In #resensi

We are all not a Little Women anymore.

“We cannot change anything, unless we accept it.” – Carl Jung

Being a woman isn't a failure no matter what kind of woman you want to be. Whats make you happy, go for it.

Beberapa waktu lalu aku baru saja menonton film Little Women (2019), sebuah film yang diadaptasi dari novel klasik Amerika di tahun 1898. Novel ini ditulis oleh seorang perempuan bernama Louisa May Alcots. Dan setelah menonton film ini aku melakukan banyak riset soal latar belakang penulis karena tertarik dengan cerita yang ternyata juga diadaptasi dari kisah hidupnya sendiri.

Film yang memiliki alur maju mundur ini mungkin awalnya akan sedikit membuat kebingungan audience yang belum pernah menonton adaptasi dari film-film sebelumnya atau sekedar membaca sinopsis cerita, karena film Little Women telah diadaptasi untuk keempat kalinya. Diawali dengan karakter utamanya, Jo March yang memasuki sebuah ruang direksi penerbitan buku di New York, adegan yang menurutku cukup menguras adrenalin, selain karena backsound, latar tempat yang membuat kita serasa diajak kembali ke tahun 80an, tahun peristiwa dimulai dan berusainya perang antara Amerika dengan Spanyol.

Adegan selanjutnya adalah dimana Amy, anak perempuan terakhir dari keempat bersaudara keluarga March yang tengah melanjutkan studi melukisnya ke Eropa bersama bibinya dan bertemu dengan Laurie, sahabat masa kecil keluarga mereka. Sejak awal tokoh yang banyak di sorot dalam keluarga March adalah Jo dan Amy karena sibling rivalry dua saudara ini tergambar jelas.

Tokoh lainnya yang tidak kalah penting dan yang menjadi puncak klimaks dari film ini, Beth, tokoh yang sedari awal kita tahu akan meninggal namun memberi banyak pelajaran. Kalau ditinjau dari seluruh March bersaudara, karakter Beth yang paling pemalu dan tenang. Selain itu keinginannya atas hidup juga tidak se-ambisius dan idealis Jo atau Amy. Bagi Beth, saling memiliki satu sama lain sudah cukup membuatnya bisa mensyukuri keluarganya. Aku pribadi menyukai karakternya yang selalu menjadi dopamine disaat semua saudaranya sedang gaduh gelisah karena kenyataan yang tidak sesuai ekpetasi.

Kali ini aku mau sedikit mengutarakan perasaan kurang puas terhadap penulis script yang hanya memberi bagian karakter anak pertama, Meg tidak sebanyak karakter lainnya. Meg datang di scene pertamanya dalam film ketika dia ingin membeli kain namun tak mampu membayar biaya menjahit karena terlalu mahal untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga kecilnya. Meg sebagai anak pertama dalam cerita ini digambarkan telah memiliki keluarga sederhana dengan tiga orang anak.

Sejak kecil, mereka berempat selalu melakukan seluruh kegiatan bersama-sama, seperti tipikal cerita klasik, mereka beranjak dewasa dan harus melanjutkan jalan hidup masing-masing. Tokoh utama dalam cerita ini, seperti menjadi bom waktu meledak, ketika ia mulau merasa harus beradaptasi dengan banyak realita dalam hidupnya. Meg menikah, Amy ke Eropa, dan Beth yang akhirnya meninggal, membawanya jatuh ke dalam Quarter Life Crisis.

Unfinished bussiness, ambition untuk menjadi seorang penulis dan merubah dunia, dan impian masa kecilnya lainnya yang Jo rasa belum berhasil ia wujudkan membuatnya susah menerima perubahan signifikan secepat itu. Beberapa pengamat film lain juga mengatakan Jo mengalami Methesiopobhia atau Fear of Change yang artinya Jo memiliki ketakutan irasional akan perubahan yang memang seharusnya terjadi dalam kehidupan. Seperti kematian keluarga dan perceraian. Namun tidak menurutku, Jo tidak sampai mengalami mental illness, dia hanya mengalami Quarter Life Crisis dan mampu merubah stressnya menjadi Eustress, sebuah stress yang di coping dengan baik dan menjadikannya lebih baik, karena dari kecemasan akan banyaknya perubahan dalam hidupnya, ia berhasil menemukan dirinya dan akhirnya berdamai dengan keadaan.


