Tulisan ini saya berikan untuk kalian yang sering merasa tidak bisa apa-apa, selalu salah, dan tidak puas atas semua yang telah di miliki selama ini. Percayalah, kalian itu tidak sendiri, karena aku pun begitu, mungkin malah-lebih banyak 'stupidity'' yang sudah aku lakukan. relax, u r not alone gais
(NB: sebelumnya, maaf kalau essai ini bukan seperti essai yang kalian pahami, hehehe. karena essay disini maksudnya, opini penulis)
Dalam
kehidupan seorang anak bungsu, dan sebagai pemeran utama
dalam kehidupanku sendiri, aku punya banyak kebodohan yang telah terlewati. Mungkin
kalau –hal ini dibukukukan juga bisa, saking banyaknya. Mungkin ada salah satu kisah saya yang sampai saat ini masih ‘saya syukuri
karena pernah terjadi’, Sama seperti kutipan dalam novel Tentang Kamu milik
Tere Liye yang berkata ‘aku tidak pernah sedih semua itu telah berakhir, aku
bersyukur bahwa semua itu pernah terjadi,’ kurang lebih begitu. eheh
Dan
Selamat
membaca, sekali lagi terimakasih sudah meluangkan waktu membaca kata demi kata
yang sudah memenuhi otakku selama beberapa hari terakhir.
Sampai
berjumpa di depan ruang tempat semesta akan mempertemukan kita, semoga asa ikut mengamini setiap doa-doa kamu, iya kamu, yang lagi baca tulisan ini. #eaa
Let’s
go~
-
Sisi
yang masih sering galau dan mengeluh mengenai hal-hal menarik yang tidak segera
menjadi nyata, kini mulai mengerti, Bahwa sebenarnya hidup bukan mengenai
membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Bahwa sebenarnya hidup ini
mengenai bagaimana kita menjadi lebih baik dari diri sendiri. Kini mulai
memahami, bahwa setiap orang punya ceritanya masing-masing. Kini mulai
menyadari masih banyak hal yang belum dilalui untuk menjadi lebih baik dari
versi terbaik diri sendiri.
Aktivitas
– aktivitas monoton yang menjadi makanan sehari-hari selalu bisa membuatku
bertahan di zona nyaman,
Zona
yang masih terlalu malas untuk menatap kedepan, melihat bintang-bintang yang
ternyata sudah mulai berjatuhan diambil oleh banyak orang, menjadi rebutan. Aku,
iya aku nyatanya, masih tetap berdiam diri tanpa mau berlarian berebutan ikut
mengambil bintang-bintang itu, Sisi di usia perkembangannya yang seharusnya
punya tujuan dan manfaat dalam hidupnya – sama seperti di pendahuluan
makalah-makalah yang selama ini aku kumpulkan kala menjadi tugas kuliah, ternyata
masih belum menemukan semuanya, lantas mana bisa aku membahas mengenai hidupku
lebih jelas, seperti yang sering dikuliahkan dalam kelas matakuliah psikologi
apapun itu.
‘Hidup itu harus
bertujuan, kalau kamu ga punya tujuan, hasilnya gini gajelas mau dibawa kemana
dirimu sendiri’
‘Hidup jadi
setengah-setengah. Nggak maksimal. Ragu-ragu. Dan itu salah satu sifat yang
disukai setan’
Masih
banyak lagi ceramah-ceramah motivasi di kelas psikologi UIN Sunan Ampel
kampusku yang kusayangi, dan aku selalu berterimakasih atas semua wejangan dari para dosen berdedikasi
yang tidak bosan-bosannya menjadi salah satu orang yang membuatku menyadari. Selama
dua puluh tahun ini apakah aku sudah bermanfaat setidak-tidaknya buat diri
sendiri?
