In #life

Menulis Sebuah Essai

(NB: sebelumnya, maaf kalau essai ini bukan seperti essai yang kalian pahami, hehehe. karena essay disini maksudnya, opini penulis)
Tulisan ini saya berikan untuk kalian yang sering merasa tidak bisa apa-apa, selalu salah, dan tidak puas atas semua yang telah di miliki selama ini. Percayalah, kalian itu tidak sendiri, karena aku pun begitu, mungkin malah-lebih banyak 'stupidity'' yang sudah aku lakukan. relax, u r not alone gais


Dalam kehidupan seorang anak bungsu, dan sebagai pemeran utama dalam kehidupanku sendiri, aku punya banyak kebodohan yang telah terlewati. Mungkin kalau –hal ini dibukukukan juga bisa, saking banyaknya. Mungkin ada salah satu kisah saya yang sampai saat ini masih ‘saya syukuri karena pernah terjadi’, Sama seperti kutipan dalam novel Tentang Kamu milik Tere Liye yang berkata ‘aku tidak pernah sedih semua itu telah berakhir, aku bersyukur bahwa semua itu pernah terjadi,’ kurang lebih begitu. eheh


Dan
Selamat membaca, sekali lagi terimakasih sudah meluangkan waktu membaca kata demi kata yang sudah memenuhi otakku selama beberapa hari terakhir.

Sampai berjumpa di depan ruang tempat semesta akan mempertemukan kita, semoga asa ikut mengamini setiap doa-doa kamu, iya kamu, yang lagi baca tulisan ini. #eaa 
Let’s go~
-
Sisi yang masih sering galau dan mengeluh mengenai hal-hal menarik yang tidak segera menjadi nyata, kini mulai mengerti, Bahwa sebenarnya hidup bukan mengenai membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Bahwa sebenarnya hidup ini mengenai bagaimana kita menjadi lebih baik dari diri sendiri. Kini mulai memahami, bahwa setiap orang punya ceritanya masing-masing. Kini mulai menyadari masih banyak hal yang belum dilalui untuk menjadi lebih baik dari versi terbaik diri sendiri.
Aktivitas – aktivitas monoton yang menjadi makanan sehari-hari selalu bisa membuatku bertahan di zona nyaman,
Zona yang masih terlalu malas untuk menatap kedepan, melihat bintang-bintang yang ternyata sudah mulai berjatuhan diambil oleh banyak orang, menjadi rebutan. Aku, iya aku nyatanya, masih tetap berdiam diri tanpa mau berlarian berebutan ikut mengambil bintang-bintang itu, Sisi di usia perkembangannya yang seharusnya punya tujuan dan manfaat dalam hidupnya – sama seperti di pendahuluan makalah-makalah yang selama ini aku kumpulkan kala menjadi tugas kuliah, ternyata masih belum menemukan semuanya, lantas mana bisa aku membahas mengenai hidupku lebih jelas, seperti yang sering dikuliahkan dalam kelas matakuliah psikologi apapun itu.
‘Hidup itu harus bertujuan, kalau kamu ga punya tujuan, hasilnya gini gajelas mau dibawa kemana dirimu sendiri’
‘Hidup jadi setengah-setengah. Nggak maksimal. Ragu-ragu. Dan itu salah satu sifat yang disukai setan’
Masih banyak lagi ceramah-ceramah motivasi di kelas psikologi UIN Sunan Ampel kampusku yang kusayangi, dan aku selalu berterimakasih atas semua wejangan dari para dosen berdedikasi yang tidak bosan-bosannya menjadi salah satu orang yang membuatku menyadari. Selama dua puluh tahun ini apakah aku sudah bermanfaat setidak-tidaknya buat diri sendiri?
Membuatku jadi berpikir, kalau bukan aku yang menyayangi diri sendiri, lantas mau siapa lagi, kalau bukan aku yang mulai berdiri, berlari, mengejari mimpi-mimpi sewaktu masih di usia dini. Lantas mau siapa lagi?
Mungkin sama seperti dalam cara menjawab di soal-soal matematika jaman SMP sampai SMA, dimana setiap soal diawali dengan Pertanyaan, Diketahui, dan Jawaban. Kini saatnya aku menjawab satu persatu pertanyaan dalam diri sendiri.
~
Inilah jawabannya.
Dan semoga jawaban ala kadarnya ini bisa membantu kamu dalam menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang berputar-putar mengelilingi alam sadar dan alam bawah sadar.
POIN PERTAMA
TUJUAN
Perlahan-lahan aku mulai mendapatkan tujuan itu; tujuan kuliahku, tujuan hobiku, tujuan mencari apa arti menjadi diriku.
Aku –tentunya- ingin menerapkan apa yang sudah didapatkan saat kelas. Aku ingin menjadi seorang mahasiswa psikologi yang sesuai brandingnya. Yang pandai berkomunikasi dengan siapa saja, yang peduli, yang suka anak-anak, suka bersosialisasi, mengayomi, menjadi tempat yang nyaman bagi siapapun yang sedang dirundung sedih hati, pendengar yang setia menanti dan mampu membantu mereka yang sedang mencari dirinya sendiri.
Aku merupakan seorang yang sangat menyukai belajar hal – hal baru, suka perubahan, dan selalu bersemangat akan hal itu.
Akupun memulai dari hal termudah –menurutku- kala itu, menjadi seorang guru. Aku memang berhasil mendapat pengalaman itu, dengan menjadi seorang terapis anak berkebutuhan khusus selama beberapa  minggu. Sayang tidak bertahan lama. Aku diberhentikan sepihak karena ada beberapa kesalahanku yang menurut sebagian orang fatal – walaupun menurut pemilik biro jasa terapisku itu bukanlah sesuatu yang fatal-