Di masa Louisa May Alcot memang prespektif mengenai kesetaraan gender masih sangat berjangka. Perempuan tidak akan pernah memiliki properti mereka sendiri setelah menikah. Perempuan yang terlalu kuat dianggap membahayakan dan akan merebut kekuasaan laki-laki, bahkan konstruk sosial mengenai perempuan hanya cocok dengan sesatu yang berhubungan dengan hal romantis dan percintaan juga masih tergambar jelas di scene dimana Jo memberikan Novelnya untuk penerbit, dan dengan jelas ia mengatakan bahwa akhir cerita novel Jo harus dengan tokoh utama wanitanya entah meninggal atau menikah. Dan buku ini bahkan sampai tahun 2020 masih tetap menjadi referensi buku cerita berbagai kalangan di institusi pendidikan literasi Amerika, selain di filmkan, menjadi series dan masuk kedalam cerita bersuara di berbagai platform, mereka juga membuat museum yang bertepatan dengan rumah asli keluarga May Alcot, yang juga menjadi lokasi syuting Little Women (2019).

Tetapi yang paling aku suka dari adaptasi film Little Woman versi 2019 ini adalah screen-writer dan produser yang sejak awal menitikberatkan pesan dari film ini lebih kepada proses perkembangan karakter March bersaudara dan proses terbitnya buku Little Women sendiri, dibandingkan ending tokoh Jo akan menikah atau tidak.

Film ini tidak hanya menjelaskan kondisi psikologis, politis, dan sosial pada zaman itu tetapi juga menjelaskan mengenai pentingnya bagi perempuan untuk saling menghargai dan mendukung satu sama lain dalam hal kebahagiaan seperti apa yang mereka pilih.

Ada perempuan seperti Meg, ia ingin menjalani hari-hari penuh syukur bersama orang yang dicintainya.

Ada perempuan seperti Beth, menurutnya hidup cukup dengan saling memiliki satu sama lain dalam komunitas terkecil, yaitu keluarganya.

Ada perempuan seperti Amy, sejak kecil sudah menyadari bahwa ia adalah perempuan di era dimana konstruk sosial mengharuskan berbagai tuntutan yang kadang tidak dapat ia pilih sendiri selain mengikuti dan melakukan sebaik yang ia bisa.

Lalu ada juga perempuan seperti Jo. Perempuan berkemauan kuat, ambisius, dominan, yang bisa merubah hal-hal yang bagi sebagian orang dizamannya tidak mungkin dilakukan, tapi ia bisa. Jo membuktikan, perempuan layak memiliki dan memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Kesetaraan pendidikan, hak, dan akses untuk mencapainya.

Tidak ada yang salah dari menjadi seorang perempuan seperti apa yang kita pilih. Yang salah adalah ketika perempuan satu dengan lainnya tidak saling mendukung dan malah menyalahkan. Bukankah harusnya kita sesama perempuan saling menguatkan?

 

Dan ini beberapa quotes yang aku sukai dari tiap karakter dalam film Little Women.

 “I’m just a woman. And as a woman, I have no way to make money, not enough to earn a living and support my family. Even if I had my own money, which I don’t, it would belong to my husband the minute we were married. If we had children they would belong to him, not me. They would be his property. So don’t sit there and tell me that marriage isn’t an economic proposition, because it is.” — Amy March



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In FailurePorto

Tidak Ada yang Salah kok, Tergantung Kamu Manusia atau Kucing ...