Membuatku
jadi berpikir, kalau bukan aku yang menyayangi diri sendiri, lantas mau siapa
lagi, kalau bukan aku yang mulai berdiri, berlari, mengejari mimpi-mimpi
sewaktu masih di usia dini. Lantas mau siapa lagi?
Mungkin
sama seperti dalam cara menjawab di soal-soal matematika jaman SMP sampai SMA,
dimana setiap soal diawali dengan Pertanyaan, Diketahui, dan Jawaban. Kini saatnya
aku menjawab satu persatu pertanyaan dalam diri sendiri.
~
Inilah
jawabannya.
Dan
semoga jawaban ala kadarnya ini bisa
membantu kamu dalam menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang
berputar-putar mengelilingi alam sadar dan alam bawah sadar.
POIN PERTAMA
TUJUAN
Perlahan-lahan
aku mulai mendapatkan tujuan itu; tujuan kuliahku, tujuan hobiku, tujuan
mencari apa arti menjadi diriku.
Aku
–tentunya- ingin menerapkan apa yang sudah didapatkan saat kelas. Aku ingin
menjadi seorang mahasiswa psikologi yang sesuai brandingnya. Yang pandai berkomunikasi dengan siapa saja, yang
peduli, yang suka anak-anak, suka bersosialisasi, mengayomi, menjadi tempat
yang nyaman bagi siapapun yang sedang dirundung sedih hati, pendengar yang
setia menanti dan mampu membantu mereka yang sedang mencari dirinya sendiri.
Aku
merupakan seorang yang sangat menyukai belajar hal – hal baru, suka perubahan,
dan selalu bersemangat akan hal itu.
Akupun
memulai dari hal termudah –menurutku- kala itu, menjadi seorang guru. Aku
memang berhasil mendapat pengalaman itu, dengan menjadi seorang terapis anak
berkebutuhan khusus selama beberapa
minggu. Sayang tidak bertahan lama. Aku diberhentikan sepihak karena ada
beberapa kesalahanku yang menurut sebagian orang fatal – walaupun menurut
pemilik biro jasa terapisku itu bukanlah sesuatu yang fatal-
Kacamata
Mungkin
juga banyak yang tahu, kalau kacamata
netral sepeda motor, jaman sekarang
sudah menjadi hal yang biasa digunakan. Selain sebagai penghalang debu,
kacamata itu bisa menjadi asesoris pemercantik kaum pemuda-pemudi masa kini.
Setelah
belajar menjadi terapis selama kurang lebih 4 kali dengan salah satu kakak
tingkatku di kampus, yang kebetulan juga mengajar di biro yang sama. Akhirnya
aku mendapatkan muridku sendiri.
Saat
itu aku sedang memasuki semester empat, awal tahun 2017.
Jadwal
mengajarku jam sepuluh sampai setengah dua belas setiap hari selasa dan kamis.
Aku mengajar seperti biasa, datang lebih awal, menyiapkan beberapa permainan
untuk disajikan dan ya, aku merasa
semua berjalan baik. Aku kuliah seperti biasa. Dan mengerjakan tugas juga
dengan kadang perasaan sedikit ‘keteteran’
karena ternyata mengajar tidak semudah itu. Meskipun bisa dibilang level
autisme Adik Joshua –nama murid pertamaku- ini termasuk autis ringan, tetapi,
tetap saja, mengajar tidak semudah itu. Ternyata benar kata orang, menjadi seorang
guru bukanlah hal yang biasa, itu luar biasa hebatnya. Karena ia menjadi salah
satu faktor sukses tidaknya seorang anak dalam kehidupannya.
Aku
memang tidak patah semangat, justeru makin tertantang. Aku semakin ingin
mencoba banyak trial-error baru dalam
hidupku. Adik Joshua juga begitu, baru pertemuan kedua, dia dengan mudahnya
mengerti apa-apa yang aku instruksikan. Cuma kadang ia bosan, jadi aku
mengalihkan dengan permainan-permainan. Akhirnya tak jarang juga ia mengambil
beberapa barang milikku yang ada di dalam tas, dan dipakainya lah.
