In #life #selftalk #traveling #volunteer

Aku Jatuh Hati

Tiang Bendera tegak berdiri bersama Bendera Merah Putih Indonesia di SDN Tondomulo 3, Desa Tondomulo, Kecamatan Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Indonesia
Liburan semester empat-ku memang terbilang panjang, sekitar dua bulan dua minggu. Dan beberapa hal sudah aku lakukan untuk mengisi kekosongan hariku -hari bukan hati loh yah heheh-. Bisa dibilang lebih sering diluar rumah juga, nggak  melulu dirumah nontonin Oppa-Oppa. Sebuah liburan yang terbilang lumayan produktif lah -dibandingkan yang dulu-dulu maksudnya- entah jalan-jalan karena ngetest intelegensi bersama beberapa lembaga psikologi, jalan-jalan di gedung prodi buat bantu akreditasi fakultas tipis-tipis, sampai menghabiskan waktu tiga hari di Bojonegoro bersama orang-orang yang akan aku ceritakan dibawah ini, untuk cerita selengkapnya. silahkan dibaca sampai habis. selamat membaca, semoga terhibur :)



12.00 WIB
Jum’at 25 Agustus 2017
Hari Baik!
Hari jumat saat itu jauh lebih spesial dari hari jumat biasanya, meski memang hari jumat sudah menjadi hari spesial bagi sebagian orang (Red orang muslim) selain karena hari jumat dianggap sebagai hari baik, hari jumat juga menjadi hari dimana orang-orang berbondong-bondong melaksanakan ibadah sholat jum’at.
Hari jumat 25 agustus kemarin, aku berangkat ke Desa Tundomula, Dusun Bunten, Kecamatan Kedungadem di Bojonegoro. Dalam rangka apa kesana? Dalam rangka kemaslahatan umat manusia. hehe. Iya, yang pasti bukan dalam rangka travelling biasa, karena sudah pasti tidak diberi restu dari orang tua seperti yang sudah aku ceritakan di beberapa curhatan cerita di Blogku sebelumnya.
Jadi Aku mengikuti acara rutinan sebuah komunitas 1000 Guru Surabaya. Kenapa ada surabaya nya? Iya karena dibagi domisili-domisili. Singkat cerita 1000guru dibuat oleh Jemi Ngadiono, seseorang yang memiliki hobi travelling dan fotografi, awalnya founder ingin berkontribusi lebih ketika jalan-jalan di destinasi travelling dengan mengajar anak-anak sekitar. Ia merealisasikan dengan membuat sebuah akun di sosial media dengan memberitakan keadaan realita pendidikan di pedalaman pelosok negeri, namun kini berkembang dengan melakukan aksi sosial nyata dengan turun langsung membantu pendidikan anak-anak pedalaman negeri. Dimulai dengan tiga orang teman hingga akhirnya sekarang menjadi sebuah komunitas dengan jumlah total 35 region. Surabaya salah satunya, yang sudah berdiri sejak tiga tahun silam. (selengkapnya bisa cek di https://seribuguru.org)
Meeting Point
Indonesia memang tidak terlepas dari kata molor. Sesuai dugaanku, mungkin kita baru berangkat pukul 14.00 WIB, dan memang kita tidak bisa berangkat sesuai jadwal karena ada beberapa kendala yang salah duanya dari Tim dan Volunteer, jadi sama-sama faktor penyebab telat sih pada dasarnya. Hehehe
Kak Lambert ­–kenapa namanya aku garis miring in, karena namanya bule banget wkwk- yang jadi salah seorang volunteer medis masih ada tugas negara di rumah sakit tempatnya jadi co-as. Selain itu, dari tim seribu guru sendiri juga masih ada beberapa barang logistik yang belum dikirm bapak gosend. Alhasil kita baru meluncur sekitar pukul 16.00 WIB, mundur 4 jam dari yang dijadwalkan.
Tapi perjalanan juga tidak terlalu terasa –bagiku– karena sesungguhnya aku selalu menikmati sebuah perjalanan dan betah mengalaminya juga. Di Truk TNI temen-temen tim dan volunteer TnT15 saling mendekatkan diri dengan bermain sebuah permainan –yang sumpah aku baru pertama kali denger, entah aku terlampau kudet apa gimana ya-  tapi aku memang baru belajar permainan-permainan itu sama mereka.
Jadi ada beberapa permainan logika macam tes TPA buat masuk Universitas gitu, jadi pertanyaan dan jawabannya ada logika tersendiri dan tidak dijawab secara harfiah. Misal nih ya, permainan Bumi Itu Bulat. Apabila ada angka yang ada lingkarannya itu merupakan jumlah hasil pertambahannya. 10+1 jadi ya hasilnya 1. Bulatnya yang diitung. Ada ‘Around The World’, ‘Tepuk nyamuk’, ‘Observasi Lingkungan’, ‘Sastra Matematika’, ‘Dunia Digital’, apa lagi yah, saking banyaknya sampai bingung. Dan intinya waktu pulang ada beberapa permainan yang masih menyisakan sebuah misteri –oke aku mau searching setelah tulisan ini kelar-
Tapi sungguh, waktu mereka semua tertidur di dalam mobil –truk TNI sih lebih tepatnya- aku masih betah ngobrol sama kak Almira yang anak Psikologi Ubaya (mau lulus dan kita doakan bersama-sama supaya segera naik ke pelaminan juga) dan Kak Rani (mahasiswa yang satu jurusan sama Soe Hoe Gie Cuma bedanya dia kuliah di UNAIR, penyuka puisi-puisi karya Sapardi, juga musakalisasi puisi-nya Ira, mau lulus juga, doakan ya) entah kenapa batraiku ga abis-abis. Mungkin hormon oksitosin, serotonin sama adrenalin teralalu tinggi.
Sepanjang perjalanan semua terasa lancar – lancar aja. Sampai tibalah kita di tempat kepala dusun Bunten, dan ini merupakan akses terakhir sebelum kita memulai memasuki another side of the world, di dramatisir biar seru! Hahaha. Dan jam sudah menunjukkan pukul 23.00, dan kita masih istirahat agak lama karena –yang aku juga kurang tahu kenapa- sepertinya menunggu kepala dusunnya.
Yasudah daripada nganggur. Duduklah aku dengan kakak-kakak volunteer lainnya, menatap bintang-bintang yang sangat nampak 3D kerlap kerlipnya, itu terjadi karena sedikitnya polusi udara disini. Kita sharing-sharing soal sistem pendidikan di masing-masing instansi atau pengalam tempat kerja kakak-kakak yang sudah menjadi pengara berlisensi resmi alias Guru dengan gelar S.Pd. Selama kurang lebih setengah jam istirahat, kita bisa lanjut perjalanan.