Sebelum tulisan soal Indonesia, my first failure opinion forMojok.co was this

Berhubung dulu aku adalah pegiat literasi (yang abangan dan mood-moodan), suka bertanya dan mengikuti isu-isu dunia perkuliahan, aku menuliskan ini untuk dimuat di media tersebut dengan harapan bisa dapat uang saku tambahan 200.000an, sekalian biar keren namanya ada di Mojok.co gitu. Rupanya setelah aku baca lagi, emang isinya apaan yaRabb sebenernya cuma muter-muter doang, tapi aku mengapresiasi keberanian dan kepercayaan diri yang membuatku mampu melangkah jauh. Rindu juga sama kepolosanku dulu. Karena kepolosan ini aku jadi menjalani hari lebih ringan dan ikhlas.

Sometimes, being imperfect and accepted the real thing in ourself is the best feeling I've ever felt. And Once, I want to be like that again, and more and more and more love my own process.  

 

 Kuliah kerja nyata yang selama ini selalu menjadi bahan cerita viral masa perkuliahan –kebanyakan karena kisah percintaanya, yang entah dengan sesama manusia atau bahkan dengan makhluk dunia lain– mendadak tidak hanya viral hanya di masa perkuliahan.  Mungkin akan jadi pengalaman tak terlupakan sepanjang hidup seperti Agni (nama disamarkan), salah satu mahasiswi UGM yang mengalami tindak pelecahan seksual sewaktu menjalankan KKN di Maluku, 2017 silam.

    Banyak respon yang menanggapi kasus pelecehan seksual ini, dari ranah hukum sampai ranah psikologi. Dari yang awalnya bilang ini kesalahan dari kedua pihak, bukan hanya satu pihak saja, sampai seharusnya kasus ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Yha dikira masalah saudara bertengkar rebutan mainan kali ya, diselesaikan dengan dikasi tau, dan saling memaafkan, kelar, buyar.

     Saya pribadi, sebagai seorang perempuan yang juga baru menyelesaikan tugas negara KKN beberapa bulan lalu, merasa bukankah seharusnya kampus tidak tinggal diam mengenai hal se-viral ini. Bukannya ini juga merupakan agenda yang dibuat kampus sebagai syarat menyandang gelar sarjana? Atau bukannya kampus yang selalu juga menggadang gadang ada cinta lokasi sewaktu KKN, memberikan impian – impian indah mengenai pasangan, hangatnya suasana kekeluargaan dan kebersamaan sampai di beberapa kasus mungkin memang banyak mahasiswa yang menjadi korban cinlok KKN, dari jomblo jadi tida jomblo, atau dari yang sudah memiliki jadi memiliki lagi yang baru. Eh. Kalau dari pengalaman pribadi saya sendiri juga, sewaktu pembekalan KKN malah para dosen kkn ini seperti konseling pra-nikah. Bahasnya jodoh, menikah, bagaimana cara menjadi suami yang baik dan istri yang pandai mengatur keluarga. Hadeh, apa aku salah masuk forum ini. Tapi memang benar adanya tuh tulisan di depan ruangan “PEMBEKALAN KKN GEL. II Tahun 2018”. Yasudah saya jadi bingung ini jadi malah bahas kemana-mana.

                Saya juga tidak ingin menyalahkan pihak mana-mana, setiap tindakan memiliki latar belakangnya masing-masing, baik dari pihak kampus yang ingin menyelesaikan dengan cara ‘kekeluargaan’ atau dari pihak penyitas yang merasa tidak diadili. Ini semua murni masalah ranah hukum dan mereka, saya benar-benar tidak ada hak menghakimi siapapun dalam tulisan ini. Kalau kata bapakku jangan mudah terbakar api isu-isu ataupun pemberitaan di media, kamu tidak tahu kisah seutuhnya. Daripada salah berbicara lebih baik diam. Ya saya memang bukan penyitas, pelaku, atau orang-orang yang berada disekitar mereka. Saya hanyalah peng-observasi tidak langsung “kalau bahasa teorinya” dimana hanya bisa tau lewat media-media yang difasilitiasi. Disini saya Cuma agak heran dan kesal sama netizen-netizen yang masih ngotot kalau ketika laki-laki bernafsu dan menyerang perempuan secara “seksual” adalah hal yang wajar. Dan dengan mudahnya bilang “ya kan namanya juga manusia, pasti bersahwat, pasti ya pernah khilaf”.