Mulai
dari kacamata mainan, masker untuk naik sepeda motor, sampai idcard wartawanku. Lucu memang. Dan aku
akhirnya mengabadikannya dalam sebuah foto.
Saking
aku suka dan lucunya, aku jadikan Profil
Picture Whatsappku. Dan beberapa hari kemudian, singkatnya aku sudah
digantikan oleh pengajar yang baru.
Setelah
komunikasi dengan Bu Susan, pemilik Lembaga Jasa Terapis itu, akhirnya aku
belajar beberapa hal.Ternyata hal-hal kecil yang selama ini aku sepelekan
sebenarnya merupakan hal penting. Ternyata, Bu Susan, orangtua dari Adik Joshua
minta aku diganti pengajarnya karena tau Adik Joshua suka memakai
barang-barangku. Dan ia tau tentunya dari foto profil yang aku pasang sendiri.
Iya,
kalau dipikir – pikir ga salah juga orangtuanya khawatir, anaknya pakai masker
aku. Wajar sekali malah. Takutnya tertular penyakitku – meskipun aku juga ga
lagi sakit, tapi itu hal yang wajar. Kedua, pakai kacamata netralku. Sebenarnya
otak manusia memang lebih cenderungnya berfikir ke arah yang negatif. Cemas.
Gelisah. Iya, si Ibu lagi-lagi menpresepsi itu kacamataku nanti bisa buat
anaknya jadi sakit mata.
Dan,
memang kita hidup di dunia ini dengan banyak karakteristik manusia, ada
beberapa orang yang bisa mengkomunikasikannya dengan baik. Dan ada yang tidak.
Si Ibu ini salah satunya.
Karena
aku sudah menyadari kesalahanku, maka aku minta maaflah ke beliau, tapi
lagi-lagi orang itu banyak tipe. Pesanku tidak pernah dibalasnya lagi. Niatanku
mungkin memang baik, tapi Bu Susan pun sampai melarangku terlalu menyalahkan diriku sendiri juga.
“jangan
terlalu ngemis-ngemis mbak, yang butuh itu ga Cuma kamu, dia loh juga butuh
kamu sebagai gurunya, udah gapapa dijadikan pengalaman dulu aja ya,” hiburnya.
Aku
cuma ingin hubungan kita *cie kitaa* berakhir dengan baik-baik. Tapi tidak
semua orang menyambut niat baik oranglain.
Bu
Susan berpesan kepadaku kalau - kalau dunia kerja memang begitu, banyak tipe dan
model orang, “sudah tidak usah terlalu dipikirkan, kamu buat salah ga
fatal-fatal banget Cuma emang ada beberapa orang tua yang begitu. Yang penting
diambil hikmahnya aja mbak,”
Si
Bungsu yang Cengeng lembut
hatinya
Entah
kenapa saat aku ke rumah Bu Susan waktu itu, aku tiba-tiba menangis. Aku merasa
selama ini aku belum bisa bermanfaat buat orang lain. Padahal aku mahasiswi
jurusan psikologi, hal se-sensitif ini harusnya aku sadari, kenapa aku begitu
tidak peka. Aku sedih. Dan entah mengapa aku merasa Bu Susan mengerti
penyesalanku itu. Dan mencoba menghiburku.
Tapi
jujur ya, aku masih sedih selama beberapa hari. Aku masih suka menyalahkan
diriku sendiri yang ga peka, semaunya sendiri, dan kurang telaten. Aku merasa
nilai-nilaiku yang bisa dibilang lumayan di atas kertas itu, cuma nilai
formalitas. Nyatanya aku masih nol saat dilapangan.
Dan
Mungkin disini adalah titik bersyukurnya aku menjadi mahasiswi psikologi.