Selamat datang di wahana terheboh 2017
 Ditemani dentuman suara mesin khas truk – truk TNI, tumbuhan-tumbuhan liar yang melambai-lambai minta bersalaman lewat jendela dan salju-salju yang putih yang sayangnya salju kali ini bukan dari langit melainkan dari tanah dan bebatuan kapur yang menyatu dan beterbangan di antara kita, akibat gesekan kuat dari ban truk dan tanah dan lampu putih remang-remang yang menyilaukan mata. Ini adalah perjalanan paling seru selama 20 tahun hidupku, ya mungkin memang karena aku belum pernah travelling kemana-mana juga ya. hehe Jadi agak norak sih emang.
Jadi kami (aku dan temen-temen 1000guru lainnya lah pastinya) berada di tengah-tengah hutan selama kurang lebih selama tiga jam.
Dikoyak, digoncang, dilempar, diombang-ambingkan oleh alam, di tengah malam sabtu yang bertabur bintang (sayang ga bisa lihat bintangnya soalnya truknya ga ada jendela kebuka kayak di mobil-mobil ala film hollywood itu sih :’)
Di kondisi seperti ini (bisa dibayangkan sendiri kan ya, gimana serunya naik wahana semacam ini selama tiga jam di tengah hutan pula) manusia memang memiliki berbagai cara untuk merespon stimulus yang diterimanya. Ada salah seorang teman saya, dia volunteer dari Poltekes (politeknik kesehatan), Tiwi Namanya. Dia adalah perempuan paling tangguh selama perjalanan 7 jam terakhir. Kenapa paling tangguh? Dia sanggup tidur dengan pulas diatas bangku besinya dengan kondisi terguncang seperti itu. Bisa dibayangkan, bagaimana sistem tubuhnya menjaganya agar tidak terganggu oleh distraksi apapun yang diberikan oleh lingkungan kepadanya. Hehehehe. Ka Tiwi saya salut dengan kamu! Wkwkw
Sementara saya dan salah seorang Volunteer cantik asal Universitas Ciputra, kak Aida namanya, sibuk memantau apa yang sedang terjadi didepan, lewat jendela kecil dibalik kursi pengemudi. Karena dia jurusan arsitektur interior, yang pasti punya kecerdasan spasial yang bagus, dan akhirnya sikap wartawanku muncul, “Da kira-kira ini berapa meter ya lebar jalanannya, kok kayaknya truk nya maksa press banget lewat jalanannya?”,”ini mungkin sekitar 3 meter, 2,5 meter lah paling kecil,”.
“Jadi bener deh, jalanannya sempit banget, keren dah bapak TNI nya yang nyupir bisa lewat jalan sekecil ini,” batinku. Saking serunya jalanan dengan polisi tidur alami dari bebatuan kapur -yang tidak sempat ku hitung berapa karena saking banyak goncangan yang diciptakannya- mampu menggeser beberapa barang-barang didalam truk, untungnya ga sampe nge-geser otak gitu ya. Tempat duduk ditengah-tengah juga sudah ngga karuan bentuknya dikarena tergeserkan oleh guncangan-guncangan hidup –bukan hidup sih, guncangan karena batu kapur tadi maksudnya- dan manusia-manusia berbehel sepertiku juga terkena imbasnya. Jadi permukaan dalam mulutku dengan na’asnya harus beradu dengan besi-besi asing yang menempel di gigiku. oleh-olehnya adalah sariawan. Nice. Setelah perjalanan penuh intrik ditengah hutan malam-malam. Akhirnya kami sampai juga, tapi belum sampai lokasi.
12.35 WIB     
Sabtu,  26 Agustus 2017
Penantian di bawah MilkyWay Bojonegoro
“Akhirnya aku keluar juga dari wahana truk TNI yang super seru itu,” kataku lega dalam hati. Iya, kami sudah –hampir- tiba di lokasi sekolah. Tapi harus jalan 1000langkah anlene dahulu. Yang membuat perjalanan ini semakin indah adalah, kita bisa melihat banyak sekali bintang dilangit dan dengan sangat jelas. Pemandangan yang jarang ada di Surabaya. Saat aku tanya perkiraan jarak untuk berjalan, Kak Rani bilang kalau kami harus jalan sekitar 2 Km. Tidak seberapa jauh juga, kalkulasi dalam otakku saat itu. Dan dengan semangat aku menjadi orang pertama yang mengikuti mas-mas nya yang memandu dibarengi Kak Rani. Mungkin terlampau, entah semangat atau pingin cepet-cepet istirahat. aku jatuh terpeleset ketika melewati tanah bercampur serbuk kapur. Itupun dua kali. Aku mencoba menutupi rasa maluku dengan bilang ke Kak Rani kalau aku memang sudah sering terpeleset begini semenjak kecil, jadi emang udah biasa –tapi emang asli dari dulu sering banget kepeleset, jatuh dan sejenisnya sih, mungkin karena sifat ceroboh dan nggak sabaranku–
Dengan tetap percaya diri (PD), aku melangkah maju tegap melanjutkan rangkaian pengalaman baru yang selalu kunanti – nanti sejak kecil –menjelajahi tempat baru dan belajar darinya-.
Sejak kecil emang sudah punya banyak ekpetasi besar di kehidupan masa depanku. Dasar sisi si tukang ngayal, hehehe. Salah satu kutipan dari novel favoritku, Paper Town, juga pernah membahas masalah ini, ”Membayangkan memang tak sempurna. Namun membayangkan menjadi orang lain, atau dunia menjadi sesuatu yang lain, adalah satu-satunya cara untuk memahami,” (Paper towns, pg.344). jadi aku semakin hobi berangan-angan deh ya, selama masih gratis, dan itu juga jadi penyemangat tersendiri J
Dan yey jam 01.00 WIB aku dan Kak Rani orang pertama yang sampai di rumah pak kepala desa. Eheheh. Makan, cuci tangan, cuci kaki, dan cuci wajah, adalah prosesi sakral sebelum tidur yang mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Dan semua sudah aku lakukan sebelum tidur. Alhasil nyenyaklah tidur singkatku di malam pertama di dalam ruang kelas SDN Tundomulo.
04.30 WIB
Pagi Hari yang kelewat Cerah
Alarm mulai bersautan dibalik tas satu ke tas lainnya dan empunya ternyata masih pada terlelap nyaman diatas tikar, dibalik jaket masing-masing. Termasuk aku, yang sudah dibangunkan alarm selama kurang lebih setengah jam yang akhirnya sadar juga kalau sudah saatnya hidup kembali.