                Ya memang wajar bersahwat tapi apa harus merugikan orang lain? Apa yang membedakan sama hewan dong kalau gitu. Berarti teori pak freud itu yang bilang manusia adalah hewan yang memiliki akal, salah?.

Atau, Jadi bener teori milik Darwin kalau kita emang benar-benar keturunan kera, homo sapiens dkk itu? Hmmmmmmmmmm, sehingga benar dan wajar sekali adanya apabila manusia sedang bersahwat akan menyerang siapapun yang bisa diserang, ibarat perumpamaan, kucing kalau diberi ikan asin ya pasti paling engga dicium-cium? Benar begitu? Baiqlah kalau kalian menganut teori itu, aku juga tidak bisa menyalahkan. Toh setiap orang punya pemikiran dan kepercayaannya sendiri. Dalam ilmu psikologi-pun kita dituntut untuk memahami setiap orang dan tidak mudah menjudjge. Tapi, saya tentunya lebih suka sama kamu daripada dia manusia-manusia yang memanusiakan diri mereka sendiri. Kalau mereka tidak memanusiakan diri mereka sendiri bagaiamana mau memanusiakan manusia lainnya yaaa hmmmmmm. Jadi apakah kalian manusia, kucing, homo sapiens atau malah malaikat tak bersayap? Karena bisa membawaku terbang tanpa harus naik pesawat dulu, uwuwuwuwuwuw. Apaansi yarabb, sii~

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In FailurePorto

Kesalahan 'Orang Indonesia' yang Akan Terus Diulang

    Dalam rangka masih memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-75, aku kembali mengulik tulisan lama yang gagal terbit di media Jogja yang lumayan bergensi itu. Setelah aku baca lagi memang tulisan ini kurang deep buat media yang sering mengkritisi dengan pedas tapi ngga blak-blakan dan malah jatuhnya cenderung humoris itu. Aku tau, tidak semua orang Indonesia seperti yang akan aku tulis di bawah ini, sebenernya tulisan ini masih sangat subjektif sesuai dengan preferensi ku terhadap orang disekitar yang aku lihat. apalagi sekarang sudah 2020, dan tulisan ini di ketik 27 Desember tahun 2018. Jadi tulisan ini di muat ulang untuk menjadi kumpulan portofolio kegagalan-kegagalanku supaya lebih semangat lagi kedepannya. Dan nggak harus melulu keberhasilan juga yang diceritain, kegagalan ditulis bagus juga buat jadi pembelajaran, bahwa ngga ada sesuatu yang instan di dunia ini. Buat kalian juga semangat ya, terus lakuin hal yang membuat kalian merasa berarti. If we can change the world, of course we can change ourself to be better each day~           

Happy Independence day, Indonesia! 

 

Hai, kembali lagi bersama saya Sisi, dalam acara.... eh maap ini bukan stasiun TV yha. Oh, ini Mojok.co yang punya semboyan sedikit nakal banyak akal itu, bhaiq, maka dari itu saya ingin membuat opini nyeleneh ini. Artikel ini sepenuhnya pendapat pribadi saya yang belum teruji validitasnya dengan SPSS karena belum pernah ada manusia-manusia akademisi yang berniat melakukannya. Yha mungkin setelah membaca tulisan ini, kalian mahasiswa psikologi, atau mahasiswa sosiologi yang meneleti mengenai karakter bisa, dan monggo diadakan penelitiaanya.

            Oke, dari pada baca tulisan saya yang makin ngalor ngidul ini, mari saya coba menjelaskan isi pemikiran ini, mengenai apa saja sih kesalahan-kesalahan orang indonesia yang akan terus diulang yang nantinya, eh ga nanti ding, tapi sekarang dong. 

