Manusia memang lucu, sebenarnya perasaan yang ditampakkannya bukan perasaannya. Sebenarnya ia tidak pernah bermaksud menyakiti, tapi terkadang cara penyampaiannya terlihat seperti menyayat hati.
Manusia memang unik, niat hati
orangtua ingin menasehati tapi si anak malah merasa tersakiti
Niat hati si
anak Cuma ingin didengar tapi lagi-lagi orangtua menggunakan cara yang membuat
si anak merasa sedang dianggap susah diajari.
Aku nggak tahu
entah apa emang aku dasaranya seperti ini, atau orangtuaku yang cara
penyampaiannya seperti itu. Setiap kali berdebat mengenai perizinan -bepergian
terutama-, aku selalu merasa dilarang. Iya, aku tahu terkadang atau mungkin
memang selalu ya -hahaha aku intinya gatau ini emang sudah watakku atau gimana
ya aku selalu merasa pingin aja pergi kemanapun- aku mau dan ingin cari
pengalaman baru atau aku memang hobi jalan-jalan dan ngobrol sama orang hehehe.
Jadi ceritanya
sejak kecil aku selalu ingin bisa kemanapun dengan direstui orangtua tentunya
karena dalam islam diajarkan begitu, tapi memang terlampau agak ketat syarat
yang diberikan orangtua ku, pertama harus dengan dosen/guru atau apapun itu
yang jelas harus ada penanggung jawabnya. Kedua dilarang bermalam kecuali ada
proposalnya - ya ndak proposal juga sih- yang pasti acara yang jelas ada
manfaatnya, ketiga apa lagi ya, oiya orangtua selalu berpesan kalau jangan
dilupain sholatnya, karena kalau dalam kondisi bahagia gitu kan manusia sering
lupa diri ya hehehe.
Di usiaku yang
sudah menginjak kepala dua ini pastinya aku ingin mencoba lebih banyak hal baru
dalam hidupku. ya, jelas. Aku pingin
bisa kesana kemari semauku sendiri. Dan setiap berdebat dengan orangtuaku
selalu diakhiri dengan –aku yang- menangis, aku juga gatau kenapa.
Aku sudah
kuliah di jurusan psikologi sekarang, dan aku iya mengerti alasan-alasan
orangtuaku memberlakukan peraturan seketat itu, atas dasar apa, dan iya, aku sudah
paham apa yang dikhawatirkan orangtuaku. Tapi lagi-lagi, aku juga tidak
mengerti kenapa sifatku satu ini sudah diubah. Mungkin karena sudah menjadi
watakku yang ekspresif dan berfikir
dengan spontan yah.
Seperti yang
aku ceritakan diatas mengenai diriku yang mudah menangis. Aku mungkin butuh
waktu buat mencerna semua yang dikatakan oranglain kepadaku.
Sama halnya
seperti kasusku yang terbaru ini, aku hampir jadi kerumah salah satu sahabatku
di bangku kuliah ini, namanya Ay, dan niatnya mau pergi dengan si Ummu yang
tinggal di madura. Awalnya sih, orangtuaku bilang nggak papa berangkat aja. Akhirnya
rencana bisa dilanjutkan batinku.
Aku mencari
nama “UmmekQ” dalam list kontak WhatsApp-ku
untuk menjalankan misi kami. Dan memang selalu begini, ketika aku sangka
semuanya akan berjalan mulus, justeru disitulah letak ketidak beresannya.
Ummu tidak
diberi izin pergi ke rumah Ay. Bukan, bukan ini letak ketidakberesannya.
Tapi mulai
disini.
Oke, aku
memutuskan untuk menghubungi Sukron salah seorang teman kami yang tinggal
didekat rumah Ay. Dan, iya karena sudah memastikan Ay sudah ada dirumah pada hari
senin tanggal 10 Juli itu, aku bersikukuh akan tetap berangkat naik kereta api
meskipun sendiri. Dan, pastinya waktu itu aku berpamitan dengan orangtua ku. Tiba-tiba
orangtua ku tidak memberi izin dengan alasan aku sendirian, tidak ada teman
yang menemani. Oh fine. Pikirku, ada sukron yang nanti akan menemani kok. Ibu ku
sudah to the point kalau tidak setuju
dengan rencanaku ini. Tapi ayahku. Ayahku ini sebenarnyalah yang paling tidak
setuju, tapi ia selalu berputar-putar dahulu. Menyangkut pautkan berbagai macam
hal. Aku sudah faham aku nggak diizinkan so
why you can tell it on point? Dan terus berkata-kata berbagai macam teori
yang sudah sangat aku pahami sendiri.
It hurts me.
Kadang kita
ini Cuma ingin didengar. Sesusah itu ya mendengarkan? Aku tau aku memang salah
masih menyangkal dan sering berdebat dengan orangtuaku padahal aku sudah
berulang kali mengatakan ingin berubah. Ingin menjadi anak yang berbakti. Menjadi
anak yang selalu mengerti dan menjadi anak yang bisa selalu menyenangkan hati. Juga
sudah merasa menjadi anak yang bukan seperti dulu lagi. Nyatanya masih begini. Sepertinya
dalam lima tahun terakhir aku masih belum banyak berubah. Entahlah. Sering self-talk tapi memang self-talk itu butuh ruang sendiri. Tidak
bisa sambil mendengarkan celotehan
dari orang selain didalam kepala kita sendiri.