Tau lirik lagu anak-anak “bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi?”
Oke, kali ini lagu itu tidak sesuai realita. Ya, meskipun dirumah juga aku ga langsung mandi sih. Tapi intinya, disana air memang agak susah, jam air bisa keluar dari kran cuma sembilan jam, dari jam 7 sampai jam 4 sore. Itupun alirannya kecil. Sempet mikir juga, padahal di gunung tapi kok susah air ya. Terus tersadar lagi, ohiya sih ini kan gunung kapur ya bukan gunung biasya.
Pada pukul enam pagi sebagian besar dari kami sudah ada di dalam kelas buat besih-bersih diri dan pindah basecame, dari kelas ke ruang guru.
Sebelum itu pastinya, kita sudah isi energi dulu lah ya. Beda sama kemarin, hari ini makan kita langsung pakai daun pisang, udah kerasa pedesaannya banget kan. Mungkin selain hemat piring cucian, juga meminimalisir makanan sisa, soalnya kalau ga habis bisa di geser gitu ya, terus dimakan sama kakak-kakak yang cowok.
Pagi itu ada yang seru juga selain selembar daun pisang, yaitu Adik Tya –salah satu murid SD Tundomulo- yang awalnya ngaku kelas tiga sekolah dasar, padahal ya masih kelas satu. Dasar anak-anak selalu pingin ditambah-tambahin. Hehe
Jadi ceritanya dia datangnya sebelum jam bel berbunyi dan ikut makan bareng teman-teman Segur (red 1000 guru), iya biasa aja ya padahal cuma makan bareng. Nah, bukan disitu serunya. Jadi menu makan kami disini memang back to nature banget. Banyak sayur-sayuran baru yang aku coba disini, dan semuanya enak. Sungguh, ini bukan pencitraan. Ok, kembali ke Tya, jadi pas lagi makan, dia makan sama Kak Almira. Si Tya ini ga seberapa suka lauk pauk daging. Tidak seperti kebanyakan anak-anak kecil yang susah makan sayur, justeru dia suka makan timun, ditambah sambal sebagai penyedap rasa, meski di akhir harus ditutup dengan cerita kepedesan juga sih, hehehe. Lucunya lagi dia bilang timun dengan sebutan kriuk kriuk yang biasanya kita anggap itu sebagai kerupuk. Bagi Tya itu maksudnya minta timun.
Ternyata Indonesia belum Merdeka
Hari ini rundown dimulai pukul delapan dan diawali dengan apel pagi yang dipimpin langsung oleh bapak kepala sekolah SDN Tondomulo 3. Ia menertibkan barisan para murid dengan bahasa ngalor dan ngidul (red, Kanan dan kiri). Pantas saja ketika kakak-kakak menginstruksikan arah dengan bahasa kanan kiri, pada kebingungan semua.
Lalu acara dilanjut dengan cara mencuci tangan yang benar. Yang dipandu oleh ibu - ibu dokter cantik Kak Ega dan Kak Ani di halaman sekolah kala itu. Adik-adik semangat mengikutinya. Dan masih berlanjut dengan agenda sikat gigi pagi. Dan Bu Dokter Gigi  Ummu kali ini yang memberi intruksi. Setelah semua acara di pagi hari yang cerah ini selesai -kira-kira sampai jam sepuluh siang- barulah volunteer yang telah dibagi menjadi tim-tim mulai melaksanakan tugasnya.
Aku satu tim dengan Kak Ana. Sekilas cerita mengenai Kak Ana ya, ia sudah menjadi guru di SMP Al-Falah Tropodo selama 14 tahun. sosoknya yang keibuan namun penuh rasa semangat sempat membuatku tidak menyangka usianya kini sudah menginjak tiga puluh delapan tahun, ia juga sudah memiliki satu orang anak yang sekarang duduk dibangku kelas tiga smp. Aku merasa sangat beruntung menjadi partnernya Kak Anna, selain ia orang yang sudah bisa menguasai lingkungan, pembawaan ngemong nya juga dapet.
Mungkin sekitar jam setengah sepuluh pagi kami baru memasuki sebuah ruang kelas dengan tulisan “SMP PGRI Tondomulo”. Sebuah kelas sederhana dengan dinding yang terbuat dari gedeg (bambu yang di anyam) berwarna hijau tosca, didalamnya hanya berisikan 6 bangku dan 6 pasang kursi. Dengan satu buah jendela tanpa kelambu, Cahaya-cahaya siang Bojonegoro berdesakan ingin masuk ke dalam ruang kelas kaca buram jendela dan celah dinding dinding gedeg.
Jujur, sejak kecil aku jarang sekali travelling –mungkin bisa dibilang tidak pernah- kalaupun iya, aku selalu cuma sekedar pergi ke tempat-tempat wisata mainstream bersama keluarga. Dan ini adalah pengalam pertamaku mengajar di sekolah pedalaman begini. Di tempat yang biasanya Cuma aku lihat lewat layar kaca.
Ternyata sekolah macam laksar pelangi itu ada di tanah jawa, pikirku.
Dulu ketika menjadi guru anak berkebutuhan khusus juga rata-rata dari keluarga berada. Ya, mungkin benar, pendidikan yang tidak merata masih menjadi PR besar negara ini. Indonesia memang terlalu besar untuk diurus atau terlalu banyak yang kurang peduli dengan lingkungannya? Entahlah. Sejauh ini aku mungkin masih terlalu dini kalau aku yang menyimpulkan semuanya.
Masih banyak hal yang belum aku ketahui, bahkan tentang diriku sendiri. Apalagi tentang Indonesia, sebuah negara yang sebegini besarnya.
Materi yang akan diberikan kepada adik-adik bertemakan ‘keanekaragaman alam’ dan ‘Kemerdekaan Indonesia’. Memang #TnT15 kali ini mengusung tema kemerdekaan karena masih berada di bulan agustus.
Untuk tema keanekaragaman hayati dipilih karena Kabupaten Bojonegoro yang terkenal akan hasil minyak buminya yang berlimpah. Tapi kenyataan memang kadang tidak adil, meski kabupaten ini kaya hasil minyaknya, buktinya anak-anak di Desa Tondomulo masih belum bisa mendapat pendidikan yang layak.
Proses belajar dimulai ketika Kak Ana menyapa mereka dengan ceria. “Assalamualaikum adek-adek,” sapanya. Setelah menyapa Kak Ana dan aku memperkenalkan diri dan bertanya nama mereka. Oh iya. Bukan cuma nama tapi juga cita-cita mereka. Kami mengajar 4 orang murid yang hebat dengan cita-cita dua guru dan dua lainnya bercita-cita menjadi Polwan (polisi wanita).