1.      Datang terlambat

            Iya, entah kenapa. Terlambat seakan telah mendarah daging dalam tubuh mayoritas manusia indonesia sekali lagi meski tidak selalu Yha saya cuma ambil gambaran besar dari yang sering saya lihat, saya sendiri contohnya yang acapkali beralasan klasik, semacam merutuki jalanan macet, yha tolong kalau kamu ga mau macet dan pen buru sampai, berangkatnya kemarin dong kaka, atau orang dengan tipe yang menyalahkan cuaca yang sedang syahdu syhadunya karena nangis terus sih langitnya, atau jenis-jenis manusia play victim dalam lingkup keluarganya dan keluarga yang terkadang juga tidak bersalah bahkan mungkin tidak tahu apapun dijadikan sasaran alasan dengan berkata semacam, maaf tadi masih di suruh mama jaga ponakan, masih di suruh mbak ngepel rumah, kuras kamar mandi, masih diminta ayah menyelamatkan bumi dan seisinya. Saya yakin kalian menemukan beragam alasan yang lebih variatif, bisa komen lah nanti kawan~

2.      Buang sampah rokok di jalan

            Merokok mungkin memang masuk bagian dari kebudayaan nenek moyang yang diturunkan secara langsung dari generasi ke generasi, di wariskan dari keluarga satu ke keluarga berikutnya, dan bahkan sampai di buatkan museum rokok  oleh brand terkenal rokok dan menjadi tempat hits tuk berselfie ria para millenials yang gila like dan komen #relationshipgoals itu, namun ya mbok ya jangan buang-buang seenaknya juga toh. Tidak jarang dan sangat sering ini apa bedanya oon  saya menjumpai para lelaki yang mengendarai motor tercintanya itu, entah sendiri atau bersama kekasihnya, yang selepas ngudut membuang putung rokok itu dimana-mana seolah hal itu bukanlah masalah besar, padahal kan yha besar. Bayangin aja kalau belum habis betul, terus ada truk tangki pertamina yang mau kirim bensin ke pom-pom, lalu meledak karena terkena percikan putung rokok tersebut, dan menyulut api sehingga membuat kebaranh hmm. Mana, imajinasi saya ini sangat tinggi. Sering kali bayangin aja, kena api kebakarannya ketika menggendarai motor di belakang truk tangki pertamina itu. Haduu, apa iya saya harus mengalami kaya di film-film Final Destination~ Jangan sampailah juga ya, Suminah.

3.      Masuk Bus Surabaya Tanpa Bawa Botol

            Mungkin ada warga non-Surabaya yang belum tahu atau malah warga Surabaya sendiri yang belum tahu (wah tapi parah si kalau ini sampe ada yha~) di kota yang di pimpin Bu Risma ini ada yang namanya “Bus Surabaya”, sebuah sarana transportasi umum untuk masyarakat yang biaya naiknya di bayar menggunakan botol plastik, namun seperti yang sudah saya tulis di judul, kadang masih aja ada manusia-manusia yang dengan lugunya naik ke dalam bis tanpa membawa botol, parahnya lagi setelah ia naik, masih bisa pura-pura tidak tahu dan bertanya dengan polos “loh, mbak ini masih bisa kan naik tanpa botol? Yah saya dulu bisa masihan, sekarang harus pakai botol ya? Tapi saya ga bawa ni mba jadi gimana? Apa saya harus turun di pemberhentian selanjutnya?” dengan pertanyaan bertubi-tubi membuat si embak sampe eneq jawabnya dan akhirnya mempersilahkan orang ini duduk, diam, menikmati kesunyian Surabaya dalam ke hingar bingarannya. Karena memang di dalam bis itu suasanaya sunyi, nyaman, dan menenangkan, kayak waktu melihat senyum manismu itulah yha~

4.      Makan Pedas Terus Minum Es

            Hal ini sering dialami oleh pecinta pedas amatiran, belajaran, yang ingin tampak lebih keren di mata teman-temannya karena mencoba dengan agak sedikit memaksakan untuk menyukai pedas, padahal aslinya kagak kuat. Huft. Dengan, ya itu, habis makan makanan yang pedas, mereka malah minum es, makan kepedesan dikit, minum lagi, sampai-sampai kenyang karena minum bukan karena makan. Padahal kan sudah di kasi tau Sistaaaah, kalau makan pedas dikasi minum es itu malah semakin berasa pedasnya~ ya tapi namanya orang ga kuat tetep ngeyel dengan sistem yang membuat perut mereka jadi agak seperti bumil tiga bulan akibat terlalu kenyang.