Setiap hari ada saja hal-hal baik dan postif yang disampaikan oleh
dosen-dosenku ini, yang akhirnya selalu membuat aku ‘think positively again’.
Bertepatan
dengan materi psikologi positiv di Psikologi Klinis, Bu Zaki, menjadi salah
satu orang yang membuatku kembali semangat, beliau bilang, “setiap orang itu
dalam proses belajar, sangat wajar orang melakukan kesalahan. Itu adalah
proses. Kita sudah seharusnya se-pemaaf itu dengan diri sendiri. Memaafkan diri
sendiri itu proses pertama menuju hal baik lainnya,”
Maka
untuk itu ‘maafkanlah diri kalian sendiri’ untuk segala kegagalan, kebodohan,
kecerobohan, dan hal-hal menyakitkan lainnya yang sudah dilewati jangan
dijadikan penyesalan tapi jadikan pelajaran. Katanya pengalaman adalah guru
terbaik.
Yes! It’s it. Mulailah
otakku menerima hal-hal yang bodoh yang aku lakukan tanpa melibatkan otak. Aku
mulai belajar menerima dan memaafkan diri sendiri, semudah aku menerima dan
memaafkan orang lain. Ya masa sama diri sendiri aja nggak sayang kan ya. Gitu
mau disayang sama orang lain. Ini namanya self-appriciate
dan sangat dianjurkan buat kesehatan mental juga. Lagi-lagi aku belajar semua
ini dari bangku kuliah.
Dan
hal kedua yang disampaikan beliau adalah, ‘jangan lupa bersyukur. Bersyukur itu
kuncinya. Kunci semua penyakit jiwa,’.
Kalau dipikir-pikir lagi, memang benar, orang
yang kurang bersyukur itu orang yang gampang depresi. Sebenarnya semua sudah
digariskan dan diatur, yang perlu kita lakukan sebagai manusia ya Cuma berdoa,
berusaha, dan paling penting ‘yakin’. Gagal tidaknya, semua pasti ada kisah
manisnya sendiri. Itulah hidup.
Dinamikanya.
Dan
cerita-ceritanya,
Lagi-lagi
Allah membuktikannya kepadaku.
Dibalik
semua kegagalan-kegagalan yang aku sesali selama dua puluh tahunku menjadi
seorang Deasy Meirendah Chikita, tinggal dan hidup di raganya. Kegagalan masuk
SMP pilihanku, SMA pilihanku, bahkan Universitas pun – semua tidak ada yang
sesuai dengan yang aku harapkan.
Ternyata
Allah memberikan cerita yang jauh lebih indah dari yang aku inginkan.
Cerita-cerita
yang membuatku semakin baik semakin harinya. Semakin yakin kalau semua hal yang
kita pasrahkan setelah usaha sebaik mungkin, Pasti ada jalannya.
Seperti
kebanyakan qoutes di caption-caption
instagram kids jaman now “There is a
Will, there is a Way”
POIN KEDUA
YAKIN
Seperti
biasa, aku suka ngomel-ngomel, mengkritisi, dan tidak puas akan banyak hal
dalam hidupku, dan ternyata itulah yang membuat hidup seperti dalam penjara, dam
nyatanya itu semua dibuat sendiri oleh pikiranku. The power of mindset.
Ayahku
selalu mengatakan jangan menilai sesuatu diawal, lihat dulu sampai selesai
keseluruhan ceritanya, baru kamu bisa menilai.
Ternyata
pepatah ‘hidup nurut sama orangtua, dijamin enak’ itu benar. Kalau
dipikir-pikir secara logika, mana ada orangtua yang ingin menjerumuskan
anaknya. Semua pasti ingin anaknya menjadi baik.
Lagi-lagi
perkataan ayahku terbukti, dari semua hal yang aku anggap ‘gagal’ itu, selalu
membukakan banyak pintu kejalan lain yang lebih seru! Ternyata hal yang selama
ini aku anggap gagal justeru memberikan keberhasilan lain diluar dugaan.