Perkenalkan Murid-Murid Kami yang Hebat
Murid pertama bernama, Anis. Dia gadis dengan tubuh yang proporsional, kulit kuning langsat dengan seragam dan kerudung coklat, yang membuatnya telihat seamkin manis dan sedap dipandang. Perempuan yang lahir dari keluarga petani ini memiliki cita-cita menjadi seorang polwan. Dia termasuk murid yang sedikit pemalu.
Murid kedua kami memperkenalkan diri sebagai Novi. Kulit sawo matang, gigi putih dan senyum ikhlas terulas dari bibirnya, cerah menyemangati kami kala itu. Dia adalah murid yang terlihat paling mengikuti tren kekinian. Selain menjadi satu-satunya murid yang sudah mempunyai handphone. Novi sendiri juga sempat menggodaku dengan memanggil Mbak Prili, sepertinya dia mengikuti serial ‘Boy’ di televisi. Tak hanya itu, aku sering juga memperingatinya untuk fokus pada materi dan meletakkan hpnya. Sama seperti Anis, Novi juga lahir dari pasangan seorang petani di Desa Tondomulo dengan cita – cita menjadi seorang polwan.
Murid ketiga kami adalah laki-laki satu-satunya di kelas delapan. Aris namanya. Mungkin karena laki-laki satu-satunya, dia menjadi murid yang paling pendiam. Tingginya yang masih kalah dengan teman-teman perempuan seusianya, menandakan dia belum memasuki masa pubertas. Rumah Aris tidak terlalu jauh dari sekolah, cukup berjalan sekitar 10 menit di jalan setapak di atas sekolah. Selain itu, ia juga dari keluarga petani dan tinggal bersama orangtua dan neneknya, cita-cita Aris berbeda dengan dua teman perempuan lainnya, ia ingin menjadi seorang guru.
Murid terakhir ini merupakan murid perempuan dengan kulit sawo matang dan tinggi badan kira-kira 150cm. Dan memiliki nama panjang yang paling pendek, Pera. Karena Saat aku tanya siapa nama panjangnya, ”Cuma Pera, kak,” jawabnya. Ia terlihat sangat berwibawa dan sopan. Saat ditanya nama saja, ia menyebutkan nama dengan diakhiri seulas senyuman manis dengan tidak memperlihatkan giginya. Ia juga memiliki seorang adik yang  masih SD, dan sekolah di SDN Tondomulo 3 juga. Pera bercita-cita menjadi seorang guru. Dan sama seperti anak-anak lainnya, orangtua Pera bekerja sebagai petani.
Setelah perkenalan kami di dalam ruang kelas, aku dan Mbak Ana segera  mengajak mereka keluar kelas. Karena tidak kondusif kalau satu ruang ada dua jenjang pendidikan. Iya. Kelas delapan memang biasanya berbagi ruang kelas dengan teman-teman kelas sembilan.
Kak Nanda, salah satu tim yang juga sebagai ketua panitia dengan sedikit terburu-buru menyiapkan tikar sederhana untuk sarana pembelajaran kelas kami di depan ruang kelas tadi, oiya papan tulis dan kapur juga diambilnya yang entah dari mana.
Dan pembelajaran dimulai dari materi milik Kak Ana. Ia menyampaikan materi keanekaragaman alam indonesia dengan memberikan beberapa foto hewan-hewan yang ada di Indonesia. Sebelumnya, Kak Ana juga memberi beberapa pertanyaan untuk memancing keaktifan mereka. Ada banyak hal diluar perkiraanku. Ternyata masih banyak hal yang belum mereka pelajari. Ibukota propinsi jawa timur misalnya, ketika ditanyai oleh Kak Ana mereka tidak bisa menjawab. Ketika menunjukkan pulau-pulau di Indonesia pun, mereka juga tidak ada yang tahu. Akhirnya kelas dimulai dengan mengenalkan pulau-pulau di Indonesia dahulu lalu dilanjutkan dengan mengenalkan hewan-hewan yang menjadi khas masing-masing daerah. Lagi-lagi hal ini terjadi diluar ekpetasiku, ternyata hewan-hewan juga banyak yang belum mereka kenali. Orang utan, burung cenderawasih, harimau sumatera dan beberapa hewan dan peta Indonesia yang dibawa kak Ana lewat foto itu membuat mereka akhirnya mengenali beberapa kehidupan diluar desa mereka.
Mungkin teori time flies when u enjoy it itu benar. Tidak terasa kakak-kakak panitia mengingatkan waktu kurang 45 menit lagi sebelum jam istirahat.
Akhirnya terjadilah perpindahan materi keanekaragaman alam indonesia dengan materiku, Kemerdekaan Indonesia. Karena waktu untuk membuat materi ini cukup lama (harus menempel dan mencocokan dulu) maka mulailah saya dengan segala kertas-kertas yang ada di tas mengajar khusus.
 Aku memulainya dengan pertanyaan pertama. Apasih proklamasi itu?. Mata mereka saling bertemu, tapi tidak ada yang berani menatap mataku. Mereka hanya menunduk. Lalu aku sadar, mereka baru mendengar kata proklamasi untuk pertama kalinya.
Aku dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman mulai cemas dan kewalahan.
Aku memang sengaja mengambil materi ‘Sejarah Proklamasi Kemerderkaan Indonesia’ karena sebelumnya aku melihat kurikulum anak tingkat SMP kelas delapan sudah belajar sampai mana. Dan iya, itu adalah kurikulum yang ditetapkan pemerintah untuk anak-anak SMP dengan fasilitas sekolah serba lengkap. Bagaimana bisa aku menyamakan kurikulum yang aku cari di internet dengan kenyataan langsung di desa pedalaman seperti SMP PGRI Tondomulo.
 Aku memang kurang pertimbangan, harusnya kan sudah tahu kalau pendidikan di kota dan didesa tidak bisa disamakan. Lagi-lagi, kurikulum dari pemerintah ini hanya sekedar formalitas bagi pendidikan-pendidikan di daerah yang serba terbatas.
Pertanyaan yang paling dasar seperti kapan hari kemerdekaan Indonesia saja mereka tidak ada yang bisa menjawab. Sungguh, itu semua benar. Indonesiaku nyatanya masih belum merdeka, setidak-tidaknya di mata mereka.
Lihat saja, anak-anak disini tidak tahu apa itu proklamasi, siapa presiden pertama Republik Indonesia, dan ada apa di tanggal 17 Agustus 1945.