5.      Foto Selfie di Depan Cermin Toilet Umum

            Ini biasanya favoritoz bagi para kaum hawa. Yha. Foto depan cermin. Cerminnya bukan sembarang cermin karena cerminnya adalah cermin yang ada di toilet umum yang mana toilet umum digunakan banyak orang dan yah orang-orang melihat mereka, sementara mereka berfoto atau menanti mereka selesai melaksanakan sesi sakral tersebut untuk sekedar bercermin. Yha mon maap ya mbak-mbak kami misi bentar boleh, mau benerin kudung nihh~

            Ya begitula potret keunikan, kesalahan masyarakat yang sering saya temui di ibu pertiwi, kalau kamu paling sering melakukan yang nomer berapa? Saya siy, jelas nomer 1, supaya menjadi nomor satu dihantinya, eaaa~



Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In #resensi

Menjadi Resilience dari Filosofi Teras.

Nobody's going to do your life for you. You've to do it yourself. Whether you're rich or poor, out of money or ranking it in beneficiary of ridicolous fortune or terrible injustice, and you've to do it no matter what is hard or nonsense no matter what unjust, sad, sucky things have been fallen you. Self-pity is a dead-end road. You make the choice to drive down it. It's up to you to decide to stay parked there or to turn around and drive out." - unknown

Tulisan ini pertama kali aku baca di salah satu akun instagram yang aku juga sekarang lupa apa namanya. Tetapi yang jelas dia sudah nangkring di depan mejaku sejak bulan Mei lalu. Beberapa kali dalam sehari memang ku baca, kadang bisa memberi power kadang ya sekedar pajangan aja. Kadang membuat self-awareness meningkat, kadang juga dia cuma jadi hal yang aku anggap formalitas.

Sampai hari ini akhirnya niatan untuk menyelesaikan apa yang ingin aku tulis sejak setahun lalu, menulis review buku "Filosofi Teras". Sebuah buku yang aku anggap menjadi obat tersendiri saat aku merasa gamang pada tahun lalu, seusai revisian skripsi dan tentunya bingung arah mana yang harus aku kejar, kompas mana yang paling cocok, atau sorotan lampu mana yang menunjukkan ke arah yang tepat. Kalau aku menilai dari semua buku self-impovement yang aku baca dia memasuki nilai 8/10.

Pertama, yang membuat buku ini punya nilai tinggi menurutku, mungkin karena aku kurang banyak baca buku sejenis ini, wkwkw. Rekomin dong, buat temen-temen yang suka baca buku self-improvement yang menurut kalian buku yang seru dan worth it dan bisa nambah sudut pandang dan prespektif baru, hehehe.

Enggak, beneran buku ini bagus kok, oke aku mulai serius nulis reviewnya ya. 

  • Bahasa Penulisan

Entah mengapa, aku suka jenis buku yang bahasa penulisannya seperti bercerita, dan buku ini seperti itu. Karena menurut aku, ketika suatu buku didalamnya tidak hanya memuat teori, tetapi juga kisah hidup penulis, dan latar belakang mengapa sebuah karya buku ini ditelurkan akan membuat pembaca dan penulis memiliki ikatan emosional tersendiri. Rasanya seperti menulis dan bercerita dengan sahabat pena yang belum pernah kita temui. Bahasa yang digunakan juga tidak terlalu formal, tapi juga tidak terlalu lebay. Pas, legit, dan renyah.