Kacamata
Mungkin juga banyak yang tahu, kalau kacamata netral sepeda motor, jaman sekarang sudah menjadi hal yang biasa digunakan. Selain sebagai penghalang debu, kacamata itu bisa menjadi asesoris pemercantik kaum pemuda-pemudi masa kini.
Setelah belajar menjadi terapis selama kurang lebih 4 kali dengan salah satu kakak tingkatku di kampus, yang kebetulan juga mengajar di biro yang sama. Akhirnya aku mendapatkan muridku sendiri.
Saat itu aku sedang memasuki semester empat, awal tahun 2017.
Jadwal mengajarku jam sepuluh sampai setengah dua belas setiap hari selasa dan kamis. Aku mengajar seperti biasa, datang lebih awal, menyiapkan beberapa permainan untuk disajikan dan ya, aku merasa semua berjalan baik. Aku kuliah seperti biasa. Dan mengerjakan tugas juga dengan kadang perasaan sedikit ‘keteteran’ karena ternyata mengajar tidak semudah itu. Meskipun bisa dibilang level autisme Adik Joshua –nama murid pertamaku- ini termasuk autis ringan, tetapi, tetap saja, mengajar tidak semudah itu. Ternyata benar kata orang, menjadi seorang guru bukanlah hal yang biasa, itu luar biasa hebatnya. Karena ia menjadi salah satu faktor sukses tidaknya seorang anak dalam kehidupannya.
Aku memang tidak patah semangat, justeru makin tertantang. Aku semakin ingin mencoba banyak trial-error baru dalam hidupku. Adik Joshua juga begitu, baru pertemuan kedua, dia dengan mudahnya mengerti apa-apa yang aku instruksikan. Cuma kadang ia bosan, jadi aku mengalihkan dengan permainan-permainan. Akhirnya tak jarang juga ia mengambil beberapa barang milikku yang ada di dalam tas, dan dipakainya lah.
Mulai dari kacamata mainan, masker untuk naik sepeda motor, sampai idcard wartawanku. Lucu memang. Dan aku akhirnya mengabadikannya dalam sebuah foto.
Saking aku suka dan lucunya, aku jadikan Profil Picture Whatsappku. Dan beberapa hari kemudian, singkatnya aku sudah digantikan oleh pengajar yang baru.
Setelah komunikasi dengan Bu Susan, pemilik Lembaga Jasa Terapis itu, akhirnya aku belajar beberapa hal.Ternyata hal-hal kecil yang selama ini aku sepelekan sebenarnya merupakan hal penting. Ternyata, Bu Susan, orangtua dari Adik Joshua minta aku diganti pengajarnya karena tau Adik Joshua suka memakai barang-barangku. Dan ia tau tentunya dari foto profil yang aku pasang sendiri.
Iya, kalau dipikir – pikir ga salah juga orangtuanya khawatir, anaknya pakai masker aku. Wajar sekali malah. Takutnya tertular penyakitku – meskipun aku juga ga lagi sakit, tapi itu hal yang wajar. Kedua, pakai kacamata netralku. Sebenarnya otak manusia memang lebih cenderungnya berfikir ke arah yang negatif. Cemas. Gelisah. Iya, si Ibu lagi-lagi menpresepsi itu kacamataku nanti bisa buat anaknya jadi sakit mata.
Dan, memang kita hidup di dunia ini dengan banyak karakteristik manusia, ada beberapa orang yang bisa mengkomunikasikannya dengan baik. Dan ada yang tidak. Si Ibu ini salah satunya.
Karena aku sudah menyadari kesalahanku, maka aku minta maaflah ke beliau, tapi lagi-lagi orang itu banyak tipe. Pesanku tidak pernah dibalasnya lagi. Niatanku mungkin memang baik, tapi Bu Susan pun sampai melarangku terlalu menyalahkan diriku sendiri juga.
“jangan terlalu ngemis-ngemis mbak, yang butuh itu ga Cuma kamu, dia loh juga butuh kamu sebagai gurunya, udah gapapa dijadikan pengalaman dulu aja ya,” hiburnya.
Aku cuma ingin hubungan kita *cie kitaa* berakhir dengan baik-baik. Tapi tidak semua orang menyambut niat baik oranglain.
Bu Susan berpesan kepadaku kalau - kalau dunia kerja memang begitu, banyak tipe dan model orang, “sudah tidak usah terlalu dipikirkan, kamu buat salah ga fatal-fatal banget Cuma emang ada beberapa orang tua yang begitu. Yang penting diambil hikmahnya aja mbak,”

