi) dalam kurung waktu 4 tahun di bangku universitas-pun tidak akan cukup untuk memahami manusia, orang kadang aku aja masih gatau tentang diri sendiri, boro-boro mau memahami tentang manusia lain.
Diri Ideal VS Diri Nyata
Dalam teori Psikologi Kepribadian Eksistensialisme milik Carl Rogers juga dijelaskan mengenai dua hal ini,
Diri Ideal ialah gambaran diri yang ingin kita capai, dan diri Nyata ialah bagaimana kita melihat diri sendiri saat itu juga. lalu, Bagaimana aku menilai diriku di mataku? Bagaimana kamu menilai diri kamu dimata masing-masing kamu? Kalau aku pribadi, aku sering berubah-ubah dalam menilai diriku, disatu titik pernah merasa begitu mengenal baik diri dan bersyukur, disatu titik juga pernah merasa, aku bukanlah sesuatu yang berarti. standart aja. Menurutku, karena aku orang yang juga cenderung ekstrovert dan menjadikanku begitu terpengaruh dengan penilaian orang lain, atau kadang juga merasa marah - marah sendiri dengan diri kalau sering tidak sesuai ekspetasi, apakah kamu juga pernah merasakan hal yang aku rasakan?
Diri Ideal ialah gambaran diri yang ingin kita capai, dan diri Nyata ialah bagaimana kita melihat diri sendiri saat itu juga. lalu, Bagaimana aku menilai diriku di mataku? Bagaimana kamu menilai diri kamu dimata masing-masing kamu? Kalau aku pribadi, aku sering berubah-ubah dalam menilai diriku, disatu titik pernah merasa begitu mengenal baik diri dan bersyukur, disatu titik juga pernah merasa, aku bukanlah sesuatu yang berarti. standart aja. Menurutku, karena aku orang yang juga cenderung ekstrovert dan menjadikanku begitu terpengaruh dengan penilaian orang lain, atau kadang juga merasa marah - marah sendiri dengan diri kalau sering tidak sesuai ekspetasi, apakah kamu juga pernah merasakan hal yang aku rasakan?
Mungkin kamu merasakan apa yang aku rasa atau kamu tidak merasakan yang aku rasakan. Tidak apa, manusia memang unik, dan tidak sama. Dan kembali lagi pada tujuan awal menulis di blog pribadiku ini ialah untuk intopeksi dan berbagi, barangkali ada diantara kamu yang dengan senang hati membaca curhatanku ini setidaknya bisa mendapat penguatan, dan dukungan dari tulisanku ini. Keep Calm, u're not alone.
Diri Nyata ini merupakan apa yang secara objektif ada dalam diri, seperti contoh, rambut hitam, pipi tembem, kulit cokelat, aku suka makan es grim, dan hal-hal lain yang memang merupakan bagian dari diri kita, dan diamini oleh orang-orang sekitar kita.
Sampai akhirnya, otak bisa diajak bersahabat lagi, dan yang aku inginkan adalah menjadi si Sisi. Bukan Si lainnya. Sampai pada akhirnya, mengerti apa yang dimaksud dengan istilah "bercermin" dimana ketika kita bercermin, kita tidak akan melihat orang lain selain diri sendiri. Sama seperti dalam kehidupan, sudah seharusnya kita tidak membandingkan diri dengan yang lain. Karena setiap orang pasti memiliki porsi mereka masing-masing, tinggal bagaimana kita terus belajar dan bahagia menjadi diri sendiri. Terus berusaha yang terbaik dan menjadi lebih baik dari diri sebelumnya, yang pastinya terus bersyukur masih diberi banyak limpahan rezeki (entah berupa materi, teman sejati, lingkungan yang supportif, dan masih banyak lagi) bahkan ketika aku masih sering kurang pandai mengucap kata Alhamdulilah di sela-sela fajar dini hari atau senja ketika adzan maghrib mengudara menentramkan hati.