  • Bedasarkan Riset dan Wawancara

Penyataan/kesimpulan teori tanpa data riset dan wawancara sama persis seperti janji manis gebetanmu tapi ngga ada realisasinya. Alias, ngomong doang, hehehe. Makanya penting banget sebuah kesimpulan yang diawali dari adanya proses analisis dan fenomena yang terjadi diiringi data hasil riset dan wawancara dari ahlinya. Sebuah teori nggak akan disebut sains kalau belum ada bukti risetnya kan, palingan ya jadi pseudosains.

  • Integrasi dari banyak ilmu 

Awalnya, sewaktu baca judulnya, berat banget nih. Belajar Filosofi, seberat novel Dunia Sophie ngga ya ini. Mumet ngga ya. Dan pikiran-pikiran soal belajar filsafat yang rumit itu berkelebat di kepalaku yang suka hal-hal yang simple dan lucu ini. Tapi waktu baca review di Google dari orang-orang, sepertinya ini layak di coba sebelum di takutin. Selama baca, aku ngga merasa bosen sama sekali. Cara penulis mengaitkan pengalaman pribadinya, fenomena yang terjadi, hasil riset dan wawancara, dan ilmu-ilmu lain yang saling berkaitan sangat mudah di lahap bulat-bulat sama otak. Aku pernah baca quotes juga, sepandai-pandainya orang, adalah ia yang pandai memahamkan orang lain dengan cara yang paling sederhana. Henry Manampiring memang bapak anak satu yang jenius~

  • I do (still) judgje book by its cover

Sebagai makhluk visual, hal menarik lainnya yang aku suka dari buku ini adalah covernya yang berwarna kuning dan tosca. Dalam Ilmu Psikologi warna ini melambangkan warna yang optimis, ceria, dan semangat. Selain itu, gambar ilustrasi tampilan seorang pria tua yunani dengan gulungan kertas di hadapan dua pemuda berbaju modern sambil menyeruput es boba dan menyuguhkan kepada bapak tua minuman kekinian itu menyiratkan bahwa dua insan dalam Quarter Life Crisis ini diberi arahan oleh bapak pemilik teori Filosofi Teras tersebut.

Buku ini bagus buat temen-temen yang mau mendalami teori Well-being dan Resilience di Psikologi, sedang mengalami Quarter Life Crisis, atau sekedar mencari bahan bacaan bagus untuk asupan gizi ke pola pikir baru. Paling enak baca buku ini juga di perjalanan menuju sesuatu. Supaya lebih tabah, sabar, dan bahagia menikmati setiap proses masing-masing dari kita. 


Have a good day! [cc]

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In #intrapersonal #life

Ketidakpastian Adalah Kepastian.

Bermula dari hari menuju kelulusan tahun lalu di bulan September. Banyak ketidakpastian yang saya rasakan. Harus kemana setelah lulus, apa pilihan karir yang sesuai dengan kepribadian, bagaimana dan dari mana harus memulai merangkai apa yang ingin saya dapatkan, apakah saya harus idealis atau realistis, dan masih banyak pertanyaan yang muncul di benak seorang calon sarjana psikologi, bahkan seorang yang sudah belajar ilmu psikologi masih gamang dengan apa yang ingin dipilih dan dilakukan oleh dirinya sendiri.

“Pendidikan formal benar-benar cuma sebagai jembatan tak sampai setengah jalan menuju apa yang saya inginkan”, itu yang terbesit saat pada benak saya waktu itu. Saya kira perjalanan setelah studi S1 akan lebih jelas, dan tergambar. Nyatanya tidak, justeru semakin banyak dan berkali-kali lipat ketidak pastian yang saya rasakan. Sewaktu kuliah mungkin ketidak pastian itu berwujud nyata dan tampak, kapan dosen pembimbing bisa dihubungi dan memberi waktu untuk saya berkonsultasi, kapan surat izin saya bisa masuk ke rumah sakit untuk penelitian, atau kapan saya bisa disidang dan kapan orang tua bisa merasakan feedback investasi pendidikan yang mereka berikan untuk saya.

