In #resensi

Tak Apa Jika Hanya menjadi Orang Biasa.

Novelis Andrea Hirata menerbitkan buku kesepuluhnya, yang berjudul “Orang-Orang Biasa”. Sejak awal ia tertenteng di book-shelf Togamas Best-Sellers Mei lalu ia telah menarik hati. Pikirku, siapa yang ingin menjadi orang biasa di dunia yang serba ada? Bukankah manusia memiliki kecenderungan ingin diingat, berperan, dan mengaktualisasikan diri mereka dengan menjadi orang yang tidak biasa-biasa saja?

Lamat-lamat aku baca halaman belakangan dengan seksama. Bertema pendidikan. Aku memang menyukai hal-hal bertema pendidikan dan perkembangan pribadi seseorang, itu juga yang menjadi salah satu alasan aku mengambil jurusan Psikologi. Setiap manusia sebenarnya memiliki keahlian dan bisa berkembang, namun tidak semua orang mengusahakan, menemui dan mengenali kesempatan yang ada.

Lajur setiap kita berbeda. Ada yang mulus seperti jalan tol, dalam hidup sejak dini ia mengerti apa yang mau dilakukannya dan ketika dewasa berhasil menjadikan ekspetasi masa kecilnya sesuai kenyataan masa sekarang, ada beberapa juga yang melakukan trial-error untuk mengerti sebenarnya apa yang paling sesuai dengan dirinya, kita semua punya jalannya masing-masing.

             Novel ini menceritakan mengenai perjalanan sepuluh sekawanan yang menimba ilmu di sebuah sekolah pedalaman. Selama ini citra anak-anak sekolah pedalaman yang semangat dan brilian namun memiliki sedikit kesempatan untuk bisa lanjut ke jenjang lebih jauh selalu dibesitkan kedalam pemikiran pembaca, tapi agak berbeda dengan ini.

Ia menjelaskan realita mengenai anak-anak desa yang susah menerima pelajaran dan hidupnya sudah disibukkan oleh pelajaran bertahan hidup dibandingkan pelajaran di kelas yang disampaikan bapak ibu guru. Sudut pandang dalam cerita dibagi menjadi dua, pertama dari Debut dan 10 sekawananya, dan sudut pandang kedua dari Sersan dan asistennya. Iyap, didalam novel ini juga akan ada cerita aksinya dengan imajinasi yang tidak terkira karena humornya.

           Dengan kesepuluh tokoh yang memiliki keunikan, keanehan, dan kelucuannya masing-masing dalam memecahkan masalah-masalah bertahan hidup mampu membuat kita memaknai arti pendidikan dari prespektif berbeda. Awal-awal memang pasti sedikit bingung menghafal kesepuluh tokoh, tapi di pertengahan dengan kekhasannya masing-masing membuat tampak jelas.

     Sampai pada klimaks cerita, juga sama, tidak terduga-duga. Disini hal yang membuat novel – yang sewaktu di awal membaca sedikit merasa ‘kok gini ya Novel Andre Hirata’– isinya humor doang gini, mana makna dibaliknya? menyesal karena terlalu cepat menyimpulkan. Kekuranganku memang benar, kurang sabar. Bahkan baca novel aja buru-buru ingin ada pelajaran apa dibaliknya, ngga nyantai banget deh.

                Novel ini membuat kita percaya, kalau kesuksesan tak melulu soal mendapatkan apa yang diharapkan, bertahan dan tetap melakukan hal yang benar juga kesuksesan ditengah kehidupan serba banyak mau dan godaan.

"Mereka yang ingin belajar tak bisa diusir."

 

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In #selftalk

Bersiap yang Terburuk, Berharap Terbaik.

Rumus ini bisa dipraktekan dalam segala lini kehidupan. Pada proses-proses jangka panjang maupun jangka pendek. Headline yang juga digunakan dalam Harian Kompas tepat pada Rabu, 2 September silam ini makin-makin mengingatkanku pada ketidakberdayaan manusia akan banyak hal. Dalam hidup memang banyak hal yang bisa kita khawatirkan, kita keluhkan, atau kita bandingkan. Beberapa terlihat telah menemukan apa yang dicarinya. Mengumpulkan pundi-pundi dinar, atau karya memoar. Mungkin bisa keduanya, atau salah satunya. Tidak apa, tetap semua orang sedang berjuang bertahan di masa yang kelihatannya sudah normal ini. Sesungguhnya, tidak ada yang benar-benar kembali seperti semula.

Pentingnya memiliki harapan. Bagiku, hidup tanpa harapan memang tidak terbayangkan, harapan perlu sekali dibangun, diciptakan, bahkan diasah. Kalau boleh jujur, harapan tidak perlu terlalu jauh. Bertahan dengan harapan terkecil tak apa. Harapan dapat mendengarkan kembali lagu kesukaan esok pagi, harapan bisa melihat bulan yang sama dari arah langit yang berbeda, atau dapat berlari-larian sama si Arkan di hari besok.

Belakangan memang riuh sekali, tetanggaku sebenarnya ada yang baru saja meninggal karena covid-19 tapi ditutupi keluarga, tak selang lama aku menghadiri pernikahan sahabat jaman sekolah tinggi dan nampaknya semua orang sudah sesantai itu dengan pandemi ini karena mereka berkerumun dengan sadar dan tanpa dipaksa, atau nenek keponakan yang baru saja sembuh dari sedikit demam karena kelelahan dan sepertinya rindu dengan Arkan. hmmm, benar-benar riuh sekali.

Bukankah menyederhanakan keinginan dan ekspetasi mampu membuat otak kita waras? Hari ini apa harapanmu?



 


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.