Bu
Khotim salah satu dosenku di semester empat lalu dan sekarang juga sih ini juga sering mengatakan bahwa
ketika kita menyerahkan semua pada Allah dan yakin semua yang diberikan pasti yang
terbaik buat kita. Bahkan Allah akan memberikan lebih dari yang kita
ekspetasikan.
Akhirnya
karena asupan motivasi yang begitu banyaknya dari lingkungaku, yang semakin
meyakinkanku bahwa gagal itu kata lain dari keberhasilan versi Allah, bukan
versi kita.
“Boleh
jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling
mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah:216)
Yakin
adalah kuncinya. Yakin semua sudah disiapkan sama Allah, yakin kalau sesuatu
yang lebih baik sedang menanti, yakin bahwa tidak ada usaha yang sia-sia.
Yakin
aja semua itu sudah ada jalannya masing-masing.
Rezeki
nggak mungkin salah upeti, semua orang memiliki waktunya sendiri.
Kapan
bisa mulai menuai atau kapan bisa mulai menikmati, atau bahkan ternyata semua
ini baru saja terlewati tanpa disadari. Hidup itu serba ‘mungkin’ dan situlah
serunya. Ketidak pastian yang membuat hidup jauh lebih bermakna. Yakin saja
semua itu ada cerita drama manis nan melankolis yang siap jadi rempah-rempah
gurih perjalanan ini.
Aku
bersyukur aku pernah mengajar anak abk dulu, akhirnya aku jadi tau
kelemahan-kelemahanku dan bisa mulai mencoba mengatasinya. Menyadari berarti
memperbaiki, bukan?
Aku bersyukur dulu tidak masuk sekolah –
sekolah impianku. Ternyata di sekolah yang aku anggap baik itu juga tidak
sebaik itu.
Aku
bersyukur sering melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang suka membuatku
menangis, hal itu membuatku sadar menangis tidak akan pernah menyelesaikan
masalah, Cuma meringankan perasaan, di teori psikologi ada nih dimana emang seseorang memiliki tipe penyelesaian masalahnya
masing-masing. Ada yang focus emotion
dimana ia mengembalikan mood dulu baru bisa berpikir, namun ada juga yang focus solution yang mana bisa langsung
mencari jalan keluar. Dan ternyata tipeku yang focus emotion.
Dari
situ akhirnya aku tau cara menanggulangi diriku sendiri ketika sedang kecewa.
Dengan itu aku tau caranya bersahabat dengan diriku sendiri, dan menerima semua
kekurangan dan kelebihan yang aku miliki.
Seandainya
dulu aku terpilih di jurusan pertama pilihanku, dan ga jadi masuk jurusan Psikologi, mungkin aku nggak akan menyadari
banyak hal dalam diriku sendiri.
Karena
psikologi juga aku jadi semakin sering mengeksplore
diriku sendiri. Akhir-akhir ini ada banyak hal yang mulai kusadari, salah
satunya menyadari kalau aku ini suka berada diantara anak-anak, bermain bersama
mereka, dan belajar banyak hal dari mereka. Hal ini membuka hal-hal baru yang
akan aku jadikan hobi! Belajar langsung dari lapangan ditambah pemanisnya;
anak-anak. Sungguh hal ini membuatku ketagihan. Betapa tidak, anak-anak yang
selama ini tidak tahu apa-apa justeru mereka yang lebih tau banyak hal dari
kita.
Mereka
tahu caranya berdiri lagi ketika terjatuh tanpa mengeluh, mereka tahu caranya
belajar setiap hari tanpa lelah, mereka bertanya semua hal yang tidak mereka
ketahui tanpa malu, mereka tahu banyak hal didunia ini bisa terjadi tanpa takut
gagal. Karena jika gagal mereka akan mencoba lagi dan lagi sampai berhasil.