Si Bungsu yang Cengeng  lembut hatinya
Entah kenapa saat aku ke rumah Bu Susan waktu itu, aku tiba-tiba menangis. Aku merasa selama ini aku belum bisa bermanfaat buat orang lain. Padahal aku mahasiswi jurusan psikologi, hal se-sensitif ini harusnya aku sadari, kenapa aku begitu tidak peka. Aku sedih. Dan entah mengapa aku merasa Bu Susan mengerti penyesalanku itu. Dan mencoba menghiburku.
Tapi jujur ya, aku masih sedih selama beberapa hari. Aku masih suka menyalahkan diriku sendiri yang ga peka, semaunya sendiri, dan kurang telaten. Aku merasa nilai-nilaiku yang bisa dibilang lumayan di atas kertas itu, cuma nilai formalitas. Nyatanya aku masih nol saat dilapangan.
Dan Mungkin disini adalah titik bersyukurnya aku menjadi mahasiswi psikologi. Setiap hari ada saja hal-hal baik dan postif yang disampaikan oleh dosen-dosenku ini, yang akhirnya selalu membuat aku ‘think positively again’.
Bertepatan dengan materi psikologi positiv di Psikologi Klinis, Bu Zaki, menjadi salah satu orang yang membuatku kembali semangat, beliau bilang, “setiap orang itu dalam proses belajar, sangat wajar orang melakukan kesalahan. Itu adalah proses. Kita sudah seharusnya se-pemaaf itu dengan diri sendiri. Memaafkan diri sendiri itu proses pertama menuju hal baik lainnya,”
Maka untuk itu ‘maafkanlah diri kalian sendiri’ untuk segala kegagalan, kebodohan, kecerobohan, dan hal-hal menyakitkan lainnya yang sudah dilewati jangan dijadikan penyesalan tapi jadikan pelajaran. Katanya pengalaman adalah guru terbaik.
Yes! It’s it. Mulailah otakku menerima hal-hal yang bodoh yang aku lakukan tanpa melibatkan otak. Aku mulai belajar menerima dan memaafkan diri sendiri, semudah aku menerima dan memaafkan orang lain. Ya masa sama diri sendiri aja nggak sayang kan ya. Gitu mau disayang sama orang lain. Ini namanya self-appriciate dan sangat dianjurkan buat kesehatan mental juga. Lagi-lagi aku belajar semua ini dari bangku kuliah.
Dan hal kedua yang disampaikan beliau adalah, ‘jangan lupa bersyukur. Bersyukur itu kuncinya. Kunci semua penyakit jiwa,’.
 Kalau dipikir-pikir lagi, memang benar, orang yang kurang bersyukur itu orang yang gampang depresi. Sebenarnya semua sudah digariskan dan diatur, yang perlu kita lakukan sebagai manusia ya Cuma berdoa, berusaha, dan paling penting ‘yakin’. Gagal tidaknya, semua pasti ada kisah manisnya sendiri. Itulah hidup.
Dinamikanya.
Dan cerita-ceritanya,
Lagi-lagi Allah membuktikannya kepadaku.
Dibalik semua kegagalan-kegagalan yang aku sesali selama dua puluh tahunku menjadi seorang Deasy Meirendah Chikita, tinggal dan hidup di raganya. Kegagalan masuk SMP pilihanku, SMA pilihanku, bahkan Universitas pun – semua tidak ada yang sesuai dengan yang aku harapkan.
Ternyata Allah memberikan cerita yang jauh lebih indah dari yang aku inginkan.
Cerita-cerita yang membuatku semakin baik semakin harinya. Semakin yakin kalau semua hal yang kita pasrahkan setelah usaha sebaik mungkin, Pasti ada jalannya.
Seperti kebanyakan qoutes di caption-caption instagram kids jaman now “There is a Will, there is a Way”