Senangnya jadi partner Kak Ana, ia yang selalu bertindak yang dengan sigap ketika tau kecemasanku waktu itu. Entah membantu intermeso ngajak mereka ngobrol bahasa jawa, sampai tiba-tiba mengeluarkan jajanan buat reward mereka.
Sempat agak pesimis, YaAllah sepertinya terlalu jauh materi ini buat mereka. Tapi mau ga mau materi ini tetap berlanjut. Maka mulailah aku bercerita kronologis proklamasi kemerdekaan Indonesia. Lalu tugas mereka mengurutkan dan menempelkannya rentetat kronologisnya di kertas manila. Sempat kebingungan juga waktu mencocokkan antara tulisan dan gambar, jadi kak Ana dengan sangat-sangat perhatiannya membantu mereka menemukan potongan-potongan cerita.
Aku meminta mereka membaca dengan keras agar semua bisa mendengar ceritanya. Meski awalnya mereka terlihat kurang semangat, tapi setelah diberi reward oreo dan permen milkita setelah selesai membaca bagiannya, mereka langsung berebut menjadi seorang pembaca cerita. Hehehehe.
Tapi terlepas dari semua itu, mereka memang memiliki semangat belajar yang tinggi. Terbukti dari usaha mereka buat membaca satu demi satu kalimat yang tertulis diatas kertas dan dengan bahasa yang –mungkin begitu- asing ditelinga mereka –karena bahasanya wikipedia sekali-.
Sebagian masih membaca dengan terbata-bata dan membaca dengan pelan.
Ohiya, aku mau cerita mengenai Pera, perempuan yang paling tinggi itu. Dia sangat jenius, hampir setiap diberi pertanyaan olehku atau oleh Kak Ana dia adalah orang pertama yang menjawab. Dia juga selalu yang ter-semangat ketika diminta membacac cerita meski belum ada rewardnya ketika di awal-awal itu.  
Sesi terakhir dalam proses belajar ini adalah heart to heart. Sesi ini semacam sesi wawancara dan observasi ya kalau di kuliahku. hehe. Ya semacam PDKTnya gitu. Kita bertanya-tanya mengenai cita-cita mereka, kenapa mereka memilih cita-cita itu, dan memotivasi mereka supaya semangat belajar terus.
 Banyak hal yang aku dapat disini. Salah satunya, aku jadi tahu ternyata rata-rata dari mereka adalah keluarga petani yang setiap harinya harus menempuh jarak beberapa meter dengan berjalan kaki di bukit-bukit kapur dengan berbagai medan, belum lagi kalau musim hujan. Aktifitas mereka sehari-hari di rumah selain bermain tentunya membantu orangtua, Aris salah satunya. Tugasnya dirumah adalah mencari kayu.
 Akses air disanapun sangat susah, dan sudah dipastikan tugas menimba air merupakan kegiatan sehari-hari anak-anak di Desa ini.
Banyak hal yang aku pelajari dari tempat ini, desa ini, murid-murid disini dan masyarakatnya juga.
Setelah sesi belajar mengajar sudah selesai, lanjutlah sesi minum susu bersama dan menempelkan bintang harapan (bufalo berbentuk bintang yang sudah diberi nama dan cita-cita).
Semua anak berkumpul di kelas yang sudah diberi tempat untuk menempel bintang mereka masing-masing. Riuh keceriaan terdengar dari segala penjuru ruang dan waktu. Aku yang tidak menjadi anak-anak saja bisa merasakan euforia mereka.
Betapa bahagianya melihat senyuman senyuman terjejer rapi di depan kelas. Mereka  diminta maju kedepan, memberi salam, memperkenalkan diri, dan memprokalmirkan cita-cita mereka. Diselingi canda tawa dari kakak-kakak volunteer dan tim yang meneriaki kata ‘Aamiin’ setiap kali mereka selesai mengatakan cita-cita mereka. Sungguh pemandangan terindah yang pernah aku selama duapuluh tahun terakhir.
Untungnya pemandangan indahku ini tidak segera berakhir, karena pada pukul dua siang nanti mereka akan kembali untuk mengikuti lomba-lomba Agustusan yang sudah disiapkan kakak-kakak. Hehehe.
Sewaktu mereka pulang kerumah masing-masing. Aku, dan beberapa kakak-kakak mengantarkan sembako ke rumah beberapa siswa yang salah satunya adalah muridku sendiri, Aris. Jadi, sewaktu itu Aris yang langsung menuntun kami menuju rumahnya. Saat sampai aku cuma bisa bertemu dengan neneknya, sepertinya orangtua Aris masih ada di sawah.
Baby Shark ala Seribu Guru Surabaya
Adik-adik ini terlewat semangat. Mereka sudah ada di sekolah setengah jam sebelum acara dimulai. Dan perlombaan bisa dimulai ketika semua murid sudah berkumpul di halaman sekolah. Aku lupa ada berapa lomba, sepertinya tiga. Lomba pertama memindahkan karet dengan sedotan, lomba kedua lomba menggiring bola dengan kayu yang diikatkan ke pinggang lima anak (ya bisa dibayangin kan yha), terus yang paling seru adalah lomba terakhir, lomba rebutan kursi sambil nyanyi, hehehe.
Disini ada kisah mencengangkan, kisah seorang anak SD yang menyanyi Indonesia Raya diiringi tangan dengan gerakan baby shark, usut punya usut ternyata dia habis diajari ngedance sambil menyanyi lagu baby shark yang sedang viral itu sama kakak-kakak Segur. Sampai kebawa gitu pas nyanyi lagu lainnya ya. Sungguh, ekspresi wajah polosnya sambil menjentikan ibu jari dan telunjuk ala-ala baby shark, wajah konsentrasinya buat fokus ke kursi, ditambah semangat menyanyi lagu Indonesia Raya-nya sungguh memesona semua mata.
Pertandingan Paling Kompetitif Sepanjang Masa
Jam sudah menunjukkan pukul 15:30 WIB. Beberapa warga desa mulai berdatangan untuk memeriksa-kan kesehatan mereka di fasilitas kesehatan gratis yang menjadi agenda terakhir Segur Surabaya. Anak-anak mulai berlarian kesana-kemari, sibuk dengan permainan mereka sendiri. Sebagian ada yang pulang, sebagian lagi ada yang memilih menetap.
