In #resensi

Menjadi Resilience dari Filosofi Teras.

Nobody's going to do your life for you. You've to do it yourself. Whether you're rich or poor, out of money or ranking it in beneficiary of ridicolous fortune or terrible injustice, and you've to do it no matter what is hard or nonsense no matter what unjust, sad, sucky things have been fallen you. Self-pity is a dead-end road. You make the choice to drive down it. It's up to you to decide to stay parked there or to turn around and drive out." - unknown

Tulisan ini pertama kali aku baca di salah satu akun instagram yang aku juga sekarang lupa apa namanya. Tetapi yang jelas dia sudah nangkring di depan mejaku sejak bulan Mei lalu. Beberapa kali dalam sehari memang ku baca, kadang bisa memberi power kadang ya sekedar pajangan aja. Kadang membuat self-awareness meningkat, kadang juga dia cuma jadi hal yang aku anggap formalitas.

Sampai hari ini akhirnya niatan untuk menyelesaikan apa yang ingin aku tulis sejak setahun lalu, menulis review buku "Filosofi Teras". Sebuah buku yang aku anggap menjadi obat tersendiri saat aku merasa gamang pada tahun lalu, seusai revisian skripsi dan tentunya bingung arah mana yang harus aku kejar, kompas mana yang paling cocok, atau sorotan lampu mana yang menunjukkan ke arah yang tepat. Kalau aku menilai dari semua buku self-impovement yang aku baca dia memasuki nilai 8/10.

Pertama, yang membuat buku ini punya nilai tinggi menurutku, mungkin karena aku kurang banyak baca buku sejenis ini, wkwkw. Rekomin dong, buat temen-temen yang suka baca buku self-improvement yang menurut kalian buku yang seru dan worth it dan bisa nambah sudut pandang dan prespektif baru, hehehe.

Enggak, beneran buku ini bagus kok, oke aku mulai serius nulis reviewnya ya. 

  • Bahasa Penulisan

Entah mengapa, aku suka jenis buku yang bahasa penulisannya seperti bercerita, dan buku ini seperti itu. Karena menurut aku, ketika suatu buku didalamnya tidak hanya memuat teori, tetapi juga kisah hidup penulis, dan latar belakang mengapa sebuah karya buku ini ditelurkan akan membuat pembaca dan penulis memiliki ikatan emosional tersendiri. Rasanya seperti menulis dan bercerita dengan sahabat pena yang belum pernah kita temui. Bahasa yang digunakan juga tidak terlalu formal, tapi juga tidak terlalu lebay. Pas, legit, dan renyah.

  • Bedasarkan Riset dan Wawancara

Penyataan/kesimpulan teori tanpa data riset dan wawancara sama persis seperti janji manis gebetanmu tapi ngga ada realisasinya. Alias, ngomong doang, hehehe. Makanya penting banget sebuah kesimpulan yang diawali dari adanya proses analisis dan fenomena yang terjadi diiringi data hasil riset dan wawancara dari ahlinya. Sebuah teori nggak akan disebut sains kalau belum ada bukti risetnya kan, palingan ya jadi pseudosains.

  • Integrasi dari banyak ilmu 

Awalnya, sewaktu baca judulnya, berat banget nih. Belajar Filosofi, seberat novel Dunia Sophie ngga ya ini. Mumet ngga ya. Dan pikiran-pikiran soal belajar filsafat yang rumit itu berkelebat di kepalaku yang suka hal-hal yang simple dan lucu ini. Tapi waktu baca review di Google dari orang-orang, sepertinya ini layak di coba sebelum di takutin. Selama baca, aku ngga merasa bosen sama sekali. Cara penulis mengaitkan pengalaman pribadinya, fenomena yang terjadi, hasil riset dan wawancara, dan ilmu-ilmu lain yang saling berkaitan sangat mudah di lahap bulat-bulat sama otak. Aku pernah baca quotes juga, sepandai-pandainya orang, adalah ia yang pandai memahamkan orang lain dengan cara yang paling sederhana. Henry Manampiring memang bapak anak satu yang jenius~

  • I do (still) judgje book by its cover

Sebagai makhluk visual, hal menarik lainnya yang aku suka dari buku ini adalah covernya yang berwarna kuning dan tosca. Dalam Ilmu Psikologi warna ini melambangkan warna yang optimis, ceria, dan semangat. Selain itu, gambar ilustrasi tampilan seorang pria tua yunani dengan gulungan kertas di hadapan dua pemuda berbaju modern sambil menyeruput es boba dan menyuguhkan kepada bapak tua minuman kekinian itu menyiratkan bahwa dua insan dalam Quarter Life Crisis ini diberi arahan oleh bapak pemilik teori Filosofi Teras tersebut.

Buku ini bagus buat temen-temen yang mau mendalami teori Well-being dan Resilience di Psikologi, sedang mengalami Quarter Life Crisis, atau sekedar mencari bahan bacaan bagus untuk asupan gizi ke pola pikir baru. Paling enak baca buku ini juga di perjalanan menuju sesuatu. Supaya lebih tabah, sabar, dan bahagia menikmati setiap proses masing-masing dari kita. 


Have a good day! [cc]

Related Articles

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.