POIN KEDUA
YAKIN
Seperti biasa, aku suka ngomel-ngomel, mengkritisi, dan tidak puas akan banyak hal dalam hidupku, dan ternyata itulah yang membuat hidup seperti dalam penjara, dam nyatanya itu semua dibuat sendiri oleh pikiranku. The power of mindset.
Ayahku selalu mengatakan jangan menilai sesuatu diawal, lihat dulu sampai selesai keseluruhan ceritanya, baru kamu bisa menilai.
Ternyata pepatah ‘hidup nurut sama orangtua, dijamin enak’ itu benar. Kalau dipikir-pikir secara logika, mana ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Semua pasti ingin anaknya menjadi baik.
Lagi-lagi perkataan ayahku terbukti, dari semua hal yang aku anggap ‘gagal’ itu, selalu membukakan banyak pintu kejalan lain yang lebih seru! Ternyata hal yang selama ini aku anggap gagal justeru memberikan keberhasilan lain diluar dugaan.
Bu Khotim salah satu dosenku di semester empat lalu dan sekarang juga sih ini juga sering mengatakan bahwa ketika kita menyerahkan semua pada Allah dan yakin semua yang diberikan pasti yang terbaik buat kita. Bahkan Allah akan memberikan lebih dari yang kita ekspetasikan.
Akhirnya karena asupan motivasi yang begitu banyaknya dari lingkungaku, yang semakin meyakinkanku bahwa gagal itu kata lain dari keberhasilan versi Allah, bukan versi kita.

 “Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)