Lagi-lagi aku dibuat terpukau oleh mereka. Melihat beberapa anak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang sedang asik bermain bola, akhirnya aku dan Kak Aida memilih bergabung bersama mereka. Aku satu tim sama Kak Aida dan melawan mereka adek-adek PAUD ku yang unyu. Ya jelaslah, menang terus aku sama Kak Aida. Hehe. Namun semua berubah saat berdatangan beberapa anak dari tingkat SD yang menantang aku dan Kak Aida, padahal Kak Almira sudah bergabung dengan tim perempuan tangguh kami.
Tapi skill dan usia emang tidak bisa membohongi, lalu entah bagaimana ceritanya kakak-kakak seribu guru yang pada jago-jago bermain bola -yang awalnya cuma bagian tim penggembira dan dokumentasi- menjadi bagian dari tim ‘mereka’. Dan terjadilah, permainan bola yang awalnya cuma buat happy happy menggelabui anak-anak PAUD, berubah menjadi kompetisi besar bak sedang jadi anggota timnas yang membawa nama baik Negara Indonesia.
Yang jelas aku, Kak Almira dan Kak Aida mengaku kalah. Daripada badan pada njarem semua karena ngga pernah olahraga, yakan?
Hari semakin sore, tim medis sudah mulai menyalakan senter dan penerangan tambahan lainnya buat proses check up warga desa yang masih panjang. Karena –sepertinya- lampunya belum bisa dinyalakan.
Malam Minggu bersama Mereka
Hari semakin sore dan segala rangkaian kegiatan hari ini diakhiri dengan baik.
Menjadi malam minggu terbaik bahkan.
Kenapa?
Pertama karena malam minggunya nggak dirumah,
kedua karena malam minggunya berfaedah,
ketiga karena bersama orang-orang tercinta.
Malam minggu kala itu, diagendakan acara heart to heart, tapi bukan heart to heartnya adek-adek yah. Ini heart to heartnya sesama tim dan volunteer #TnT15. Atau yang tertulis di jadwal adalah sharing session.
Ada beberapa hal yang aku rasa bukan aku saja yang merasakan hal itu, yang ternyata pengajar yang lain juga begitu. Salah satunya, masalah transfer materi ke adek-adek.
 Karena diawal sudah aku cerita, bahwa aku merasa mereka kurang dapat memberikan apa yang mau sampaikan. Yang ternyata terkendala oleh ‘bahasa’. Sebagai mahasiswi yang belajar ilmu psikologi dan termasuk rajin belajar juga -gila pede banget ini hehe- ternyata belajar di buku sama di terjun lapangan itu proses belajar yang sangat beda jauh.
Saat di Sharing session, malam minggu bersama Seribu Guru, semua mengatakan ada beberapa hal diluar dugaan mereka. Seperti kasus adik yang bernama Yanto. Jadi, dia ini ternyata baru bisa menulis namanya saja, padahal sudah kelas empat. Ada cerita lain lagi dari kelas dua SD, aku lupa namanya siapa, tapi Si Adek ini di pegang sama Kak Siana dan Kak Lucy. Sejak awal dia memang sudah terlihat berbeda dan guru-guru sudah menjelaskan kepada kami bahwa dia adalah murid dengan kebutuhan khusus. Katanya, karena terlalu banyak mengonsumsi obat, yang aku sendiri juga kurang tau obat semacam apa, apa vitamin, obat batuk, obat tidur atau apa. Yang jelas Si Adek ini jadi agak dalam berkomunikasi.
Bicara soal komunikasi. Salah satu tantangan proses belajar dan mengajar hari ini adalah komunikasi. Hal ini sudah dijelaskan oleh Mbak Ana , mengenai bagaimana caranya memberikan informasi menggunakan bahasa mereka, bahasa yang sesuai tingkat pendidikan mereka.
Dan iya, Jujur, aku sebagai mahasiswi yang sedang belajar ilmu psikologi di bangku kuliah, merasa selama ini apa yang aku pelajari di dalam kelas cuma sebatas ‘tahu’, sebenarnya aku belum ‘mengerti’ apapun. Memang benar kata ayahku, belajar itu tidak hanya sebatas dua dimensi, harus tiga dimensi. Dan dengan turun langsung ke masalah adalah  proses pembelajaran terbaik. Bukan sekedar teori dari textbook.
Walaupun aku sudah lulus matakuliah Psikologi Pendidikan, Psikologi Lintas Budaya, Psikologi Kepribadian, Dan Psikologi Perkembangan, lantas aku bisa menghadapi semua yang ada di hadapanku saat itu.
Bahkan untuk menyederhanakan bahasa agar bisa dimengerti adik-adik saja, aku belum bisa. Bahasa jawa halus apalagi, padahal tinggal di jawa selama duapuluh tahun.
Sungguh semua ini menyadarkanku betapa pentingnya bahasa, kepedulian, dan rasa ingin tahu untuk selalu diasah. Dunia memang begitu, ia tidak akan ada habisnya untuk dipelajari, dan tempat belajar yang real itu bukan diatas kertas tapi di lapangan. Langsung, live.
Kemana saja ilmu pengetahuan yang aku pelajari selama 12 tahun terakhir, eh 14 sih, ditambah dua tahun kuliah:’)
Banyak hal yang tersesali salah satubya karena dulu tidak pernah sungguh-sungguh mempelajari bahasa jawa. Ternyata bahasa menjadi hal yang sangat penting buat menyampaikan informasi -iyalah si, plis deh ya- tapi dulu aku ngga sampai sejauh itu pemikirannya.
Padahal ini juga sudah pernah dibahas di kelas Psikologi Lintas Budaya, kalau kita mau memberi informasi cara pertama ya lewat bahasa. Dan komunikasiku sama adek-adek, aku rasa kurang, karena kurang bonding. Kenapa? Karena aku masih menggunakan bahasa indonesia yang aku biasa pakai sehari-hari. Dan itu membuat gep antara aku dengan mereka, jadi –mungkin- mereka merasa berbeda denganku. Mungkin kalau aku pakai bahasa jawa seperti kepala sekolahnya tadi –waktu apel pagi-  materi yang aku kasih bisa jadi lebih lebih ngena gitu.
Meskipun banyak kekurangan yang aku sadari di hari Sabtu itu, aku juga dapat banyak ilmu baru. Jadi belajar banyak hal baru. Jadi lebih mengerti duniaku yang baru.
Opini Anak Indonesia Tentang Negaranya
Indonesia yang katanya sudah merdeka 72 tahun ini, masih punya banyak PR. Bahkan, kata temen-temen juga, mereka –warga desa- baru tahu kalau bendera indonesia itu Merah-Putih.
Berkaca dari seragam sekolah yang kemeja atasnya putih dan bawahannya merah. Mereka mengira bendera indonesia ini putih merah.