Manusia memang
egois. Mereka mendengar bukan untuk mengerti, mereka mendengar untuk membalas. Akhirnya
setelah bergejolak dalam diri sambil mendengar sang ayah yang selalu saja
menasehati padahal aku ya sudah mengerti (aku Cuma butuh waktu buat self-talk sebentar, aku tidak sepandai
itu memang dalam mengatur emosi padahal sudah belajar ilmu psikologi)
Ternyata benar
peribahasa itu. Lidah tak bertulang. Memang mengatakan jauh lebih gampang
daripada mempraktekan. Aku memang butuh waktu untuk mencerna, jadi bisa tolong
tinggalkan aku sendiri untuk berpikir sejenak. Butuh waktu sekitar sejam untuk
mencerna semua yang sudah aku perdebatkan dengan ayahku. Dan aku menyesal. Seperti
biasanya. Aku menyesal untuk selalu mengatakan apa yang ada di fikiranku tanpa
memikirkannya dulu ketika sedang cemas.
Iya. Memang Aku
cemas. Aku takut mengecewakan Ay di ulangtahun nya yang ke-20 tahun ini. Aku belum
pernah bisa memberikan apa-apa ke dia. Setidaknya dengan aku silaturahmi dan
bertemu dengan keluarganya, aku bisa menghargai persahabatan kita di kuliah
ini.
Tapi dimana-mana
seorang sahabat pasti bisa mengerti kondisi ini. Dan orangtua memang harus
diatas segalanya. Seperti yang dibilang oleh Bu Khotim, salah seorang dosen
mata kuliah Psikologi Pendidikanku yang selalu berpesan bahwa berbakti pada
kedua orangtua itu hukumnya wajib, dan patuh hanyalah sebagian kecil dari
berbakti.
Untuk Ay,
sahabatku yang sempat tidak akrab disemester tiga karena tragedi waktu itu
heheh. Kamu tau kan aku selalu ingat kamu, maafin aku belum bisa beri apa-apa
buat kamu, tapi setidaknya aku pingin beri dampak postif buat Ay, ada ndak ay? Hehehe.
Kalau ndak ada setidaknya aku bisa buat kamu ketawa kan :p
Terimakasih untuk segala momen baik sampai
momen paling mengejutkan –kamu sampai tercengang ndak bisa teriak, dan aku
sampai nangis di kantor polisi di umurku yang ke-19 tahun- sumpah aku merasa
Ilfeel dengan diriku sendiri Ay kalau ingat-ingat hahaha. Sebagai teman, kalau Sisi
ada salah atau nyebelin kamu harus apa ay? Apa ngediemin? Bukan salah, yang
bener harus kamu sampaikan atau setidaknya ungkapkan dengan bahasa tubuh. Mungkin
dulu sewaktu kita sempat ndak dekat
di semester tiga itu sama seperti teori diatas wkwkwkw.
Kita sama-sama
butuh waktu untuk saling mengenali perasaan kita masing-masing. Untuk saling
mengerti diri sendiri dulu, sampai akhirnya pada semester empat hadirlah satu
anak madura ini yang bisa buat –aku dan kamu- akrab lagi. Wkwkw.
Dan iya,
menerut aku bener juga teori itu. Kalau memang jodoh pasti akan bersama wkwkw. meski
ada peseteruan dulu diantara kita. Bukankah itu yang membuat kita bisa saling
mengenal satu sama lain ya Ay. Mulai sekarang kalau ada masalah itu di hadapi
bukan dihindari. Jadi harus saling memberi kritik dan menyadari. Jangan menyimpulkan
sendiri. Harus saling jalin komunikasi ya rek.
Terimakasih Ummu, kamu sudah menjadi orang
yang mempersatukan kita kembali, sudah menjadi pelengkap Ayu yang sungkanan ( dulu
semoga bisa ngamuk ke kita deh dia, kek pas ngamuk ke adeknya di Video
Psikodiag itulo Mek xp ) sisi yang sok manis padahal ya sering defensif rasionalitas (Red, batin) wkwkw.
Makasi kamu sudah menjadi orang yang apa
adanya dan akhirnya menyadarkanku kalau sebenernya temen yang tulus ada
disamping kita yang bener-bener temen kita itu mereka yang mau menerima kita
apa adanya (nggak judgemental) tapi juga tidak membiarkan kita seperti ‘itu’
terus. Tapi sebaliknya, jadi saling mengingatkan dan menjadi lebih baik bersama
yah.
Terimakasih
loh. Sudah mau mengerti aku dan menjadi salah satu orang yang mengisi cerita
masa mudaku. Ayo semangat tahun depan kita lulus oyyy! Solihah Ku, semangat! :)
[cc]
itu namaku? :D
BalasHapusDuh bilang kanan kok ga ke kanan. Namannya ga yakin.
BalasHapus