Atau bahkan sekedar mengucap terimakasih pada kamu yang masih mau membaca curhatan ini sampai selesai. sekali lagi, Terimakasih :)
Diri Nyata ini merupakan apa yang secara objektif ada dalam diri, seperti contoh, rambut hitam, pipi tembem, kulit cokelat, aku suka makan es grim, dan hal-hal lain yang memang merupakan bagian dari diri kita, dan diamini oleh orang-orang sekitar kita.
Kesenjangan antara Diri Nyata dan Diri Ideal ini adalah penyebab kita merasa cemas, khawatir, atau kalau bahasa teorinya Carl Rogers adalah Incongruen, keadaan diamana perasaan tidak menyukai diri sendiri karena pengalaman yang didapatkan tidak mampu membuat kita aktualisasi diri, dan hal inipun sering aku lewati, ketika apa yang aku bayangkan mengenai diriku -yang ingin juga bisa setara dengan orang-orang dilingkunganku- ingin aktif, atraktif, solutif, imajinatif, inspiratif dan tif tif lainnya, setelah di lapangan, nyatanya nol besar. Apa yang aku ekspetasikan mengenai diriku sama sekali tidak sesuai, dan kesenjangan itu terjadi. Menjadikan orang-orang lain sebagai parameterku, menginginkan menjadi seperti si dia, si itu, si ini, dan si - si lainnya.
Sampai akhirnya, otak bisa diajak bersahabat lagi, dan yang aku inginkan adalah menjadi si Sisi. Bukan Si lainnya. Sampai pada akhirnya, mengerti apa yang dimaksud dengan istilah "bercermin" dimana ketika kita bercermin, kita tidak akan melihat orang lain selain diri sendiri. Sama seperti dalam kehidupan, sudah seharusnya kita tidak membandingkan diri dengan yang lain. Karena setiap orang pasti memiliki porsi mereka masing-masing, tinggal bagaimana kita terus belajar dan bahagia menjadi diri sendiri. Terus berusaha yang terbaik dan menjadi lebih baik dari diri sebelumnya, yang pastinya terus bersyukur masih diberi banyak limpahan rezeki (entah berupa materi, teman sejati, lingkungan yang supportif, dan masih banyak lagi) bahkan ketika aku masih sering kurang pandai mengucap kata Alhamdulilah di sela-sela fajar dini hari atau senja ketika adzan maghrib mengudara menentramkan hati.
Atau bahkan sekedar mengucap terimakasih pada kamu yang masih mau membaca curhatan ini sampai selesai. sekali lagi, Terimakasih :)
Surat Cinta Untukmu
Tenanglah, kamu tidak sendiri, aku juga merasakan hal yang sama denganmu, tapi sekali lagi, kita harus percaya proses, percaya Allah tidak tidur, terus lakukan hal yang kamu sukai selama itu positif, menulislah, melukislah, menyanyilah, menarilah, cobalah melakukan semua dengan hatimu, fokus! Aku yakin karyamu nanti pasti disambut banyak orang baik, sampai suatu saat kamu menyadari bahwa alam sedang berkonspirasi menyambut hangat kehadiranmu dimuka bumi [cc]
Referensi
https://www.verywellmind.com/the-conscious-and-unconscious-mind-2795946
http://psikologi.net/struktur-kepribadian-menurut-carl-rogers/
http://www.psikologiku.com/intimacy-vs-isolation-keintiman-vs-isolasi/
https://nadjaneruda.wordpress.com/2015/03/21/teori-kepribadian-sehat-menurut-carl-rogers/
https://www.verywellmind.com/the-conscious-and-unconscious-mind-2795946
http://psikologi.net/struktur-kepribadian-menurut-carl-rogers/
http://www.psikologiku.com/intimacy-vs-isolation-keintiman-vs-isolasi/
https://nadjaneruda.wordpress.com/2015/03/21/teori-kepribadian-sehat-menurut-carl-rogers/
0 komentar:
Posting Komentar