Yakin adalah kuncinya. Yakin semua sudah disiapkan sama Allah, yakin kalau sesuatu yang lebih baik sedang menanti, yakin bahwa tidak ada usaha yang sia-sia.
Yakin aja semua itu sudah ada jalannya masing-masing.
Rezeki nggak mungkin salah upeti, semua orang memiliki waktunya sendiri.
Kapan bisa mulai menuai atau kapan bisa mulai menikmati, atau bahkan ternyata semua ini baru saja terlewati tanpa disadari. Hidup itu serba ‘mungkin’ dan situlah serunya. Ketidak pastian yang membuat hidup jauh lebih bermakna. Yakin saja semua itu ada cerita drama manis nan melankolis yang siap jadi rempah-rempah gurih perjalanan ini.
Aku bersyukur aku pernah mengajar anak abk dulu, akhirnya aku jadi tau kelemahan-kelemahanku dan bisa mulai mencoba mengatasinya. Menyadari berarti memperbaiki, bukan?
 Aku bersyukur dulu tidak masuk sekolah – sekolah impianku. Ternyata di sekolah yang aku anggap baik itu juga tidak sebaik itu.
Aku bersyukur sering melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang suka membuatku menangis, hal itu membuatku sadar menangis tidak akan pernah menyelesaikan masalah, Cuma meringankan perasaan, di teori psikologi ada nih dimana emang seseorang memiliki tipe penyelesaian masalahnya masing-masing. Ada yang focus emotion dimana ia mengembalikan mood dulu baru bisa berpikir, namun ada juga yang focus solution yang mana bisa langsung mencari jalan keluar. Dan ternyata tipeku yang focus emotion.
Dari situ akhirnya aku tau cara menanggulangi diriku sendiri ketika sedang kecewa. Dengan itu aku tau caranya bersahabat dengan diriku sendiri, dan menerima semua kekurangan dan kelebihan yang aku miliki.
Seandainya dulu aku terpilih di jurusan pertama pilihanku, dan ga jadi masuk jurusan Psikologi, mungkin aku nggak akan menyadari banyak hal dalam diriku sendiri.
Karena psikologi juga aku jadi semakin sering mengeksplore diriku sendiri. Akhir-akhir ini ada banyak hal yang mulai kusadari, salah satunya menyadari kalau aku ini suka berada diantara anak-anak, bermain bersama mereka, dan belajar banyak hal dari mereka. Hal ini membuka hal-hal baru yang akan aku jadikan hobi! Belajar langsung dari lapangan ditambah pemanisnya; anak-anak. Sungguh hal ini membuatku ketagihan. Betapa tidak, anak-anak yang selama ini tidak tahu apa-apa justeru mereka yang lebih tau banyak hal dari kita.
Mereka tahu caranya berdiri lagi ketika terjatuh tanpa mengeluh, mereka tahu caranya belajar setiap hari tanpa lelah, mereka bertanya semua hal yang tidak mereka ketahui tanpa malu, mereka tahu banyak hal didunia ini bisa terjadi tanpa takut gagal. Karena jika gagal mereka akan mencoba lagi dan lagi sampai berhasil.
Itulah yang aku sukai berada diantara anak-anak, kepolosan mereka, keluguan mereka dan keyakinan mereka akan diri sendiri. Aku suka semua itu.
Mungkin sebagian dari kalian ada yang kurang setuju dengan statementku, kalau anak-anak punya daya juang tinggi. Mungkin  kalian juga merasa ada beberapa anak yang patah semangat setelah sekali kalah dalam pertandingan, atau terlalu malu untuk bertanya atau terlalu penakut untuk unjunk diri. Semua itu bukan kesalahan mereka, lingkungan orang dewasa lah yang membuat mereka menjadi seperti itu.
Apabila hal-hal itu bisa teratasi dengan cepat dan tepat. Anak-anak pasti adalah seorang pembelajar ulung. Dia akan langsung menerima informasi yang diperolenya. Jadi bagaimana kita bersikap itu nanti akan ditiru olehnya. Maka mungkin sudah seharusnya kita mengenali dan menyadari diri sendiri, agar adik-adik disekitar kita mendapat informasi yang baik baik juga. 
Dengan baiknya Allah memberikan keajaibannya lagi.
Aku mendapat kesempatan menjadi salah satu volunteer pengajar di komunitas Seribu Guru Surabaya. Senangnya, dua hobiku dipadukan menjadi satu paduan yang serasi. Aku suka mengajar anak-anak dan aku suka jalan-jalan. Di komunitas ini aku dapat keduanya. Mengajar dan jalan-jalan. Nama programnya aja udah Teaching and Travelling.
Singkat cerita aku ikut acara TnT ke 15 waktu itu. Aku mengajar kelas 2 SMP di SMPN PGRI Tondomulo, Kecamatan Bunten, Kabupaten Bojonegoro. Diluar ekpetasi. Semua hal merupakan hal yang sungguh baru aku alami. Perjalanan sembilan jam dengan keterguncangan ala-ala naik kapal ditambah debu pasir kapur yang beterbangan seperti salju putih di musim dingin jepang, perjalanan kaki dibawah langit berbintang seribu, karena di desa ini masih minim listrik sampai terdampar di tengah hutan sewaktu pulang, aku mengalami semuanya di TnT waktu itu.
Pengalaman mengajar adik-adik yang tak terlupakan.
Beberapa kesalahan aku juga lewati di pengalaman mengajar ini, seperti materi yang terlampau jauh dari kemampuan adik-adik membuat mereka kurang memahami materinya. Aku belajar hal baru lagi disini, batinku dalam hati. Meskipun materiku ini dibilang terlalu berat dan jauh dengan mereka yang notabenenya masih baru berinisiatif sekolah tiga tahun terakhir tanpa dijemput oleh guru-guru sekolahan. Mereka sama sekali tidak menganggap hal yang aku dan Mbak Anna berikan waktu itu adalah sebuah pelajaran yang susah, mereka menganggap ini adalah permainan.
Perasaan bersalahku kini kembali sedikit terobati, dengan persiapan materi yang cukup matang selama kurang lebih dua minggu. Aku merasa sedikit bisa menolerir kesalahanku kali ini, tidak seperti yang diawal. Dimana aku benar-benar menyalahkan diriku.
Tapi memang hal ini memiliki efek nagih dan membuka kesadaranku lagi. Selama ini hal sederhana pun belum bisa aku berikan ke adik-adik. Untuk apa mencari nilai sebaik itu kalau tidak ada amalannya. Sekali lagi hal ini membuatku jauh lebih aware dan care sama diri sendiri maupun lingkungan.
Semakin banyak hal lain yang ingin aku bisa lakukan supaya ilmuku ga Cuma konsumsi pribadi, supaya ilmuku ada manfaatnya atau setidaknya supaya ada kepuasan tersendiri atas apa yang sudah aku lakukan selama dua puluh tahun terakhir.
Dan ‘perasaan’ itu hadir ketika aku dapat berbagi.

