Being a woman isn't a failure no matter what kind of woman you want to be. Whats make you happy, go for it.
Beberapa waktu lalu aku baru saja menonton
film Little Women (2019),
sebuah film yang diadaptasi dari novel klasik Amerika di tahun 1898. Novel ini
ditulis oleh seorang perempuan bernama Louisa
May Alcots. Dan setelah menonton film ini
aku melakukan banyak riset soal latar belakang penulis karena tertarik dengan
cerita yang ternyata juga diadaptasi dari kisah hidupnya sendiri.
Film
yang memiliki alur maju mundur ini mungkin awalnya akan sedikit membuat
kebingungan audience yang belum pernah
menonton adaptasi dari film-film sebelumnya atau sekedar membaca sinopsis
cerita, karena film Little Women
telah diadaptasi untuk keempat kalinya. Diawali dengan karakter utamanya, Jo March yang memasuki sebuah ruang direksi
penerbitan buku di New York, adegan yang menurutku cukup menguras adrenalin,
selain karena backsound, latar tempat
yang membuat kita serasa diajak kembali ke tahun 80an, tahun peristiwa dimulai
dan berusainya perang antara Amerika dengan Spanyol.
Adegan
selanjutnya adalah dimana Amy, anak
perempuan terakhir dari keempat bersaudara keluarga March yang tengah
melanjutkan studi melukisnya ke Eropa bersama bibinya dan bertemu dengan
Laurie, sahabat masa kecil keluarga mereka. Sejak awal tokoh yang banyak di
sorot dalam keluarga March adalah Jo dan Amy karena sibling rivalry dua saudara ini tergambar jelas.
Tokoh
lainnya yang tidak kalah penting dan yang menjadi puncak klimaks dari film ini,
Beth, tokoh yang sedari awal kita
tahu akan meninggal namun memberi banyak pelajaran. Kalau ditinjau dari seluruh
March bersaudara, karakter Beth yang paling pemalu dan tenang. Selain itu
keinginannya atas hidup juga tidak se-ambisius dan idealis Jo atau Amy. Bagi Beth,
saling memiliki satu sama lain sudah cukup membuatnya bisa mensyukuri
keluarganya. Aku pribadi menyukai karakternya yang selalu menjadi dopamine disaat semua saudaranya sedang
gaduh gelisah karena kenyataan yang tidak sesuai ekpetasi.
Kali
ini aku mau sedikit mengutarakan perasaan kurang puas terhadap penulis script yang hanya memberi bagian
karakter anak pertama, Meg tidak
sebanyak karakter lainnya. Meg datang di scene
pertamanya dalam film ketika dia ingin membeli kain namun tak mampu membayar
biaya menjahit karena terlalu mahal untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga
kecilnya. Meg sebagai anak pertama dalam cerita ini digambarkan telah memiliki
keluarga sederhana dengan tiga orang anak.
Sejak
kecil, mereka berempat selalu melakukan seluruh kegiatan bersama-sama, seperti
tipikal cerita klasik, mereka beranjak dewasa dan harus melanjutkan jalan hidup
masing-masing. Tokoh utama dalam cerita ini, seperti menjadi bom waktu meledak,
ketika ia mulau merasa harus beradaptasi dengan banyak realita dalam hidupnya.
Meg menikah, Amy ke Eropa, dan Beth yang akhirnya meninggal, membawanya jatuh
ke dalam Quarter Life Crisis.
Unfinished bussiness, ambition untuk menjadi seorang penulis dan merubah dunia, dan impian masa kecilnya lainnya yang Jo rasa belum berhasil ia wujudkan membuatnya susah menerima perubahan signifikan secepat itu. Beberapa pengamat film lain juga mengatakan Jo mengalami Methesiopobhia atau Fear of Change yang artinya Jo memiliki ketakutan irasional akan perubahan yang memang seharusnya terjadi dalam kehidupan. Seperti kematian keluarga dan perceraian. Namun tidak menurutku, Jo tidak sampai mengalami mental illness, dia hanya mengalami Quarter Life Crisis dan mampu merubah stressnya menjadi Eustress, sebuah stress yang di coping dengan baik dan menjadikannya lebih baik, karena dari kecemasan akan banyaknya perubahan dalam hidupnya, ia berhasil menemukan dirinya dan akhirnya berdamai dengan keadaan.
Di
masa Louisa May Alcot memang
prespektif mengenai kesetaraan gender masih sangat berjangka. Perempuan tidak
akan pernah memiliki properti mereka sendiri setelah menikah. Perempuan yang
terlalu kuat dianggap membahayakan dan akan merebut kekuasaan laki-laki, bahkan
konstruk sosial mengenai perempuan hanya cocok dengan sesatu yang berhubungan
dengan hal romantis dan percintaan juga masih tergambar jelas di scene dimana
Jo memberikan Novelnya untuk penerbit, dan dengan jelas ia mengatakan bahwa
akhir cerita novel Jo harus dengan tokoh utama wanitanya entah meninggal atau
menikah. Dan buku ini bahkan sampai tahun 2020 masih tetap menjadi referensi
buku cerita berbagai kalangan di institusi pendidikan literasi Amerika, selain
di filmkan, menjadi series dan masuk kedalam cerita bersuara di berbagai
platform, mereka juga membuat museum yang bertepatan dengan rumah asli keluarga
May Alcot, yang juga menjadi lokasi syuting Little Women (2019).
Tetapi
yang paling aku suka dari adaptasi film Little Woman versi 2019 ini adalah screen-writer dan produser yang sejak
awal menitikberatkan pesan dari film ini lebih kepada proses perkembangan karakter
March bersaudara dan proses terbitnya buku Little
Women sendiri, dibandingkan ending tokoh Jo akan menikah atau tidak.
Film
ini tidak hanya menjelaskan kondisi psikologis, politis, dan sosial pada zaman
itu tetapi juga menjelaskan mengenai pentingnya bagi perempuan untuk saling
menghargai dan mendukung satu sama lain dalam hal kebahagiaan seperti apa yang
mereka pilih.
Ada
perempuan seperti Meg, ia ingin menjalani hari-hari penuh syukur bersama orang
yang dicintainya.
Ada
perempuan seperti Beth, menurutnya hidup cukup dengan saling memiliki satu sama
lain dalam komunitas terkecil, yaitu keluarganya.
Ada
perempuan seperti Amy, sejak kecil sudah menyadari bahwa ia adalah perempuan di
era dimana konstruk sosial mengharuskan berbagai tuntutan yang kadang tidak
dapat ia pilih sendiri selain mengikuti dan melakukan sebaik yang ia bisa.
Lalu
ada juga perempuan seperti Jo. Perempuan berkemauan kuat, ambisius, dominan,
yang bisa merubah hal-hal yang bagi sebagian orang dizamannya tidak mungkin
dilakukan, tapi ia bisa. Jo membuktikan, perempuan layak memiliki dan
memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Kesetaraan pendidikan, hak, dan
akses untuk mencapainya.
Tidak
ada yang salah dari menjadi seorang perempuan seperti apa yang kita pilih. Yang
salah adalah ketika perempuan satu dengan lainnya tidak saling mendukung dan malah
menyalahkan. Bukankah harusnya kita sesama perempuan saling menguatkan?
Dan ini beberapa quotes yang aku sukai dari tiap karakter dalam film Little Women.