Ini masih di tanah jawa padahal. Dan disini, listrik dan air menjadi hal yang langka, untungnya pemerintah sudah menyumbang listrik dengan tenaga surya, jadi bisa dibilang lumayan lah. Untuk air, masih kurang karena baru bisa diakses pada waktu tujuh pagi sampai empat sore saja.
Untuk pendidikan juga sudah lumayan, meski guru-guru disini terpaksa mengarang borang agar memenuhi standart pendidikan pemerintah. Setidak-tidaknya para murid sudah mau berangkat ke sekolah dibanding dulu, dimana guru masih harus menjemput ke rumah para murid.
Ternyata selama Indonesia belum merdeka sepenuhnya. Dari segi pendidikan sudah terlihat jelas. Pendidikan layak memang hanya untuk warga kota. Warga di Desa Tundomulo seperti ini hanya bisa mengupayakan sebisa mereka, agar anak-anak tetap bisa semangat berangkat sekolah. Agar anak-anak sadar juga betapa pentingnya pendidikan untuk mereka. Dan dari semua sisi ‘begitu’, tentunya Indonesia juga masih punya banyak sisi positif. Terbukti dengan semakin banyak komunitas – komunitas peduli sesama yang dibangun langsung oleh anak-anak generasi milenial, seperti Seribu Guru ini. Ternyata masih banyak yang mau peduli terhadap generasi-generasi selanjutnya di negara Indonesia.
Tuhan memang maha adil, kita semua hidup diciptakan untuk saling mengambil pengalaman satu sama lain, saling mempelajari satu sama lain, dan saling berguna bagi satu sama lain.
Dari semua cerita yang sudah aku ceritakan, ada beberapa hal yang sangat menyentuh aku pribadi, sebagai orang yang terlahir di tengah-tengah kota, fasilitas lengkap, dunia serasa sedekat nadi, dan akses informasi yang begitu cepatnya, yaitu mereka masih bisa bersyukur dengan segala keterbatasan yang mereka miliki.
Bahkan adik-adik didikku -yang aku rasa, aku tidak optimal memberi materi pada mereka- menuliskan perasaan berterima kasihnya karena sudah diajari dan diberi ilmu bermanfaat, sudah diajak bermain, dan mendoakan supaya aku sehat selalu.
Senang sekali rasanya, ternyata proses belajar yang kami sediakan untuk adik-adik tadi dianggap bermain, yang artinya dia menikmatinya, seperti sedang bermain, dan memang seharusnya proses belajar yang baik itu ketika sedang belajar tapi terasa seperti bermain. Ini jelas bukan kataku loh, hehehe. Kata teori Psikologi yang aku lupa materi apa juga katanya bapak fisika ter-hitz sepanjang masa, Einstein.
Minggu, 27 Agustus 2017
Demi Masa, Demi Waktu
Dan sampailah kita dipenghujung serangkaian cerita indah #TnT15. Hari itu acaranya sungguh Cuma menghabiskan waktu bersama.
Bersama angin, bersama awan, bersama mentari pagi dan dinginnya cuaca pagi, bersama dia -eh bersama mereka maksudnya-, sampai bersama gemericik air yang semakin menipis.
Alhasil selama tiga hari, aku cuma sempat mandi sekali, untung dalam islam itu ada sholat lima waktu yang bisa membuat wajah tetap cerah bersinar. Kami mulai  berpamitan dengan ibu kepala desa, yang selama tiga terakhir sudah menyiapkan makanan yang begitu enak untuk kami santap, bener sambelnya enak cuma pedes banget -karena aku emang ga suka pedes sih-, dengan nasi jagungnya yang gurih, kerupuk khas yang tiada duanya, dan yang paling aku suka dengan makanan disini adalah kita makan langsung dari daun pisang.
Selain itu juga makanannya selalu pakai sayur, sangat sehat memang hidup dalam desa.
Berpamitan dengan jajaran penting di Desa Tundomulo dan adik-adikku yang sampai mengejar garnisun (Red Truk TNI) kami selama beberapa meter. Pahadal debu pasir itu begitu banyak seperti membentuk sebuah kerajaan. Mengepul di udara dan dibawah terik matahari.
Untuk mencapai tempat travelling kita harus melewati dua kecamatan lagi, ditambah ada kendala didalam hutan yang menyebabkan kita harus piknik ‘sebentar’ didalam hutan. Dalam perjalanan ada sebuah permainan paling bagus untuk kill the time dan mengakrabkan kita. Werewolf. Kalian harus coba, saat perjalanan, di dalam truk TNI, bersama-sama main ini. Dijamin nggak menyesal.
Sampai di lokasi travelling. Anginya memang begitu banyak. Sesuai nama nya, Negeri Atas Angin. Beberapa foto kebersamaan berhasil ditangkap layar kameranya Kak Mas’ud, Kak Fajar, Kak Yadi, Kak Widha, dan Kak Ima, mereka adalah orang-orang berjasa selama kegiatan kemarin. Karena tanpa mereka gada yang dokumentasiin kita woy. hehehe. Ya mungkin dokumentasi foto selfie-selfie ala perempuan yang sangat banyak tapi yang di upload cuma satu. hehe
Ohiya, memang bener deh hari minggu ini waktunya dihabiskan buat bersama terus. Acara kesasar masih berlangsung, jadi kita sudah mulai turun dari lokasi wisata saat adzan maghrib berkumandang. Karena kelelahan, jelas kan? Semua orang terlelap di kursinya masing-masing. Dan ketika bangun sampailah kita di Caruban, Madiun. Lah, kok bisa sampai sini, batinku. Dan setelah melakukan wawancara dengan beberapa jajaran penting. Didapatkanlah hasil kita mampir makan dulu disini karena ternyata salah jalan. Hehehehe.
Yasudah memang agendanya hari ini menghabiskan waktu bersama toh. Sampailah kita di depan KFC A. Yani, meeting point hari jumat kemarin pada pukul 02:00 WIB dini hari. Perempuan memang gaboleh pulang malam-malam, jadi langsung dini hari aja. Hehehe. Cerita indah selama tiga hari itu ahkhirnya aku lanjutkan di mimpi ku yang singkat, karena harus bangun lagi jam lima pagi buat melaksanakan ibadah pagi.
Sampai bertemu di petualangan selanjutnya ya! Terimakasih buat keceriaanya yang mengalahkan segala perasaan lelahnya.