Itulah
yang aku sukai berada diantara anak-anak, kepolosan mereka, keluguan mereka dan
keyakinan mereka akan diri sendiri. Aku suka semua itu.
Mungkin
sebagian dari kalian ada yang kurang setuju dengan statementku, kalau anak-anak punya daya juang tinggi. Mungkin kalian juga merasa ada beberapa anak yang
patah semangat setelah sekali kalah dalam pertandingan, atau terlalu malu untuk
bertanya atau terlalu penakut untuk unjunk diri. Semua itu bukan kesalahan
mereka, lingkungan orang dewasa lah yang membuat mereka menjadi seperti itu.
Apabila
hal-hal itu bisa teratasi dengan cepat dan tepat. Anak-anak pasti adalah seorang
pembelajar ulung. Dia akan langsung menerima informasi yang diperolenya. Jadi
bagaimana kita bersikap itu nanti akan ditiru olehnya. Maka mungkin sudah
seharusnya kita mengenali dan menyadari diri sendiri, agar adik-adik disekitar
kita mendapat informasi yang baik baik juga.
Dengan
baiknya Allah memberikan keajaibannya lagi.
Aku
mendapat kesempatan menjadi salah satu volunteer
pengajar di komunitas Seribu Guru Surabaya. Senangnya, dua hobiku dipadukan
menjadi satu paduan yang serasi. Aku suka mengajar anak-anak dan aku suka
jalan-jalan. Di komunitas ini aku dapat keduanya. Mengajar dan jalan-jalan.
Nama programnya aja udah Teaching and
Travelling.
Singkat
cerita aku ikut acara TnT ke 15 waktu itu. Aku mengajar kelas 2 SMP di SMPN
PGRI Tondomulo, Kecamatan Bunten, Kabupaten Bojonegoro. Diluar ekpetasi. Semua
hal merupakan hal yang sungguh baru aku alami. Perjalanan sembilan jam dengan
keterguncangan ala-ala naik kapal ditambah debu pasir kapur yang beterbangan
seperti salju putih di musim dingin jepang, perjalanan kaki dibawah langit
berbintang seribu, karena di desa ini masih minim listrik sampai terdampar di
tengah hutan sewaktu pulang, aku mengalami semuanya di TnT waktu itu.
Pengalaman
mengajar adik-adik yang tak terlupakan.
Beberapa
kesalahan aku juga lewati di pengalaman mengajar ini, seperti materi yang
terlampau jauh dari kemampuan adik-adik membuat mereka kurang memahami
materinya. Aku belajar hal baru lagi disini, batinku dalam hati. Meskipun
materiku ini dibilang terlalu berat dan jauh dengan mereka yang notabenenya
masih baru berinisiatif sekolah tiga tahun terakhir tanpa dijemput oleh
guru-guru sekolahan. Mereka sama sekali tidak menganggap hal yang aku dan Mbak
Anna berikan waktu itu adalah sebuah pelajaran yang susah, mereka menganggap ini
adalah permainan.
Perasaan
bersalahku kini kembali sedikit terobati, dengan persiapan materi yang cukup
matang selama kurang lebih dua minggu. Aku merasa sedikit bisa menolerir
kesalahanku kali ini, tidak seperti yang diawal. Dimana aku benar-benar
menyalahkan diriku.
Tapi
memang hal ini memiliki efek nagih dan membuka kesadaranku lagi. Selama ini hal
sederhana pun belum bisa aku berikan ke adik-adik. Untuk apa mencari nilai
sebaik itu kalau tidak ada amalannya. Sekali lagi hal ini membuatku jauh lebih aware dan care sama diri sendiri maupun lingkungan.
Semakin
banyak hal lain yang ingin aku bisa lakukan supaya ilmuku ga Cuma konsumsi pribadi, supaya ilmuku ada manfaatnya atau
setidaknya supaya ada kepuasan tersendiri atas apa yang sudah aku lakukan
selama dua puluh tahun terakhir.
