In #life #opinion #selftalk

Sebulan Setelah Hari Pernikahan.


Sebulan, lebih tiga hari, aku melangsungkan hari itu. Hari dimana beberapa perasaan terjadi bersamaan. Senang, Haru, Tidak sabar dinanti, Gugup. Hari dimana aku akan membutuhkan ridhonya atas segala pertimbangan dalam pengambilan keputusan-keputusan. Hari dimana kami menjalani ibadah terpanjang dimulai. Hari pernikahanku dengan pria berkacamata, sedikit berjanggut dan berkumis asal bumi sunda. 

***

Aku bertemu dengannya di tempat yang sejak kecil selalu ku idam-idamkan menjadi tempat tinggal masa depan yang juga menjadi tempat rantauan pertamaku setelah lulus kuliah. 

Kalau diingat-ingat lagi, jujur, pertama kali bertemu, sebenarnya tidak terlalu berkesan. Sikapnya yang cukup terbuka, membuat perisai sinyal siagaku menyala. Sampai akhirnya aku menyadari, dia memang cukup pandai membuka pembicaraan yang menyenangkan. Bukan karena sedang tebar pesona. Tapi, memang sedang bersikap ramah dan sopan kepada semuanya. Mungkin awalnya aku terlalu mawas diri, hingga merasa dia sedang mencari perhatian ya.

Sebelum bertemu dengannya, aku cukup mudah beralih perhatian satu ke lainnya, terutama ketika bertemu orang yang memang seru diajak berbicara hal-hal yang aku senangi atau aku ingin tahu lebih. Anehnya, orang ini bisa membuatku selalu fokus pada satu titik, yang mana itu adalah dia. Entah karena daya tariknya yang mengingatkanku pada paket komplit, selalu mampu membuatku tersenyum saat didekatnya, karena selera humor kami sama. Intinya, orang ini memang tidak bisa diabaikan dengan mudah. 

Hal-hal diantara kami terjadi begitu saja. Kami bahkan sebenarnya tidak banyak berkata-kata, selain saat pulang di mesin checklog dan bertegur sapa di siang hari saat mau makan siang. Dan saat itu aku merasa nyaman dengan diriku sendiri. Tapi saat didekatnya aku juga tidak merasa keberatan. Aku nyaman bersamanya. Dia membuatku merasa seperti dirumah, saat aku bahkan sedang jauh dari rumah.

Dia memperhatikan hal-hal kecil yang aku hindari dan aku sukai. Mendengarkan cerita dengan seksama, dan mampu memberi respon yang aku butuhkan. Tidak terlalu mengekang dan bisa memberikan afirmasi sesuai porsinya. Tidak terlihat merayu atau persuasif, dan tetap objektif. 

***

Konsep pernikahan yang kami harapkan memang simple-intimate. Awalnya. Dan akhirnya berakhir sederhana yang cukup ramai lancar, seperti jalan tol. Hahaha. 

Semua kecemasan yang aku bayangkan ternyata tidak terjadi seburuk yang di kepala. Acara pernikahan kecil-kecilan kami berjalan on-track. Dan hari itu menjadi hari paling membahagiakan selama 25 tahun berjalanku. Siapa yang menyangka, Sisi yang merencanakan segalanya dalam kehidupan termasuk target menikah di umur 26, menikah setahun lebih awal. Dan keputusan ini terjadi karena kalau bukan dia, karena siapa lagi. Hidup memang lucu, penuh perubahan-perubahan yang tidak kita sadari, seiring bertemu dengan orang-orang yang memberikan dampak pada diri kita.

Cita-cita yang dahulunya mau aku usahakan sendiri, ternyata sama Allah dikasih teman yang akan selalu mendampingi. Hal-hal yang membuatku kembali berani bermimpi dan mengusahakannya. Ada dia menyertai. 

Hal-hal yang dulu aku anggap masalah besar dalam kepala, sekarang menjadi hal yang dengan cukup percaya diri aku yakini bisa tangani. Hal-hal yang dahulu tak terbanyangkan bisa menjadi penguat, ternyata memang menguatkan, menenangkan, dan memberi banyak harapan, karena sekarang kami menjadi satu kesatuan yang diamini olehNya dalam ikatan suci. 

Percaya, kalau orangnya sudah tepat. Kedepannya akan saling menguatkan. 



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.