POIN KETIGA
BERBAGI

Kata berbagi ini selalu menjadi kata-kata terindah selama beberapa minggu terakhir dalam hidupku. Dulu aku tidak seberapa tau betapa besar dampak berbagi bagi hidup seseorang. Dulu aku rasa, aku cukup melakukan semuanya yang terbaik untuk diriku sendiri. Dulu aku rasa kebahagiaan itu didapat hanya karena prestasi yang aku raih sendiri, hasil usaha sendiri, dan karena diri sendiri.
Tapi aku sekarang tahu, ternyata kebahagiaan itu didapat dari orang lain. Ternyata didapat dari arti berbagi. Semakin kita berbagi semakin bertambah pula kebahagiaan yang aku rasakan selama ini.
Ternyata kebahagiaan bisa datang dari hal-hal sesederhana ini. Dari melihat senyuman mereka. Melihat semangat mereka. Atau bahkan hanya mendengarkan canda tawa mereka.
Berbagi ternyata seindah itu.
Dulu aku selalu bertanya – tanya pada diriku sendiri kenapa banyak orang yang mau merepotkan diri dengan mengurusi karang taruna rt mereka, atau sibuk menjalani kegiatan sebagai seorang remaja masjid, atau ikut kegiatan-kegiatan sosial disaat kita bisa bermain-main. Ternyata ini, ternyata seperti itu rasanya! Bikin nagih! Mungkin bagi yang tinggal di perumahan seperti aku, kurang merasakan hawa jiwa muda para panitia karang tarunanya – ya karena memang seperti Off gitu kan ya dibandingkan orang-orang yang tinggal di perkampungan, yang masih guyub, masih akrab, dan gotong royongnya juga masih erat. Atau mungkin karena teknologi yang menjamur semakin membuat orang-orang betah berlama-lama didalam rumah mereka, menatap layar handphone, atau sekedar ketawa ketiwi lihat drama korea kesayangan kita.
Ah, itu aku banget~ lebih milih baper-baper didalam kamar, nontonin Oppa-Oppa yang meluncurkan jurus seribu nya untuk baperin pemeran utama cewek. Duh! Emang racun banget ya drama itu wkwkw.
Menurutku juga waktu itu investasi masa depan. Kalau sekarang ga disibukkan dengan banyak cari pengalaman, banyak berbagi, banyak kesana kemari, mau gimana coba kedepannya saya. Wkwkwk. Ngambang banget kan?
Yah dari pada wasting time begitu, agaknya saya mulai sadar, dan menghargai waktu dengan lebih selektif memilih kegiatan yang menyibukkan.
Karena pada dasarnya manusia memang kalau tidak disibukkan dengan hal-hal baik, ya dia bakal disibukkan dengan hal-hal foya-foya tadi. Jadi sepertinya, dari pada aku lihat drama di layar laptop. Kenapa aku tidak menjalani drama kehidupan saya sendiri yang jauh lebih faedah pastinya. Wkwkwkw
Semangat berbagi~ mungkin menulis adalah salah satu saranaku dalam berbagi, berbagi perasaan, pemikiran, dan kebahagiaan. Ya mungkin juga nggak dibaca para pembaca sampai selesai sih. Tapi buat kamu yang berhasil – dan betah baca sampai selesai, sincerely from me, thankyou.
Aku berharap nantinya kita bisa saling berbagi juga^^ -cc