Dan
‘perasaan’ itu hadir ketika aku dapat berbagi.
POIN KETIGA
BERBAGI
Kata berbagi ini selalu menjadi kata-kata terindah selama beberapa minggu terakhir dalam hidupku. Dulu aku tidak seberapa tau betapa besar dampak berbagi bagi hidup seseorang. Dulu aku rasa, aku cukup melakukan semuanya yang terbaik untuk diriku sendiri. Dulu aku rasa kebahagiaan itu didapat hanya karena prestasi yang aku raih sendiri, hasil usaha sendiri, dan karena diri sendiri.
Tapi
aku sekarang tahu, ternyata kebahagiaan itu didapat dari orang lain. Ternyata
didapat dari arti berbagi. Semakin kita berbagi semakin bertambah pula
kebahagiaan yang aku rasakan selama ini.
Ternyata
kebahagiaan bisa datang dari hal-hal sesederhana ini. Dari melihat senyuman
mereka. Melihat semangat mereka. Atau bahkan hanya mendengarkan canda tawa
mereka.
Berbagi
ternyata seindah itu.
Dulu
aku selalu bertanya – tanya pada diriku sendiri kenapa banyak orang yang mau
merepotkan diri dengan mengurusi karang taruna rt mereka, atau sibuk menjalani
kegiatan sebagai seorang remaja masjid, atau ikut kegiatan-kegiatan sosial
disaat kita bisa bermain-main. Ternyata ini, ternyata seperti itu rasanya! Bikin
nagih! Mungkin bagi yang tinggal di perumahan seperti aku, kurang merasakan
hawa jiwa muda para panitia karang tarunanya – ya karena memang seperti Off
gitu kan ya dibandingkan orang-orang yang tinggal di perkampungan, yang masih
guyub, masih akrab, dan gotong royongnya juga masih erat. Atau mungkin karena
teknologi yang menjamur semakin membuat orang-orang betah berlama-lama didalam
rumah mereka, menatap layar handphone, atau sekedar ketawa ketiwi lihat drama
korea kesayangan kita.
Ah,
itu aku banget~ lebih milih baper-baper didalam kamar, nontonin Oppa-Oppa yang
meluncurkan jurus seribu nya untuk baperin pemeran utama cewek. Duh! Emang racun
banget ya drama itu wkwkw.
Menurutku
juga waktu itu investasi masa depan. Kalau sekarang ga disibukkan dengan banyak
cari pengalaman, banyak berbagi, banyak kesana kemari, mau gimana coba
kedepannya saya. Wkwkwk. Ngambang banget kan?
Yah
dari pada wasting time begitu, agaknya saya mulai sadar, dan menghargai waktu
dengan lebih selektif memilih kegiatan yang menyibukkan.
Karena
pada dasarnya manusia memang kalau tidak disibukkan dengan hal-hal baik, ya dia
bakal disibukkan dengan hal-hal foya-foya tadi. Jadi sepertinya, dari pada aku
lihat drama di layar laptop. Kenapa aku tidak menjalani drama kehidupan saya
sendiri yang jauh lebih faedah pastinya. Wkwkwkw
Semangat
berbagi~ mungkin menulis adalah salah satu saranaku dalam berbagi, berbagi
perasaan, pemikiran, dan kebahagiaan. Ya mungkin juga nggak dibaca para pembaca sampai selesai sih. Tapi buat kamu yang berhasil – dan betah baca sampai selesai,
sincerely from me, thankyou.
Aku
berharap nantinya kita bisa saling berbagi juga^^ -cc
( -cc ) Penulis
merupakan Mahasiswi Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya
Masih
semester lima
Masih
umur duapuluh
Masih
tinggal sama orangtua
Dan
Sama
seperti kalian semua,
Masih
sama-sama belajar.
0 komentar:
Posting Komentar