Salam rindu,
Kakak Sisi yang kelewat bahagia selama tiga hari itu.




Epilog by cc
Bertemu dengan orang-orang satu passion memang menyenangkan, bertemu dengan kalian salah satunya. Sering-sering ketemu ya, jangan lupa main WereWolf pas reuni TnT nanti.

Lokasi Travelling, Negeri Atas Angin, yang anginnya kenceng bener

Menunggu keberangkatan, TnT15 yang memang sebagian besar perempuan ini sedang asik berselfie

Minum susu Frisian Flag dulu, biar makin semangat

Piknik singkat di tengah hutan

okey, kita selfie dulu sebelum sampai di Truk TNI. Otw dari Sekolah ke lokasi parkir Truk TNI

Kakak-Kakak dibalik layar TnT15

SELFIE di lokasi travelling

dari kiri : Kak Dwi anak UPN yang masih semester tiga tapi udah aktif ikut acara beginian, Kak Ega, Dokter asal Solo yang suka ikut acara TnT di berbagai region, Kak Lucy Mahasiswa ITS semester 5 yang juga suka menulis

Bu Dokter Ani yang cantik sekali

selfie dulu sebelum makan


halo adek-adek ku

ini waktu materi sejarah proklamasi kemerdekaan

dari kiri: Bu dokter gigi Ummu, Kak Debby yang sudah jadi Guru, Kak Ana yang gaul, dan sisi



itu yang belakang kak Lambert, terus samping kanannya kak Riski mahasiswa Umsida semester 3, yang kacamataan depan kak Nida, seorang guru





jalan menuju sekolah


ini enak sekali





Ruang kelas SMP PGRI Tondomulo

prosesi menempel bintang harapan

persiapan lomba buat adek-adek

matahari terbenam di depan sekolah SDN Tondomulo 3, sabtu 26 agustus 2017

beberapa saat setelah selesai perlombaan


Kak Almira dengan rival main sepak bola, anak PAUD



komplek sekolahan yang terdiri dari PAUD, SDN Tondomulo 3, dan SMP PGRI Tondomulo

Kelas untuk PAUD


NEGERI ATAS ANGIN

Matahari terbenam di lokasi travelling


piknik tipis-tips di tengah hutan


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.