( -cc ) Penulis merupakan Mahasiswi Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya
Masih semester lima
Masih umur duapuluh
Masih tinggal sama orangtua
Dan
Sama seperti kalian semua,
Masih sama-sama belajar.


Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In #resensi #thechorus

Peraih Mimpi di Tengah Diskriminasi

Ketika harapan yang selama ini kita kira akan pupus di persimpangan, ketika cita-cita yang selama ini kita bayang menghilang melayang-layang, dan ketika kita menyangka semua telah sampai pada akhir, disitulah sebenarnya arti kata ‘ilmu yang bermanfaat’ menjadi nyata. Sama seperti kisah film The Chorus, dimana cita-cita seorang guru, yang dulunya ingin menjadi seorang kondektur handal, akhirnya –malah mendapatkan lebih, menjadi seorang pelatih kondektur handal,”

The Chorus

Film yang berasal dari negara Perancis ini mengambil alur flashback. Scene pertama yang ditayangkan dalam film The Chorus adalah potret landscape dari banyaknya penghargaan seorang dirigen musik klasik yang bernama Pierre Morhange, yang kemudian disusul dengan datangnya orang asing yang mengaku sebagai salah satu sahabatnya di asrama masa kecilnya, Fond de l'Étang. Sebuah asrama yang hanya berisikan laki-laki yang -dianggap- bermasalah bagi orang-orang sekitar.
Di awal cerita kita akan diajak kembali ke masa 1949, masa dimana Pieree Morhange untuk pertama kalinya bertemu dengan sosok yang mengubahnya menjadi orang yang seperti saat ini. Ia bernama Clément Mathieu, kepala asrama baru yang juga merangkap sebagai seorang guru. Sebelum menjadi seorang guru, Mathieu dulunya adalah seorang musisi dan karena beberapa alasan, Mr. Mathieu sudah tidak ingin mengorek-orek masalalunya, terutama masalah musik.
Di hari pertama masuk ke asrama, Mr. Mathieu sudah disuguhi beberapa contoh sikap para murid yang -bisa dibilang- usil, seperti kelakuan jebakan kaca di ruang kebun milik Chabery, seorang penjaga asrama, sampai diambil tas kerjanya di hari pertama kerjanya.
Namun, Mr. Mathieu memiliki cara mendidik yang berbeda dengan kebisaan sekolah ini mendidik. Ia memiliki cara tersendiri untuk mengatasi mereka, bukan dengan aksi-reaksi yang diterapkan oleh Mr. Rachin –Kepala Sekolah- yang memiliki tipe cara mendidik semacam terapi behavioral milik B.F Skinner atau Pavlov.
Mr. Mathieu lebih lebih menerapkan sistem pendidikan karakter yang dicetuskan Noddings, seperti yang ada didalam scene pertengahan dimana Morhpange memberi jebakan di kebun Chabert, sampai membuatnya harus menjalani perawatan dari dokter agar matanya tidak cedera, malah diselamatkan oleh Mr. Mathieu dengan tidak melaporkannya pada Mr.Rachin. dan lagi si bijak Mathieu memilih menyelamatkannya, namun dengan tegas juga tetap meminta pertanggung jawaban atas sikap Morphange dengan menyuruhnya merawat Chabert sampai sembuh.
Perlahan tapi pasti, metode pembelajaran karakter ini terus diterapkannya, sampai akhirnya cita-citanya menjadi seorang kondekturpun tercapai. Mathieu merangkul mereka, memberikan contoh mengenai pembelajaran yang tegas dan bersahabat dalam waktu bersamaan, ia yang dari dulu ingin karyanya dimainkan, akhirnya berhasil membuat paduan suaranya sendiri dengan para murid-murid -yang dianggap bermasalah itu-.