Sewaktu  duduk di ruang kelas, ujian hanya diberlakukan persemester atau tengah semester. Setelah lulus yang seperti orang naif anggap ingin terbebas dari jeratan ujian nyatanya justeru berkebalikan. Setiap hari adalah hari ujian. Ujian bertahan hidup mandiri entah secara emosional, finansial, spiritual dan hal lainnya yang lebih holistik. Kecarut marutan polemik eksternal, yang mungkin mutlak tidak dapat kita rubah tanpa adanya kekuasaan dan modal finansial, sampai yang paling penting, kegelisahan yang ada dalam diri setiap individu masing-masing.

Sekarang bahkan negara sedang hampir mengalami resesi, apabila ibu Sri Mulyani gagal menyelematkan semester ini dari minus daya beli masyarakat yang menurun akibat pandemi covid. Banyak rencana yang dilakukan agar Indonesia tetap bisa bertahan dan tidak resesi, sama halnya banyak rakyat korban pemecatan sepihak, pelaku bisnis rumahan dan rakyat yang mengandalkan upah harian yang berusaha sekuat mereka untuk bertahan hidup. Semua ketidak pastian ini adalah hal yang pasti. Tidak ada yang tahu seperti apa kedepannya.

                Tapi hebatnya manusia didesain oleh yang maha kuasa memiliki organ penting yang bernama otak. Dalam psikologi, otak manusia ini juga selalu menjadi topik utama dalam setiap pembahasannya, mulai dari kepribadian, kognitif, perkembangan, sampai abnormalitas. Manusia didesain mampu beradaptasi. Orang yang adaptif dengan perubahan dan ketidakpastian adalah orang yang mampu bertahan.

                Berkat kemampuan adapatasi ini, mereka menemukan ide yang menggerakkan, menemukan cara, menemukan jalan, dan menemukan harapan. Tanpa harapan, kita semua tidak akan bertahan. “Sesungguhnya Allah maha mendengar” adalah mantra untuk tetap bertahan pada ketidakpastian yang saya selalu ingat belakangan.  

                Harapan bisa datang dari hal yang sederhana. Dari orang terdekat yang selalu ada, aktivitas yang kita sukai, lagu dan film favorit, cuaca yang bersahabat, buku yang mengajak kita berkelana, sampai orang yang kita temui dipersimpangan jalan tetap semangat mencari sekeping pundi-pundi lembaran berwarna warni, alat barter yang biasa kita sebut, uang.

                Merangkai apa yang ingin dan akan dilakukan di saat ini dan kedepan memang menjadi bahan pembicaraan yang tidak akan pernah ada selesainya. Setiap hari adalah hari belajar. Belajar mengenali diri sendiri, mengenali orang sekeliling, bahkan sampai alam. Hari ini semua tampak baik-baik, sapa yang mengira setelah terdampak covid di penjuru bumi, saudara kita di Masamba, Sulawesi Selatan harus ditimpa lagi yang lebih dari alam mereka, Banjir Bandang pada 13 Juli lalu. Makin-makin saya lebih bingung, sebenernya apa yang selama ini saya khawatirkan? Apa yang kurang? Bahkan sepertinya ngga pantes-lah, buat mengeluh, selama masih diberi kesehatan, tempat tinggal, teman-teman yang selalu ada, dan sekumpulan hal-hal lain yang saya sukai.

                Ketika ketidakpastian yang melanda dalam dirimu, aku harap kamu segera menyadarinya, bahwa tidak hanya kamu yang merasa seperti itu. Temukan apa yang membuatmu mempunyai harapan baru. Salah satu caranya bisa dengan kembali menguak hal yang membuat perasaanmu nyaman. Bertemu orang-orang yang mengingatkanmu untuk tetap berjuang, dan kembali bergerak kemana kamu ingin pergi. Mulailah. [cc]

“Siapapun kamu, apapun bisa kamu lakukan, atau kamu harapkan, wujudkan, impikan, dan mulailah. Keberanian punya kejeniusan, kekuatan dan keajaiban.” – Johan Wolfgang Van Goethte, Novelis Jerman, abad ke-19.

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.