Bahkan, semenjak hadirnya Mr. Mathieu mereka menjadi anak-anak lebih bisa diatur. Morphange yang awalnya dicap sebagai anak berwajah polos namun paling bandel, ternyata memiliki bakat terpendam dalam dunia tarik suara, dan akhirnya menjadi penyanyi solo di paduan suara Fond de l'Étang. Itulah titik awal dalam kehidupan Morphange yang dapat membawanya seperti sekarang.
Di Akhir cerita, film ini menampilkan scene dimana seorang guru yang begitu berjasa bagi muridnya ternyata meninggal tanpa ketenaran apapun. Berita kematiannya bahkan tidak banyak didengar oleh murid-muridnya sendiri. Dan Kabar duka itulah yang disampaikan Pepinot –salah satu sahabatnya di asrama, ia datang dengan membawa semua kenangan yang telah lama tak terngiang.
Opini
Film yang di adaptasi dari film tahun 1945 berjudul A Cage of Nightingales (La Cage aux Rossignols) ini mengajarkan bagaiamana pentingnya peran sekolah, pendidik dan keluarga dalam proses belajar seorang anak. Di dunia ini tidak akan pernah ada anak yang disebut sebagai anak ‘nakal’. Semua anak itu sama, yang mereka butuhkan adalah kasih sayang dan pengertian. Ketika kita dapat mengerti alasan dibalik perilakunya, maka sejujurnya tidak ada anak yang berniat ingin menyakiti atau melukai orang lain.
Film yang berhasil masuk Academy Awards ke-77 dan dinominasikan untuk Best Foreign Language Film dan Best Original Song ini juga mengajarkan bagaimana kenakalan tidak selamanya harus diberi hukuman fisik, bagaimana pengenalan potensi anak-anak didik sangat penting bagi setiap guru yang memang pantas disebut sebagai seorang guru.
Seperti halnya Mr. Mathieu yang tidak pernah bercita-cita sebagai seorang guru, namun sangat berdedikasi ketika menjadi seorang yang biasa kita sebut dengan Guru, yang tidak hanya mendidik tetapi juga memberikan pelajaran-pelajaran kehidupan sesungguhnya. Sesosok guru yang mendidik dengan kelembutan dan ketegasan dalam saat yang bersamaan. [cc]

















Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

In #poem

Lima tahun

cr. poster film the wallflower of being perks
Mungkin kata-kata itu memang benar, bahwa ada beberapa orang yang hadir seperti pelangi,
Indah tapi singkat
Indah tapi tak dapat disentuh
Indah dilihat dari Jauh
dan
Menjadi pemanis setelah sendu hujan mengguyur bunga di taman depan kelasku

Mungkin perasaan memang tidak menentu
Kupu-kupu dalam perutku setiap kali kedua mata bertemu
atau
Sekedar melihat sosokmu di lorong sekolah waktu itu
Duh! masa berderu di masjid itu
Yang cuma penuh dengan semua tentangmu

Mungkin juga itu cuma bagian dari dinamika remaja
Sendu seorang gadis lima belasan dengan semua imajinasi drama
yang ternyata sampai kini masih menjadi sebuah misteri terbesarnya
"Apa itu yang disebut cinta, suka, atau sekedar perasa?"

mungkin kamu yang menjadi salah satu alasanku membuat blog lima tahun lalu
mau membantu menjawab itu?
[cc]

Read More

Share Tweet Pin It +1

0 Comments

Diberdayakan oleh Blogger.